Kabut debu keemasan seakan-akan turun menghujani kota bersama dengan kilauan bulan purnama. Bayangan padang pasir dari sinar bulan pun menyelimuti kota seperti sihir. Bayangan itu menyentuh permukiman yang berada di tempat lebih tinggi, di penuhi rumah kecil berdinding kapur.
Rumah-rumah orang kaya dan bangsawan tampak seperti istana dari gading dengan tembok-tembok halaman nan luas. Bahkan ada pula rumah para pendatang, berupa tenda-tenda yang menyebar di tempat terbuka dan rumah beratap ranting-ranting kurma. Itulah tempat persinggahan bagi para musafir. Semua kagum atas sentuhan bulan purnama yang penuh misteri. Mekah berubah menjadi kalung dengan bandul berkilau cahaya terang.
Bulan purnama dan Mekah....
Kepulangan ayahku sering bersamaan dengan kemunculan purnama. Semasa kecil, saat-saat itulah yang paling tak sabar dan paling kutunggu.
Embusan lembut kesejukan dibarengi debu tanah yang melayang-layang di atas rumah beterbangan menuju air mancur setelah beberapa saat tadi bertiup di halaman rumah. Karang yang tergantung di pintu menggoyangkan tirai.
Sssst sstt ssstt.....
Suara ini, desiran badai, erangan kucing-kucing milik teman-teman ibuku yang mengingatkan pada percakapan kekhawatiran, gumam gumam gumam.... Gemerincing gelang-gelang para pembantu ketika berjalan cepat-cepat, tring tring tring.... Langit yang kutatap dari sandaranku, terang terang terang..... Di antara dan terbangun.... Dongeng dan kenyataan..... Mimpi dan hakikat....
Anak-anak padang pasir yang menunggu ayah mereka tentu mustahil tumbuh besar tanpa dongeng. Aku adalah salah satu dari mereka. Bahkan, jika ada seorang kakek tua berilmu menuturkan ribuan cerita soal bintang, anak-anak yang bersandar di atap-atap tanah, atau menatap langit penuh gemintang dengan sajak "Wahai sahabat-sahabatku", akan tertidur di pangkuan nenek mereka seperti diriku. Ayah yang kalian tunggu dari perjalanan tampak seperti puisi, dongeng, atau bintang dihati kecil.