Bersyukur atas apa yang kita miliki sekarang adalah cara bahagia yang paling indah
-Kei, Jakarta. Minggu pagi.
Kepala Tria rasanya sedikit pengang, ia sudah mengatur ulang jadwal Gean besok. Hanya karena ada janji yang Gean lewatkan bersama temannya, Tria yang harus bersusah payah mengatur kembali jadwalnya besok. Sebenarnya bukan hal baru untuk Tria, hanya saja pertemuan penting yang tak bisa diganti jadwal. Tria harus memohon pada pihak Axelans tentang reschedule waktu pertemuan.
"Setelah makan siang saya free kan?" tanya Gean. Ia mengendurkan dasi yang dikenakannya yang terlihat begitu mengganggu di mata Tria.
"Iya, saya sudah atur ulang jadwalnya besok." Tria menyimpan beberapa dokumen yang harus diperiksa oleh Gean, "Setelah ini Pak Gean mau pulang?"
"Iya," jawab Gean, ia mengambil satu dokumen yang baru saja diletakan Tria. Mengamati setiap kata yang tertulis dalam dokumen itu. Karena salah satu kata saja bisa menyebabkan kerugian untuknya kedepannya kelak. "Pembelian tanah di Tangerang?"
Tria mengangguk, dokumen yang ada ditangan Gean adalah dokumen pembelian tanah di Tangerang yang bernilai ratusan milyar. "Iya, itu dokumen atas pengalihan tanah yang diminta notaris segera Pak. Finance kita sudah membayarkan pajak atas pengalihan tanah tersebut kita akan melakukan pembayaran jika dokumen sudah sah di mata hukum."
"Okay," jawab Gean ringan.
"Kamu boleh pulang setelah ini," perintah Gean kali ini membuat Tria mengembangkan senyum bahagia.
"Baik, Pak," Tria mengangguk senang. Hari ini ia bisa pergi memanjakan dirinya, melupakan sejenak tugasnya sebagai sekretaris Mr Hurry Up.
****
Seharusnya Tria bertanya lebih dulu kemana Gean akan pergi, jika seperti ini kemanapun dan apapun yang dilakukan Tria terkesan seolah ia mengikuti Gean.
Plaza Indonesia, tempat yang mempertemukan Gean dan Tria kembali. Dalam rasa enggan dan malas Tria sebisa mungkin menghindari pertemuannya dengan Gean.
Sebelum pergi ke Plaza Indonesia Tria menyempatkan mengganti busananya lebih dulu, kali ini hanya mengenakan kaus biru langit dengan celana selutut dan sepatu converse yang hampir lapuk. Sejujurnya Tria tak terlalu menyulai heels, jika bukan karena tuntutan pekerjaan Tria mana mau mengoleksi heels begitu banyak.
"Kamu ngapain?"
Tria terlonjak kaget, ia sedang mengantri membeli minuman sebelum ia berpindah ke Mall sebrang agar tak bertemu Gean. Namun naas bagi Tria, belum sempat ia berpindah ke Mall sebrang Gean sudah ada di belakangnya.
"Lagi antri minuman Pak," Tria menghela napas pendek, jika selalu seperti ini bisa saja terkena stroke di usia muda. "Bapak ngapain di sini?"
Berbeda dengan Tria, Gean masih mengenakan suitsnya lengkap tanpa mengganti apapun. Mata Gean menelik dari atas ke bawah penampilan Tria yang berbeda dari biasanya, tak ada riasan di wajahnya. "Ketemu temen-temen saya, saya pikir kamu bakalan istirahat di indekost kamu. Bukan keluyuran begini."
"Saya mau refreshing, Pak." Tria mengambil minumannya yang sudah siap." Bapak kenapa ngikutin saya?"
Gean tertawa mendengar pernyataan Tria, "Saya lihat kamu, makanya saya samperin kamu. Bukan ngikutin kamu."
"Saya sudah lihat Bapak sebelumnya, waktu bapak di Gucci Store." Tria menyesap lemonade miliknya seraya melangkah meninggalkan gerai minuman. "Tapi saya nggak mau samperin Bapak, karena saya nggak mau mengganggu quality time Bapak bersama teman-teman Bapak.
"Jadi secara nggak langsung, kamu mau bilang saya mengganggu kamu?" Gean menggelengkan kepalanya saat Tria justru mengangguk yakin.
"Saya pamit dulu, Pak." Tria menundukkan kepalanya sebelum benar-benar pergi meninggalkan Gean yang kesal karenanya.
Namun me time Tria kali ini harus hancur, karena tak disangka Gean justru mengikutinya.
"Saya mau membenarkan tuduhan kamu saja," Gean tanpa merasa bersalah mengambil alih minuman Tria. Sementara Tria tak bisa memprotes kelakuan Gean karena mau bagaimanapun Gean adalah boss Tria. "Mengikuti kamu."
Sepertinya Gean benar-benar tersinggung dengan ucapan Tria, melihat bagaimana kesungguhan Gean membuntuti Tria saat ini.
"Teman-teman Pak Gean gimana?" Tria mencoba menyadarkan atasannya, bahwa alasan pertama Gean pergi adalah ingin bertemu teman-temannya bukan merusak kegiatan Tria.
"Biarkan saja," jawabnya ringan. Gean mengernyit karena rasa asam dari minuman milik Tria. "Kamu suka asam ya?"
"Pak," Tria ingin marah namun tak bisa. Dibiarkan pun juga rasanya aneh, Tria memang terbiasa pergi dengan Gean. Namun urusan bisnis, bukan pergi santai seperti sekarang. "Saya mau bertemu seseorang."
"Saya ikut."
"Dia lelaki, Pak."
"Saya juga lelaki," ucap Gean dengan wajah datar tak berperasaan, "Terus masalahnya dimana?"
"Pak Gean, Bapak tahu kalau wanita dan pria dewasa melakukan pertemuan maka mereka mempunyai hubungan apa?" Tria menghentikan langkahnya, mencoba memberi penjelasan pada Gean yang sungguh berniat merusak moodnya.
"Seperti kamu dan saya, kita banyak melakukan pertemuan. Menurut kamu hubungan kita seperti apa?" dengan senyum simpul di wajah yang memang sialnya rupawan, Gean membuat Tria bungkam untuk sejenak.
"Ya sudah terserah Pak Gean saja," Tria melangkah meninggalkan Gean, ia berniat pergi menonton film yang ditunggu-tunggu olehnya sejak beberapa bulan lalu.
"Kenapa nonton film ini?"
Tria sengaja berpindah ke Mall sebrang, karena film yang ingin ia tonton hanya ada di CGV. Sebelum memesan tiket Tria ingin berfoto lebih dulu di depan dummy film Brother of the year.
"Karena saya mau nonton film ini," Tria sudah menyiapkan ponselnya untuk melakukan selfie, namun ternyata tak semudah yang dikiranya.
"Sini ponsel kamu," Gean akhirnya tak tega melihat Tria yang bersusah payah mengambil gambar.
Tria tersenyum senang, ternyata pergi bersama Gean ada untungnya juga. Setelah berpose beberapa kali akhirnya Tria merasa puas, sepertinya Gean berbakat menjadi Photographer.
"Kamu tadi bohong sama saya kan? katanya kamu mau ketemu seseorang." Gean mengikuti langkah Tria yang akan mengantri tiket.
"Nggak, kok. Ini saya ketemu banyak lelaki, salah satunya kasir di depan. Dia lelaki." Tria memamerkan deretan gigi putihnya membentuk sebuah cengiran yang membuat Gean menghela napas pendek.
"Pesan kelas Velvet saja," sela Gean saat Tria sedang mencoba mencari kursi yang pas agar lehernya tak sakit setelah menonton.
Tria setuju tanpa banyak protes, toh yang membayar tiketnya Gean. Sebagai gantinya Tria yang membelikan pop Corn dan minuman, satu pop corn manis untuk Gean dan Tria lebih memilih rasa asin.
"Masih dua puluh menit sebelum filmnya dimulai," Gean mengajak Tria untuk duduk di kursi yang memang sudah disediakan khusus penonton kelas Velvet.
Mata Tria menyapu ke sekelilingnya, ada beberapa perempuan yang menatap ke arahnya. Tentu saja bukan memperhatikannya, ada Gean di depannya yang memang terbiasa menarik perhatian para wanita.
"Pak Gean," Tria merendahkan suaranya. "Lihat ke arah jam 11 deh."
Gean mengikuti petunjuk Tria, namun ia justru menoleh ke arah berlawanan. Ada dua pria yang tengah duduk bersama saling menggenggam tangan, "Maksud kamu dua pria itu? Kamu suka mereka? Saya nggak nyangka type kamu seperti itu."
"Bukan," Tria lupa jika jam sebelas dari arahnya berarti arah jam satu dari Gean. "Yang arah jam satu."
Mata Gean menangkap sekumpulan perempuan yang sepertinya tengah menatap ke arahnya, dilihat dari bagaimana mereka kini salah tingkah ketika Gean menoleh ke arah mereka.
"Kenapa?"
"Kok cuman kenapa?" Tria tahu Gean memang terkenal dingin hatinya terhadap perempuan, karena dari itu Tria mendapat misi tambahan dari Ibu Gean. Agar Tria lebih sering menyinggung status single Gean, Ibu Gean tak mau Gean terlarut dalam kenangan buruknya.
"Pak Gean harusnya bilang mereka cantik," Tria tak habis pikir, di usia yang sudah terbilang sudah matang Gean masih dengan pendiriannya tak ingin menikah. Padahal semua Kakaknya sudah memiliki anak, hanya Gean yang bertahan dengan status singlenya.
"Cantik," ucap Gean, ia menatap lurus pada Tria. "Kamu juga cantik seperti mereka, jadi kenapa saya harus memuji mereka. Kalau kamu ada di depan saya."
Tria sukses cegukan, ia bahkan merutuki kalimat sialan yang dengan mudah diucapkan Gean.
"Karena semua perempuan itu cantik, Tria." Gean tersenyum senang berhasil mengerjai Tria yang kini menatapnya tajam," Yang tampan itu pria, siapa kalian yang berhak menjudge hasil tangan Tuhan. Jika ada orang yang mengomentari fisik orang lain, maka dia sedang mengomentari ciptaan Tuhan."
"Maksud saya bukannya begitu, Pak Gean nggak tertarik dengan mereka? Lihat aja mereka cantiknya udah kayak model di majalah-majalah," hanya saja Tria ingin Gean lebih peka terhadap perempuan di sekitarnya. "Pak Gean itu empat bersaudara, hanya karena Pak Gean anak terakhir bukan berarti Bapak bisa seenaknya. Ibu Prita kemarin khawatir sekali dengan Bapak."
Gean menelan ludah dalam diam, ia tahu maksud Tria apa. Bahwa ia terlalu lama terjebak dengan masa lalu.
"Padahal Ibu Prita sudah berbaik hati, dia sama sekali tak menekan pak Gean harus seperti apa pasangan Bapak. Yang terpenting Bapak bahagia." Tria sendiri pusing mencari pasangan untuk dirinya, tapi ia lebih dipusingkan dengan pasangan Gean. Karena sampai saat ini setelah insiden tiga tahun lalu Gean sama sekali tak berniat menjalin hubungan yang serius dengan wanita manapun.
"Kalau saya jadi Bapak, saya sudah pasti akan dengan senang hati segera mencari pasangan," ada banyak hal yang seharusnya Gean bisa syukuri. Di luar sana ada banyak orang ingin menikah namun tercegat masalah ekonomi. Gean yang notabenya sempurna, tampan dan mapan justru menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Kenapa kamu sendiri belum mencari pasangan, dibanding menasehati saya. Kenapa kamu tidak intropeksi lebih dulu?"
Senyuman getir Tria sama sekali tak membuat Gean merasa bersalah atas pertanyaannya, "Saya dan Pak Gean itu berbeda, bagaimana saya mau mencari pasangan kalau 24 jam dalam seminggu waktu saya banyak dihabiskan untuk bekerja. Saya belum ada waktu untuk mencari pasangan, jika saatnya tiba. Saya mungkin akan resign dari pekerjaan saya, dan mencari pekerjaan yang lebih santai. Agar saya bisa mencari pasangan hidup."
"Resign?" Gean tampak terkejut dengan pernyataan Tria, meski tidak dalam waktu dekat tapi Tria sudah berniat untuk mencari pekerjaan yang lebih ringan nantinya.
"Iya, saya punya impian menjadi ibu rumah tangga." memikirkannya saja Tria sudah bahagia, kelak setelah menikah Tria ingin fokus menjadi ibu rumah tangga. Menunggu suaminya pulang dan merawat anak-anaknya hal yang paling menyenangkan nantinya.
"Memiliki teman hidup rasanya pasti menyenangkan, saya akan bangun pagi untuk membuatkan bekal, merapikan pakaian yang akan dikenakan oleh suami saya. Sambil menunggu suami saya pulang, saya bisa pergi ke pasar, merapikan rumah memasak atau berkebun." dengan penuh antusias Tria menceritakan apa yang ada dalam benaknya tentang pernikahan.
"Terus saya dengan siapa nantinya?"
Tria mengernyit heran dengan pertanyaan Gean, "Pak Gean tinggal cari istri, ingat cari istri bukan pembantu ya!"
BERSAMBUNG
18-01-2019