Kamu akan tetap melangkah, dan aku akan tetap di sini memandang penuh rindu dengan segala ketidakpercayaan diriku.
-Tria, Di bawah langit malam Jakarta.
.
.
.
.
Tria memandang lamat-lamat pada Gean yang kini tertidur di sampingnya, Gean terlihat lelah. Tak ada raut wajah menyebalkan, tak ada decakan kesal. Yang ada hanya napas hangat Gean terdengar begitu teratur dengan rambut yang menutupi keningnya sebagian.
Dengan cepat Tria mengambil ponselnya, memotret wajah damai milik Gean.
"Coba Fans Pak Gean tau, udah syirik setengah mati pasti sama gue," gumam Tria berbangga diri.
Ketika orang di luar sana begitu mengagumi Gean karena ketampanan dan kharismanya, Tria justru kagum dengan kegigihan Gean yang tak banyak ia tunjukan di depan umum.
Ketika Gean membuat keputusan ia akan memikirkan efeknya bukan hanya untuk dirinya, Gean selalu berkata jika banyak karyawan yang sudah percaya padanya maka ia tidak bisa gegabah mengabaikan kepercayaan dari karyawannya. Meski ia terlihat jahat dan tak berperasaan dalam mengambil keputusan, Gean selalu mengutamakan karyawannya.
Karena menjadi atasan bukan hanya tentang memberi perintah, tapi bagaimana ia bisa membawa karyawannya merasakan perubahan yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Hingga filmnya selesai diputar Gean masih bergulat dengan dunia mimpinya, Tria sampai tak enak hati membangunkan Gean.
"Pak," Tria menepuk bahu Gean pelan, berharap hanya dengan satu tepukan Gean akan terbangun. Namun Gean hanya bergumam sampai Tria mengguncang bahu Gean pelan. "Pak Gean, filmnya sudah selesai."
Gean perlahan membuka matanya, menangkap tangan Tria yang masih menempel di bahunya. Ia menatap jauh ke dalam mata Tria yang sedikit sembab, "Filmnya pasti sedih ya?"
"Entah lah," Tria tak yakin filmnya sedih atau tidak, mungkin Tria yang terlalu perasa hingga menitikan air mata. Kisah adik dan kakak yang tidak pernah akur, namun jauh dalam hati masing-masing mereka saling menyayangi." Mungkin saya terlalu cengeng."
"Kamu memang cengeng dari dulu," Tria bisa menangkap tawa dari mulut Gean, bahkan dalam keadaan setengah sadar Gean masih bisa mengejek Tria. "Semut mati saja kamu nagis, ingat tidak waktu kita ada perjalanan ke Bengkulu. Kamu tidak bisa berhenti menangis seharian melihat anak kucing yang kehilangan Ibunya."
Tangan Tria sudah gatal ingin memukul Gean, namun ia urungkan dibanding insentif bulanannya dihilangkan nanti.
"Sampai kapan Pak Gean mau berbaring di sini? Ini Bioskop bukan hotel," Tria bangun lebih dulu, membiarkan Gean menyusulnya.
Tria bergegas membeli air mineral, ia membuka segel air minum itu dan memberikannya pada Gean.
Akan selalu Tria yang memperhatikan Gean, selalu Tria yang akan mengerti Gean dalam hal kecil apapun.
"Pak Gean mau makan apa?" Tanya Tria saat Gean sudah meneguk lebih dari setengah air mineralnya.
"Saya ikut kamu aja," Gean kembali meneguk sisa air mineralnya, mungkin tadi ia bermimpi lari marathon hingga dehidrasi.
Jika saja Tria hanya sendiri ia mungkin akan memilih di Food Print, meski Gean mengatakan ikut Tria. Tapi Tria yakin jika makanannya tak sesuai selera Gean maka Gean akan mengoceh sepanjang waktu makan.
"Nintety Nine?" tanya Gean ketika Tria masuk terlebih dulu dibanding dirinya.
"Iya," Tria memilih duduk di sofa. Kemudian membuka menu yang sudah disiapkan pelayan, membaca satu persatu apa yang mungkin Gean makan.
"Di sini ada Sop Buntut kalau Pak Gean mau makan nasi, kalau sandwich mending Pak Gean pesan. Beef Philly Steak." jelas Tria, ia sudah menyangkanya. Gean bahkan tak menyentuh sama sekali buku menu di depannya.
"Beef Philly Steak saja," ucap Gean, sejak tadi Tria tak melihat ponsel Gean berdering. Padahal biasanya ponselnya seperti alarm yang menyala lima menit sekali. Kalau ponsel Tria ia sengaja matikan, karena akan banyak orang menelponnya mengenai pekerjaannya.
"Okay," Tria menutup menunya lalu memanggil Pelayan.
"Saya heran kenapa saya bisa berakhir dengan kamu di sini?" Gean menatap penuh telaah pada Tria.
Yang seharusnya heran adalah Tria, kenapa ia masih bisa bertahan dengan Gean di sini, "Pak Gean sendiri kenapa mengikuti saya, padahal Bapak bisa saja pergi dengan teman Bapak. Bukan malah merongrong saya seperti anak kecil, saya merasa sedang mengajak anak kecil jalan-jalan dibanding pergi bersama Pria berusia tiga puluh empat tahun."
Mata Gean membulat kaget mendengar ucapan Tria, "Kenapa jadi terkesan saya yang tak mau lepas dari kamu."
"Kenyataannya memang begitu kan?"
"Kamu yang bergantung sama saya," ucap Gean tak mau kalah. "Kamu yang selalu mengikuti saya kemanapun saya pergi, sampai kamu nyari indekost pun yang dekat dengan appartment saya."
Jika saja bukan karena panggilan mendadak dari Gean mana mau Tria tinggal di daerah dekat Appartement elite yang biaya kostnya dua kali lipat dari harga indekost biasanya.
Tria hanya bisa menggelengkan kepalanya, karena boss tak pernah mau mengalah," Makan saja Pak, setelah ini Pak Gean pulang istirahat. Besok ada banyak kegiatan, dan urusan yang harus Pak Gean selesaikan."
"Kamu ngusir saya?" Gean terlihat tak senang.
Tria harus banyak mengusap dadanya, untung saja makanan yang mereka pesan sudah tiba di meja. Tria sendiri memesan Ayam Bakar Hijau dengan lemon tea, sementara untuk Gean ia memesan kan Apple Scrumble sebagai tambahan dessert Gean.
"Kenapa pesan Scrumble Apple?" Gean merasa dirinya tak pernah meminta Dessert.
"Untuk menetralisir mulut Pak Gean, nanti pasti Pak Gean mengeluh karena mulut Pak Gean sedikit asam. Makanya saya pesenin Scrumble Apple dengan saus mapple." jelas Tria, ia sudah mulai menyantap makanannya. Membiarkan Gean menatapnya kehabisan kata-kata.
"Kenapa Pak?" Tria menghentikan kunyahannya melihat Gean yang hanya memandang makanannya, "Sandwichnya kurang enak? Mau saya pesankan Beef Grill saja?"
"Saya hanya sedang berpikir," Gean menarik napas dalam seolah tengah memikirkan permasalahan yang sangat rumit," Kalau misalnya sekretaris saya bukan kamu apa dia akan tetap bersikap seperti kamu begini?"
"Kenapa Pak Gean tak mencobanya saja? Rolling sekretaris, " Tria mengangkat kedua bahunya, mungkin ide baik jika dia bisa mengganti bossnya. "Pak Gean bisa rolling saya dengan Santi, Sekretarisnya Pak Ary."
"Itu maunya kamu," Gean mulai menyantap makanannya. "Impian kamu sebelumnya apa? Sebelum akhirnya menjadi sekretaris saya?"
Tria tak ingat kapan, yang jelas dulu ia pernah bermimpi ingin menjadi penyiar berita atau reporter. Karena dari itu ia mengambil jurusan komunikasi saat kuliah. Namun semuanya tak bisa Tria wujudkan, karena kenyataannya mencari pekerjaan itu sulit sampai akhirnya Tria harus rela terjebak bersama Gean selama lima tahun.
"Saya mau jadi penyiar berita, kalau Pak Gean?"
"Waktu kecil saya mau jadi astronot, itu impian saya. Tapi semakin beranjak dewasa saya sadar bahwa jalan saya sudah ditentukan, apapun yang saya inginkan harus sejalan dengan apa yang Ayah saya tuliskan."
"Pak Gean pasti merasa sedih?" Tria tahu pasti, merelakan impian itu cukup menyakitkan. Ketika kamu berharap bisa menggapainya namun ada banyak hal yang harus kamu pertimbangkan, karena lagi-lagi ada hal yang harus kita ingat. Bahwa hidup bukan tentang diri kita sendiri saja.
"Sebelumnya," Gean memang berbeda dari ketiga saudaranya, dua saudaranya lebih memilih mendirikan kerajaan bisnis sendiri dibandingkan meneruskan ayahnya, sedangkan Kakak Perempuannya sibuk dengan usaha kecantikan. "Tapi mengingat apa yang sudah saya lewati sekarang, saya bersyukur. Karena saya tetap bisa menyimpan impian saya dalam hati, dan meneruskan apa yang harus saya lakukan. Karena saya tahu hidup bukan perkara seberapa besar mimpi kamu, tapi seberapa banyak yang sudah kamu beri untuk orang lain. Menebarkan kebahagiaan untuk orang di sekitar kita."
"Terus kapan Pak Gean memikirkan diri sendiri?"
"Pardon?" sebelah alis Gean terangkat.
"Kapan Pak Gean akan membahagiakan diri sendiri, melupakan masa lalu Pak Gean. Karena tidak semua perempuan seperti Aruna, ada banyak perempuan di luar sana yang mungkin mampu membuat Pak Gean bahagia. Hanya karena Pak Gean pernah terjatuh satu kali, bukan berarti Pak Gean harus menyerah. Ada banyak tangan yang terulur ingin membantu Pak Gean berdiri kembali, hanya saja Pak Gean terlalu sibuk dengan goresan luka yang telah tercipta. "Tria tak yakin setelah ini Gean bisa menahan kesal atas ucapannya, mengingat Gean sangat enggan membahas Aruna. Namun ini semua Tria lakukan karena ia tak mau Gean bertahan dengan rasa sakitnya.
"Dari mana saya harus memulai?"
Pertanyaan Gean membuat Tria tersedak, ia tak menyangka Gean akan menjawab seperti itu.
"Dari mana saya harus belajar memulai membahagiakan diri saya sendiri," Gean mengulang ucapannya.
Tria terlihat begitu bersemangat. "Mulai dengan mengikuti pertemuan yang sudah diatur Bu Prita, siapa tahu ada perempuan yang berhasil mencuri hati Pak Gean."
"Sebenarnya kamu sekretaris saya atau sekretaris ibu saya?" Gean menatap curiga pada Tria yang kini tengah mengembangkan senyumnya.
"Sekretaris Pak Gean, tapi agen rahasia Bu Prita." Tria tertawa ringan, ia tidak tahu hari ini akan menyenangkan hanya karena pernyataan Gean. "Saya akan mongosongkan jadwal Pak Gean kalau Bapak ada Blind Date."
"Atur aja sama kamu," ucap Gean. "Yang penting kamu ikut saya kalau ada pertemuan yang diatur ibu saya."
"Kapan saya cari pasangan kalau harus mengikuti Pak Gean terus?" muka masam Tria sama sekali tak mengurungkan niat Gean.
"Kamu yang meminta sama saya, jadi kamu harus ikut bertanggung jawab. Kamu tak perlu duduk satu meja dengan saya, hanya perhatikan saja." Jelas Gean.
"As your wish," Tria menarik sudut-sudut bibirnya. "Asal Pak Gean bahagia, pasti insentif saya juga ikut bahagia."
BERSAMBUNG
19-01-2019
Follow me on instagram :@Sashalia28