Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

DARI NOL

lio_nardy
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
213
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - DARI NOLL

DARI NOL

Bab 1 – Jatuh ke Jurang

Hujan turun deras, menghantam jalanan kota yang penuh genangan. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya ke aspal yang basah, menciptakan bayangan yang bergerak liar di antara mobil-mobil yang melaju cepat.

Di sudut gang yang remang-remang, seorang pria muda duduk bersandar pada dinding tua yang lembab. Bajunya kotor dan basah, rambutnya berantakan, dan matanya kosong.

Arga.

Dingin menusuk tulangnya, tapi itu bukan lagi hal yang ia pedulikan. Yang lebih menyakitkan adalah rasa lapar yang mencekik, ditambah dengan kesadaran bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang peduli apakah ia hidup atau mati.

Dulu, Hidupnya Tidak Seperti Ini

Arga bukan seseorang yang terlahir dalam kemewahan. Sejak kecil, ia sudah terbiasa bekerja keras. Ibunya meninggal saat ia masih kecil, dan ayahnya—pria yang dulunya keras tapi pekerja keras—jatuh sakit dan akhirnya meninggalkan dunia saat Arga baru lulus SMA.

Sejak itu, ia hidup sendiri, bekerja apa saja untuk bertahan. Ia tidak bisa kuliah karena tidak ada biaya, tapi ia tidak mengeluh.

Ia pernah bekerja di sebuah kedai kopi kecil. Gajinya memang pas-pasan, tapi setidaknya cukup untuk membayar kontrakan kecil di pinggiran kota. Setiap hari ia bangun pagi, bekerja dari siang hingga malam, lalu pulang ke rumah kecilnya dengan rasa lelah yang ia anggap sebagai tanda bahwa ia masih berjuang.

Ia percaya bahwa selama ia bekerja keras, hidup akan membaik.

Tapi ternyata, ia salah.

Sebuah hari sial mengubah segalanya.

Hari Ketika Semua Runtuh

Kedai kopi tempatnya bekerja bangkrut mendadak. Pemiliknya kabur tanpa membayar gaji terakhir mereka.

Arga berusaha mencari pekerjaan baru. Ia berjalan dari satu toko ke toko lain, meninggalkan lamaran di restoran, minimarket, dan bahkan mencatat nomor dari iklan pekerjaan yang tertempel di tiang listrik.

Tapi setiap kali ia mencoba, jawabannya selalu sama:

"Maaf, kami tidak butuh pegawai."

"Maaf, posisi sudah terisi."

"Maaf, kamu tidak punya pengalaman yang kami butuhkan."

Tabungannya mulai menipis. Ia mengurangi makan, hanya membeli nasi bungkus murah sekali sehari.

Saat itu, ia masih berpikir, Aku hanya butuh waktu. Pasti ada jalan keluar.

Tapi waktu tidak menunggunya.

Bulan berikutnya, ia kehabisan uang. Ia menunggak bayar kontrakan, dan pemilik kos tidak memberinya keringanan.

"Maaf, Ga, aku juga butuh uang. Kalau kamu tidak bisa bayar, kamu harus pergi."

Arga mencoba memohon, menawarkan untuk bekerja sebagai tukang bersih-bersih di kos. Tapi jawabannya tetap sama—tidak.

Malam itu, ia terpaksa keluar dari kontrakan dengan hanya membawa tas kecil berisi beberapa pakaian. Tidak ada tempat tujuan. Tidak ada rencana.

Saat itu, untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang akan membantunya.

Tidur di Jalanan

Malam pertamanya tanpa rumah terasa seperti mimpi buruk.

Ia berjalan tanpa arah, mencari tempat berteduh. Ia akhirnya menemukan emperan toko yang sudah tutup, lalu duduk bersandar di sana.

Ia tidak bisa tidur. Jalanan terlalu bising, udara malam terlalu dingin, dan setiap suara langkah kaki membuatnya waspada.

Malam-malam berikutnya tidak lebih baik. Ia mencoba tidur di taman kota, tapi diusir oleh satpam. Ia duduk di halte bus, berpura-pura menunggu bus yang tidak pernah datang.

Perutnya semakin sering berbunyi. Kadang-kadang, ia hanya bisa menelan ludah dan berharap rasa laparnya akan hilang sendiri.

Tapi rasa lapar tidak pernah pergi.

Mengais Makanan dari Sampah

Malam itu, hujan turun deras. Arga berdiri di belakang sebuah restoran kecil, memandang ke arah tong sampah besar.

Ia benci dirinya sendiri karena berdiri di sana.

Tapi ia lebih membenci rasa lapar yang mencekik perutnya.

Dengan tangan gemetar, ia membuka tutup tong sampah itu. Bau busuk langsung menyergap hidungnya. Ia menahan napas, memaksa dirinya untuk mencari sesuatu yang masih bisa dimakan.

Jari-jarinya menyentuh sepotong ayam goreng yang sudah dingin, sedikit basah oleh saus yang menetes. Ia mengambilnya, menatapnya selama beberapa detik, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang.

Rasanya tidak enak. Tapi ia tidak peduli.

Saat itu, ia merasa bahwa harga dirinya telah hancur sepenuhnya.

Ia tidak lagi manusia—hanya sekadar makhluk yang berusaha bertahan hidup.

Dihina dan Dipermalukan

Beberapa hari kemudian, ia duduk di trotoar, menunduk, mencoba menghangatkan dirinya sendiri.

Sekelompok pemuda lewat di depannya. Salah satu dari mereka berhenti dan menatapnya dengan jijik.

"Hei, lihat nih, ada gelandangan!" salah satu dari mereka tertawa.

Arga tidak merespons.

Tapi mereka tidak puas. Salah satu dari mereka menendang kaleng kosong ke arahnya.

"Hei, lo tuli?" kata mereka. "Ngapain di sini? Gak malu?"

Arga mengepalkan tangan, tapi ia tahu, melawan mereka hanya akan membuat keadaan lebih buruk.

Salah satu dari mereka menyiramkan minuman ke kepalanya.

"Pergi sana! Cari tempat lain buat tidur!"

Mereka tertawa, lalu pergi.

Arga duduk di sana, basah kuyup, merasa lebih hina daripada sebelumnya.

Dunia benar-benar tidak peduli.

Malam di Jembatan

Hujan semakin deras. Angin malam berhembus kencang, menusuk kulit seperti pisau tajam.

Arga berdiri di atas jembatan, memandang ke sungai yang mengalir deras di bawahnya.

Pikirannya kosong.

Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berdiri di sana, membiarkan pikirannya berkecamuk.

"Apa gunanya aku tetap hidup?"

Ia sudah kehilangan semuanya. Tidak ada tempat yang bisa ia tuju. Tidak ada yang mencarinya. Tidak ada yang peduli jika besok ia menghilang.

Angin bertiup lebih kencang. Air sungai beriak gelap, seolah memanggilnya.

Tapi saat ia hampir melangkah ke tepi, sesuatu membuatnya berhenti.

Entah kenapa, ada suara di dalam dirinya yang berkata: Jangan.

Pelan-pelan, ia menghela napas panjang dan melangkah mundur.

Ia tidak akan mati di sini.

Jika dunia ingin menghancurkannya, maka ia akan membuktikan bahwa ia bisa bangkit kembali.

Aluna yang Memperhatikan

Di seberang jalan, di bawah payung hitamnya, seorang wanita berdiri diam.

Aluna.

Ia melihat pria itu sejak tadi. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan.

Ia tidak mengenalnya. Tidak tahu siapa dia, atau apa yang sedang terjadi padanya.

Tapi ada sesuatu yang aneh—sebuah perasaan samar yang tidak bisa ia jelaskan.

Saat pria itu akhirnya berbalik, meninggalkan jembatan dengan langkah gontai, Aluna tetap berdiri di sana, memperhatikannya pergi.

Untuk alasan yang tidak ia pahami, hatinya terasa sedikit lebih lega melihat pria itu memilih untuk tetap hidup.

Dan tanpa sadar, di bawah payung hitamnya, Aluna tersenyum samar.

Mulai dari Nol

Arga masih hidup.

Dan selama ia masih hidup, ia akan berjuang.

Bukan untuk dunia yang telah membuangnya.

Tapi untuk dirinya sendiri.

Mulai dari nol.

Dan kali ini, ia tidak akan kalah.

Reviews