DARI NOL
Bab 2 – Bayangan di Kejauhan
Hidup tidak pernah memberi pilihan yang adil.
Setidaknya, itu yang kini diyakini Arga.
Hujan sudah reda sejak tadi malam, tapi dinginnya masih menggigit. Udara pagi terasa lembab, menciptakan kabut tipis di antara gedung-gedung tua di sudut kota.
Arga melangkah pelan di trotoar, kepalanya tertunduk, tangan diselipkan ke dalam saku jaket tipisnya yang sudah mulai robek di beberapa bagian.
Ia belum makan sejak kemarin.
Perutnya terus berbunyi, tapi ia sudah terbiasa mengabaikannya. Yang lebih ia pikirkan sekarang adalah kemana ia harus pergi hari ini.
Semalam, setelah meninggalkan jembatan, ia hanya berjalan tanpa arah hingga kakinya terasa mati rasa. Ia akhirnya menemukan tempat berteduh di sebuah halte kosong. Itu bukan tempat yang nyaman, tapi setidaknya ia bisa duduk tanpa ada yang mengusirnya.
Namun, pagi ini, ia harus mencari cara untuk bertahan hidup lagi.
Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah mencari pekerjaan. Lagi.
Meski ia tahu jawabannya kemungkinan besar akan tetap sama.
Aluna yang Mengamati
Dari kejauhan, seseorang memperhatikannya.
Aluna duduk di dalam mobilnya yang diparkir tak jauh dari sana, memandang ke arah pria yang kini sedang berjalan di trotoar.
Ia tidak tahu kenapa, tapi sejak malam itu di jembatan, bayangan pria itu terus menghantui pikirannya.
Ia tidak mengenalnya.
Tapi ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya sulit mengabaikan.
Seorang pria muda, dengan pakaian lusuh dan tatapan kosong, berjalan sendirian di tengah hiruk-pikuk kota yang tidak peduli padanya.
Aluna menggigit bibirnya pelan.
Ia tahu ini bukan urusannya. Ia tidak seharusnya peduli. Tapi…
Ia tidak bisa menahan rasa penasaran itu.
Siapa dia?
Apa yang membuatnya berdiri di jembatan malam itu?
Kenapa dia terlihat begitu hancur?
Aluna mendesah pelan, lalu memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.
Untuk saat ini.
Penantian yang Sia-Sia
Sementara itu, Arga terus mencoba peruntungannya.
Ia sudah memasuki beberapa toko dan restoran kecil, menanyakan apakah ada pekerjaan yang tersedia.
Jawaban mereka masih sama seperti sebelumnya.
"Maaf, kami tidak membutuhkan pegawai saat ini."
"Kami sudah penuh, Mas."
"Coba cari di tempat lain."
Arga mulai merasa frustrasi.
Ia tahu mencari pekerjaan itu sulit, tapi ia tidak menyangka bahwa akan sesulit ini.
Di sebuah restoran cepat saji, seorang manajer sempat memperhatikannya lama sebelum akhirnya berkata dengan nada ragu:
"Kamu punya pengalaman kerja sebelumnya?"
Arga mengangguk. "Saya pernah bekerja di kedai kopi selama hampir setahun."
Manajer itu menghela napas. "Kami butuh seseorang yang punya pengalaman di restoran besar. Maaf ya."
Arga hanya bisa mengangguk dan keluar dari sana.
Di tempat lain, seorang pemilik toko bahkan tidak memberinya kesempatan untuk berbicara.
Begitu melihat penampilannya yang lusuh, pria itu langsung menggeleng.
"Kami tidak menerima pegawai baru."
Arga tahu pria itu berbohong.
Di kaca depan toko, ada tulisan besar: DIBUTUHKAN PEGAWAI TOKO, DATANG LANGSUNG.
Tapi apa yang bisa ia lakukan?
Hanya menelan harga dirinya dan pergi.
Makan Sisa Orang Lain
Siang mulai menjelang.
Arga akhirnya berhenti di taman kota, duduk di bangku yang sedikit basah karena sisa hujan tadi malam.
Perutnya bergejolak. Rasa lapar mulai membuat kepalanya pusing.
Ia mengamati orang-orang yang duduk di taman, menikmati makan siang mereka. Ada yang membawa burger, ada yang membawa nasi bungkus, ada juga yang hanya minum kopi.
Matanya terpaku pada seorang pria yang baru saja selesai makan di meja dekat tempat sampah. Ia meninggalkan sisa makanan di atas meja sebelum berjalan pergi.
Seketika, ada konflik dalam diri Arga.
Apakah aku benar-benar harus melakukan ini lagi?
Tapi perutnya tidak peduli pada harga diri.
Arga bangkit, berjalan pelan ke arah meja itu, lalu duduk dengan cepat sebelum ada orang lain yang datang.
Tangannya terulur, mengambil sisa roti yang masih tersisa separuh.
Ia menggigitnya tanpa berpikir panjang.
Roti itu dingin, tapi masih bisa dimakan. Dan saat itu, ia tidak punya pilihan lain.
Ia menghabiskan roti itu dengan cepat, lalu menghela napas panjang.
Inilah hidupnya sekarang.
Dan ia membenci dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubahnya.
Aluna Semakin Tertarik
Dari kejauhan, di balik kaca jendela kafe, Aluna kembali memperhatikannya.
Ia melihat bagaimana pria itu berjalan dengan langkah gontai, bagaimana ia duduk di taman, dan bagaimana ia akhirnya mengambil sisa makanan yang ditinggalkan orang lain.
Hatinya terasa aneh.
Ia tidak seharusnya peduli.
Tapi entah kenapa, melihat pria itu seperti melihat seseorang yang tenggelam dalam lautan, berusaha berenang tapi tidak punya tenaga lagi.
Untuk sesaat, Aluna berpikir untuk melakukan sesuatu.
Tapi kemudian, ia mengurungkan niatnya.
Pria itu bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Dan mungkin, ia juga tidak butuh belas kasihan.
Pekerjaan Kotor
Saat sore mulai menjelang, Arga terus berjalan tanpa arah.
Sampai akhirnya, ia melihat sesuatu yang mungkin bisa membantunya.
Di sudut jalan, ada seorang pria tua yang sedang memanggil orang-orang.
"Mau kerja harian? Angkat-angkat barang di pasar! Upah langsung dibayar!"
Arga langsung menghampiri.
Tanpa banyak bicara, ia bergabung dengan beberapa pria lain yang juga sedang mencari pekerjaan.
Kerjaannya sederhana—mengangkat karung-karung berat dari truk ke dalam gudang di pasar.
Tapi bebannya luar biasa.
Karung itu berat, lebih dari 50 kg, dan harus diangkat bolak-balik selama berjam-jam.
Keringat mengucur deras di tubuh Arga, meski cuaca mulai dingin. Tangannya gemetar, punggungnya terasa nyeri.
Tapi ia bertahan.
Karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia akhirnya bisa mendapatkan uang.
Setelah bekerja hampir lima jam tanpa henti, ia menerima upahnya.
Rp50.000.
Jumlah yang kecil, tapi bagi Arga, itu cukup untuk membeli makan malam.
Mungkin, ini langkah kecil pertamanya untuk kembali bangkit.
Aluna yang Tak Bisa Mengabaikan
Malam itu, Aluna kembali duduk di dalam mobilnya, memandang ke luar jendela.
Pikirannya dipenuhi oleh pria itu.
Ia ingin tahu lebih banyak.
Bukan karena belas kasihan, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang ingin mengerti.
Kenapa pria itu sendirian?
Apa yang terjadi dalam hidupnya?
Apakah dia masih punya harapan?
Aluna mendesah, lalu menggelengkan kepala.
Mungkin ini hanya perasaan sesaat.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu—ini bukan hanya rasa penasaran biasa.
Dan tanpa ia sadari, perlahan-lahan, ia mulai merasa ingin lebih dekat dengan pria yang bahkan tidak tahu bahwa ia sedang diperhatikan.