Bab 5 – Langkah Pertama yang Berat
Bayangan Masa Lalu
Arga berjalan sendirian di trotoar.
Udara malam menusuk kulitnya, tapi dia tidak peduli.
Dia masih hidup.
Dia seharusnya sudah mati di taman itu, dengan pisau menancap di perutnya. Tapi sekarang dia ada di sini, dengan luka yang sudah dijahit dan nyeri yang masih terasa.
Kenapa?
Tamparan itu masih membekas. Bukan di pipinya, tapi di dalam hatinya.
Aluna…
Dia bahkan tidak tahu siapa gadis itu sebenarnya.
Tapi kata-kata Aluna masih terngiang di kepalanya.
> "Kau bukan satu-satunya orang yang menderita."
> "Orang yang benar-benar ingin mati tidak akan menunggu kesempatan."
> "Jika kau ingin mati, setidaknya lakukan sesuatu sebelum pergi."
Arga meremas tinjunya.
Apa yang harus dia lakukan?
Dia tidak punya rumah. Tidak punya uang. Tidak punya siapa-siapa.
Dan sekarang, dia bahkan tidak punya alasan untuk mati.
Karena… untuk pertama kalinya, ada seseorang yang melihatnya.
Mencari Jalan Keluar
Pagi itu, Arga mulai mencari pekerjaan.
Berjalan kaki menyusuri jalanan kota. Memasuki toko-toko kecil. Bertanya kepada pemilik warung makan.
Jawaban yang ia dapatkan selalu sama.
> "Maaf, kami tidak butuh pekerja tambahan."
> "Kami hanya menerima karyawan dengan pengalaman."
> "Coba cari di tempat lain."
Tempat demi tempat ia datangi. Keringat membasahi punggungnya. Lukanya nyeri setiap kali dia melangkah.
Tapi dia terus berjalan.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia ingin mencoba.
Namun, dunia tidak peduli.
Hari mulai gelap. Perutnya kosong.
Dan dia masih sendirian.
Saat Segalanya Terasa Mustahil
Arga duduk di tepi trotoar, kepalanya tertunduk.
Lima ribu rupiah di sakunya bahkan tidak cukup untuk membeli nasi bungkus.
Perutnya melilit. Kepalanya pusing.
> "Kenapa hidup begitu kejam?"
Dia mulai berpikir lagi… Apa gunanya semua ini?
Mungkin dia seharusnya tidak bangun di rumah sakit itu.
Mungkin dia seharusnya membiarkan dirinya mati.
Tapi kemudian…
> "Apa yang kulakukan?"
Dia mengingat kata-kata Aluna.
Jika dia menyerah sekarang, maka gadis itu benar.
Dan dia tidak ingin itu terjadi.
Jadi, dia mengangkat kepalanya.
Dia harus bertahan. Bagaimanapun caranya.
Seseorang yang Mengawasi dari Jauh
Di seberang jalan, seseorang berdiri di dekat sebuah mobil hitam.
Aluna.
Dia melihat semuanya.
Melihat bagaimana Arga berjalan dari satu toko ke toko lain, mencari pekerjaan.
Melihat bagaimana Arga akhirnya terduduk kelelahan.
Dan melihat bagaimana dia menolak untuk menyerah.
Aluna mengepalkan tangannya.
> "Kau memang keras kepala, Arga."
Dia ingin menolongnya.
Tapi dia tahu, Arga harus menemukan jalannya sendiri.
Kesempatan yang Datang di Saat Terakhir
Malam itu, Arga berjalan menuju pasar tradisional.
Dia tidak tahu harus ke mana lagi.
Di tengah jalan, dia melihat seorang pria tua sedang mengangkat karung beras ke dalam warung kecil.
Pria itu tampak kesulitan.
Arga mendekat.
> "Pak, boleh saya bantu?"
Pria itu terkejut.
> "Kamu siapa?"
> "Saya butuh pekerjaan. Saya bisa membantu."
Pria itu menatapnya lama, lalu mengangguk.
> "Baiklah. Angkat yang ini."
Arga mengangkat satu karung. Berat.
Lukanya terasa perih, tapi dia tidak berhenti.
Satu demi satu, dia memindahkan karung-karung itu.
Dan saat semua selesai…
> "Ini untukmu."
Pria itu menyerahkan selembar uang.
Seratus ribu.
Tidak banyak, tapi cukup.
Cukup untuk bertahan sehari lagi.
Arga menatap uang itu. Tangannya gemetar.
Untuk pertama kalinya, dia menghasilkan uang dengan tangannya sendiri.
Dan saat itu, dia tahu…
Dia masih bisa bertahan.