Chereads / DARI NOL / Chapter 3 - Luka di malam hari

Chapter 3 - Luka di malam hari

DARI NOL

Bab 3 – Luka di Malam Hari

Hidup yang Tak Memberi Pilihan

Angin malam berembus dingin di antara gedung-gedung tinggi kota. Lampu jalan yang redup menyoroti sosok pria yang berjalan perlahan di trotoar. Pakaiannya lusuh, langkahnya berat, dan kepalanya selalu tertunduk menatap aspal.

Arga berjalan tanpa arah.

Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya hari ini—pekerjaan kasar yang tak memberi banyak uang, hanya cukup untuk bertahan hidup. Tubuhnya penuh lebam akibat beban yang terlalu berat, tangannya kasar dan perih karena terlalu sering membawa barang tanpa sarung tangan.

Di kantongnya hanya ada Rp30.000, cukup untuk membeli makanan seadanya.

Tapi malam ini, ia tidak ingin pulang.

Sebenarnya, ia bahkan tidak tahu kenapa ia masih berjalan di dunia ini.

Setiap hari terasa sama. Setiap malam terasa hampa. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang bertanya bagaimana keadaannya.

Hidupnya terasa seperti beban yang tak perlu ada.

Aluna yang Mengawasi dari Jauh

Dari dalam mobil hitam yang diparkir di tepi jalan, sepasang mata mengawasi Arga.

Aluna duduk di bangku belakang, jari-jarinya memainkan ponselnya, tetapi pikirannya tidak benar-benar ada di sana.

Ia sudah melihat pria ini beberapa kali di jalanan malam.

Seorang pria yang selalu berjalan sendiri, tanpa tujuan, dengan sorot mata yang kosong dan putus asa.

Dan malam ini, entah mengapa, Aluna memutuskan untuk turun dari mobil dan mengikutinya dari jauh.

Ada sesuatu dalam diri pria ini yang menariknya—sebuah kehancuran yang anehnya terasa familiar.

Ia ingin tahu.

Siapa pria itu?

Apa yang membuatnya terlihat begitu hancur?

Gangguan di Taman

Arga berhenti di sebuah taman kecil. Ia duduk di bangku kayu tua yang sudah usang, membuka bungkus makanannya, dan mulai makan dalam diam.

Sementara itu, Aluna melangkah masuk ke taman, berjalan pelan melewati jalan setapak.

Saat itulah, dua pria berpenampilan kasar muncul dari bayangan pepohonan dan menghampirinya.

> "Sendirian, Nona?" salah satu dari mereka menyeringai.

Aluna menghentikan langkahnya, menatap mereka tanpa ekspresi.

> "Pergi," katanya dingin.

Namun, kedua pria itu hanya tertawa.

> "Jangan jutek gitu, sayang. Kita cuma mau ngobrol," pria kedua melangkah lebih dekat.

Sebenarnya, Aluna bisa saja melawan.

Atau ia bisa membiarkan Juno, bodyguard-nya, menangani mereka.

Namun, saat ia melirik ke sudut taman, ia melihat pria lusuh itu duduk sendirian, mengabaikan semuanya.

Dan entah kenapa, Aluna ingin tahu bagaimana reaksi pria itu.

Jadi, saat ia melihat Juno bersiap bergerak, Aluna mengangkat tangannya pelan, memberi isyarat untuk tidak ikut campur.

Ia ingin melihat… apakah pria itu akan peduli atau tidak.

Arga yang Tak Bisa Diam

Arga menghela napas dalam.

Bukan urusannya.

Dunia sudah cukup menyakitinya. Kenapa ia harus peduli pada orang lain?

Namun, saat ia melihat perempuan itu semakin terdesak, ada sesuatu dalam dirinya yang berontak.

Ia tidak bisa tinggal diam.

Arga bangkit dari bangku, berjalan perlahan mendekat.

> "Minggir," katanya dingin.

Dua pria itu menoleh, tertawa mengejek.

> "Lo siapa? Mau sok pahlawan?"

Arga tidak menjawab.

Salah satu pria menepuk bahunya dengan kasar.

> "Jangan cari gara-gara, kawan—"

Bugh!

Sebuah pukulan keras mendarat di rahang pria itu sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.

Ia terhuyung ke belakang, darah mengalir dari sudut bibirnya.

> "Bajingan! Lo cari mati?!" pria kedua merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan pisau lipat berkilat.

Arga diam.

Sesuatu dalam dirinya berbisik.

"Apa bedanya?"

"Kalau mereka membunuhku malam ini, mungkin justru lebih baik."

Dan saat pria itu menikam ke arahnya—

Arga tidak bergerak.

Pisau itu menusuk perutnya, menembus kulit dan dagingnya dengan mudah.

Darah mengalir.

Namun, yang mengejutkan semua orang adalah… Arga hanya diam.

Ia bahkan menahan tangan pria itu agar pisau tetap tertancap di perutnya.

> "Kenapa lo diem aja?!" pria itu berteriak panik.

Arga tersenyum tipis.

> "Kenapa? Takut?"

Pria itu berusaha menarik pisaunya kembali, tetapi Arga menahannya dengan kuat.

Dan dengan tenaga terakhirnya, ia menarik pria itu lebih dekat dan menanduk wajahnya dengan keras.

Brakk!

Pria itu jatuh ke tanah, pingsan seketika.

Tangan Arga akhirnya melepaskan pisaunya, membuat darah semakin mengalir dari luka di perutnya.

Matanya mulai berkunang-kunang.

Tubuhnya limbung.

Juno akhirnya bergerak, dengan mudah menghantam pria kedua hingga tersungkur.

Namun, perhatian Aluna tertumpu pada Arga.

Luka yang Lebih Dalam dari Sekadar Pisau

Arga jatuh berlutut, darah membanjiri tanah di bawahnya.

Aluna bergegas berlutut di sampingnya, tangannya bergetar saat mencoba menekan luka di perut Arga.

> "Hei! Kenapa kau tidak menghindar?!" suaranya terdengar marah, tetapi matanya menyiratkan kepanikan.

Arga menatapnya.

> "Apa bedanya…?" gumamnya lemah.

Mata Aluna membesar.

Pria ini… benar-benar tidak memiliki rasa ingin hidup.

> "Juno, kita bawa dia ke rumah sakit! Cepat!"

Namun, Arga menggeleng.

> "Jangan…" suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak butuh belas kasihan…"

Aluna merasakan dadanya sesak.

> "Diam! Aku tidak akan membiarkanmu mati di sini!"

Saat itulah, kesadaran Arga mulai menghilang.

Dunia terasa semakin gelap…

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama…

Seseorang memeluknya erat.