DARI NOL
Bab 4 – Nama yang Terlambat Diketahui
Terbangun di Antara Hidup dan Mati
Arga membuka mata perlahan.
Langit-langit putih. Bau antiseptik.
Aku masih hidup?
Perutnya terasa nyeri, mengingatkannya pada kejadian tadi malam. Pisau itu menembus dagingnya, tetapi entah bagaimana, sekarang dia masih di sini.
Kenapa?
> "Akhirnya sadar juga."
Suara itu membuatnya menoleh.
Seorang gadis duduk di sofa, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Aluna.
Arga tidak mengenalnya.
Tapi dia tahu gadis itu melihat semuanya tadi malam.
Dan dia pasti berpikir aku bodoh.
Tanpa Rasa Syukur
Aluna berdiri, berjalan mendekat.
> "Kau bahkan tidak bertanya di mana kau berada?"
Arga mendengus.
> "Apa bedanya?"
> "Bedanya, kau masih hidup."
Arga tertawa kecil. Tawa yang penuh kepahitan.
> "Itu bukan sesuatu yang kuinginkan."
Aluna menatapnya tajam.
> "Jangan bicara seolah hidup adalah hukuman."
> "Bukankah memang begitu?"
Suasana menjadi dingin.
> "Kau bicara seperti seseorang yang tidak menghargai kesempatan kedua."
Arga menatapnya tajam.
> "Dan kau bicara seolah hidup ini berharga untuk semua orang."
Aluna menyilangkan tangan.
> "Itu karena aku tahu hidup ini selalu bisa berubah."
Arga mencibir.
> "Lucu. Kau pasti berasal dari dunia yang berbeda dariku."
Aluna tidak membantah.
> "Aku tahu satu hal, Arga."
> "Apa?"
> "Orang yang benar-benar ingin mati tidak akan menunggu kesempatan. Mereka akan melakukannya sendiri."
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau yang menembus perutnya tadi malam.
Arga menggertakkan giginya.
> "Diam."
> "Kenapa? Karena aku benar?"
Arga menatap tajam.
> "Kau tidak tahu apa-apa tentang hidupku."
> "Dan kau juga tidak tahu apa-apa tentang hidupku."
Aluna mendekat selangkah.
> "Jadi, kenapa kau menganggap hanya hidupmu yang paling menyedihkan?"
Arga terkesiap.
> "Aku…"
> "Kau bukan satu-satunya orang yang menderita, Arga!"
Aluna menaikkan suaranya.
> "Tapi tidak semua orang memilih untuk menyerah."
Arga mengepalkan tangan.
> "Kau tidak tahu apa yang sudah kulewati."
> "Lalu ceritakan padaku!"
Aluna menantangnya.
> "Beri aku satu alasan kenapa hidupmu tidak pantas untuk diperjuangkan!"
Arga membuka mulut, lalu menutupnya lagi.
Puncak Emosi – Tamparan yang Menyadarkan
> "Aku tidak punya siapa-siapa lagi."
Suara Arga lemah.
> "Aku kehilangan segalanya. Aku tidak punya alasan untuk tetap ada."
Aluna menatapnya, matanya berkilat emosi.
> "Jadi kau pikir kau bisa mati begitu saja?"
> "Bukankah itu hakku?"
Dan saat itu juga…
PLAK!
Tamparan Aluna mendarat di pipi Arga.
Arga terdiam.
Bukan karena sakit di pipinya, tapi karena… tidak ada yang pernah menamparnya seperti itu sebelumnya.
Aluna menatapnya, matanya berkaca-kaca.
> "Kau egois, Arga."
Suara Aluna bergetar.
> "Kau pikir dunia akan berhenti hanya karena kau pergi? Kau pikir tidak ada orang yang peduli?"
Arga tidak menjawab.
> "Kau pikir aku hanya melihat tadi malam karena aku tidak peduli?"
Arga menatap mata Aluna.
Ada kemarahan.
Ada luka.
Dan yang paling mengejutkan… ada kepedulian.
> "Aku marah, Arga."
> "Kenapa?"
> "Karena aku melihat seseorang yang seharusnya bisa bertarung… tapi memilih menyerah."
Aluna menyeka air matanya dengan cepat.
> "Aku tidak tahu apa yang sudah kau lalui."
> "Tapi aku tahu satu hal."
> "Jika kau benar-benar ingin mati, kau tidak akan ada di sini sekarang."
Sunyi.
Arga menyentuh pipinya yang panas karena tamparan itu.
Di dalam hatinya, sesuatu mulai runtuh.
> "Aku…"
Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
Karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama…
Dia mulai mempertanyakan segalanya.
Sebuah Nama, Sebuah Awal
Aluna menarik napas dalam, menenangkan dirinya.
> "Aku tidak ingin melihat seseorang membuang hidupnya seperti ini."
Arga menunduk.
> "Kenapa?"
Aluna terdiam sejenak.
Lalu, dengan suara pelan, ia berkata:
> "Karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang menyerah."
Arga menatapnya.
Aluna menoleh ke jendela, lalu bergumam.
> "Namaku Aluna."
Arga tidak bisa berkata apa-apa.
Dan di dalam hatinya, sesuatu yang sudah lama mati…
Mulai hidup kembali.