Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Negeri Dongeng - Allen Nolleps

🇮🇩Allen_Nolleps
28
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 28 chs / week.
--
NOT RATINGS
581
Views
Synopsis
Kalian tahu cerita rakyat Malin Kundang, Danau Toba, Si Pahit Lidah dan lainnya kan? Kalian juga tahu sistem leveling yang ada di manhwa kan? Sistem yang jadi cheat dimana mc bisa jalani misi, lalu dapat poin sistem yang bisa ditukar berbagai item itu. Sekarang, coba bayangin keduanya digabung. Yaps, itu lah yang terjadi di sini, dimana Dimas, terlempar ke indonesia di era abad pertengahan. Dunia dimana cerita rakyat menjadi nyata dan ada di satu universe. Dimas harus menyelesaikan berbagai cerita rakyat itu untuk mendapatkan poin sistem yang bisa ditukarnya di toko sistem. Kok bisa sih dia terlempar ke indonesia abad pertengahan? Itu dunia pararel kah? Kok ada sistem leveling gitu sih? Dimas bisa pulang lagi gak? Nyelesain misinya susah ya? bisa beli apa aja di sistemnya? ada sihir gak di dunia itu? Well, untuk tahu semua jawabannya, yuk mulai dibaca aja, happy reading semua! *Cerita original, hasil ketik tangan penulis, karena itu mohon kebijaksannya untuk tidak menyelahgunakan dan apresiasinya dengan vote/like. *Jangan ragu untuk beri masukan, silahkan komen, ceritakan kesanmu saat membaca [Kunjungi Author]-------------------- Instagram: @allen.nolleps Tiktok: @allen_nolleps
VIEW MORE

Chapter 1 - 1 | Malin Kundang

"Astaga, ini beneran nih?"

Dimas bergumam letih saat dirinya berdiri di tengah kerumunan. Ada lusinan orang yang berkerumun, dia adalah salah satunya, beberapa menatapnya dengan aneh, meliriknya dari atas ke bawah.

Dimas mengerti dari mana sumber rasa penasaran mereka, lagi pula, dirinya tampil dengan pakaian yang berbeda.

Dia mengenakan kemeja putih dengan balutan jas dan dasi warna hitam, ada celana bahan warna hitam yang dikenakannya dengan sepatu pantofel hitam, ini adalah paket lengkap setelan formal.

Hal yang membuat penampilan Dimas aneh terletak pada lingkungan sekitarnya, dimana hampir semua orang mengenakan pakaian kasar berupa baju polos yang tampak usang dan jadul, bahkan tak jarang seseorang tampil tanpa mengenakan atasan apapun, mereka tampak seperti masyarakat pedesaan yang tertinggal.

Karenanya, melihat seseorang dengan penampilan anggun namun asing, membuat mereka heran dan penasaran. Namun, rasa penasaran itu tidak memberi Dimas terlalu banyak perhatian, lagi pula, ada kejadian yang lebih heboh, tengah berlangsung tepat di depan mata semua orang.

"Malin! ini Amak Nak! ini Amak!"

Seorang wanita tua meratap dengan air mata, berseru menyedihkan pada seorang pria, seorang pria dengan pakaian mewah, menegaskan statusnya yang tinggi.

Pria itu menatap dengan ekspresi rumit, hatinya berkonflik akan serangkaian emosi: malu, khawatir, kecewa dan juga... penyangkalan.

"Uda, ini... Amakmu?"

Suara manis yang familiar menginterupsi Malin, menoleh ke samping, Malin menemukan istrinya tengah menatap wanita tua itu dengan ekspresi jijik, sama sekali tidak menyembunyikan betapa tak senangnya dia melihatnya.

Tak mendengar jawaban suaminya, Zainab menoleh. "Uda, apa benar wanita tua lusuh ini adalah Amakmu?"

Pertanyaan dingin dengan tatapan tajam Zainab membuat Malin tersadar dari lamunannya, dia menggeleng. "Uni, apa kamu percaya sama wanita tua itu? mana mungkin aku punya Amak yang kotor dan jelek seperti ini?"

Kerutan di dahi Zainab mengendur, dia merasa bahwa apa yang dikatakan suaminya benar, tak mungkin pria yang dicintainya memiliki ibu yang menjijikan seperti ini, seorang rakyat jelata, yang bahkan lebih lusuh dari kebanyakan rakyat jelata.

Juga, dia telah mendengar dari suaminya bahwa kedua orang tuanya telah lama meninggal, menyisakan dirinya seorang diri.

"Sudahlah Uni, jangan dengarkan dia, kita kembali saja ke kapal," ajak Malin, melingkarkan tangannya di bahu istrinya, berharap bisa meninggalkan tempat ini secepat mungkin.

Keduanya berbalik dan berjalan pergi, namun...

"Malin! kau itu anakku! ini aku Mande Rubayah! Amakmu Nak!"

Mande Rubayah mencoba bangkit untuk mengejar, namun dua orang pengawal Malin menahannya.

"Sial! hentikan ocehan gilamu Nenek tua! Amaku sudah meninggal! dan dia bukan wanita rendahan sepertimu! Amaku adalah orang terpandang sama sepertiku!" seru Malin, tak tahan dengan situasinya.

"Tidak Nak! aku Amakmu! aku yang melahirkan-"

"Diam! jangan bicara lagi! aku tidak mungkin lahir dari wanita hina sepertimu!"

Sesuatu yang tajam tampaknya menusuk hati Mande Rubayah, air matanya semakin deras jatuh ke pasir pantai, lututnya lemas saat dia terduduk di pasir, perkataan putranya menyakitinya lebih dari apa pun yang pernah dia rasakan sepanjang hidupnya.

Menatap putranya dengan tatapan menyakitkan, Mande Rubayah mengangkat kedua tangannya, berharap bisa memeluknya. "Nak, ini Amak, Amak rindu kau, Nak, bertahun-tahun Amak menunggu, dan sekarang kau kembali, tolong jangan begitu Nak, Amak kangen..."

Semakin dia berbicara, semakin kecil suaranya, itu mulai tercampur dengan isak tangisnya. Meski begitu, tak ada satu pun orang yang tak mendengar apa yang dikatakan Mande Rubayah, seolah angin pantai ikut membawa suaranya agar didengar oleh semua orang.

Bahkan Malin sendiri, merasa tegang karenanya, ada perasaan menyesakkan jauh di dalam hatinya, tapi... dia tidak ingin menghancurkan citra dirinya di depan istri dan anak buahnya.

"Serius Uda, aku sudah tak tahan lagi ditempat ini," kata Zainab, menarik lengan baju suaminya, berharap bisa pergi secepatnya.

Malin berbalik, berjalan pergi, ditemani oleh para bawahannya.

Melihatnya menjauh, Mande Rubayah bangkit lagi, dia berseru panik. "Tidak Nak! tolong jangan pergi lagi! Amak tidak bisa-"

"DIAM!!" Malin berteriak marah. "Aku sudah bilang kau bukan Amaku!"

Dia berjalan mendekati Mande Rubayah dengan langkah kuat, mengangkat tangannya, bersiap untuk menamparnya. "Nenek gila sepertimu harus diberi pelajaran agar sadar!"

Mande Rubayah menutup matanya dengan takut saat dia melihat tangan putranya akan diturunkan untuk menamparnya. Namun, rasa sakit yang dia harapkan tak kunjung tiba, justru dia malah mendengar putranya yang berseru marah.

"Siapa kau sialan! berani-beraninya kau!"

Membuka matanya, Mande Rubayah melihat lengan putranya ditahan oleh seseorang.

"Wah wah... bagian yang ini agak berlebih kawan, seenggaknya jangan main fisik oke?"

Suara maskulin yang tenang terdengar darinya. Mande Rubayah menoleh untuk melihat seorang pemuda yang telah menahan serangan putranya.

Pemuda itu melepaskan lengan Malin saat anak buahnya mendekat dengan ekspresi berbahaya.

Malin menahan anak buahnya di belakang, dia menyipitkan matanya. "Siapa kau? apa urusanmu?"

Dia bertanya dengan hati-hati, melihat bagaimana pemuda itu tampak berbeda dari yang lain, penampilannya yang rapi menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang rakyat jelata, Malin tidak ingin bermasalah dengan orang penting.

"Oh? saya?" Pemuda itu tersenyum tipis. "Nama saya Dimas, dan saya... anak dari Nenek ini."

Mata Malin terbuka lebar karenanya, begitu juga Mande Rubayah, hanya keduanya yang tahu bahwa itu adalah kebohongan!

"A-Anak? kau?" Malin tergagap.

"Ya, itu saya, saya adalah anaknya," Dimas tersenyum, dia menatap Mande Rubayah, menepuk lembut bahunya dan berkata dengan hangat. "Maaf ibu, Dimas baru sampai, lain kali Dimas akan temani ibu saat keluar."

Dimas menoleh untuk melihat Malin dan rombongannya, dia tersenyum pahit dan menundukan kepala. "Maaf semuanya, ibu saya sudah tua, dia punya masalah ingatan, ini salah saya karena membiarkannya sendiri, sekali lagi, saya minta maaf atas ketidaknyamanan yang diperbuatnya."

Malin hanya berdiri diam, seolah membeku, dia terlalu terkejut dengan apa yang dilihatnya, seorang pemuda entah dari mana mengaku dirinya sebagai anak dari ibunya sendiri!

Hal yang sama juga berlaku untuk Mande Rubayah, dia tidak tahu siapa pemuda itu, yang datang dan mengaku sebagai putranya. Tapi, perlakuan hangatnya entah mengapa membuat Mande Rubayah tersentuh dan merasa nyaman, rasa sakit dihatinya tampak sedikit berkurang.

"Jadi kau adalah anaknya?"

Dimas menoleh untuk melihat wanita cantik dengan pakaiannya yang bagus, melengkapi parasnya yang jelita. Namun, entah mengapa dirinya justru merasa jijik pada wanita ini.

"Benar Nona, saya anaknya, maaf atas masalah yang-"

"Kau seharusnya menjaga Amakmu dengan benar, dia hampir membuat masalah dengan keluargaku, mengaku sebagai ibu dari suamiku? dia sungguh wanita yang tidak tahu diri," cibir Zainab, melampiaskan rasa kesalnya.

Dimas yang mendengarnya, menatap wanita itu dengan ekspresi tenang, senyum ramah masih terukir di wajahnya, namun, jika seseorang memperhatikan lebih dekat, mereka akan melihat bahwa mata pemuda itu tampak begitu dingin.

Dimas tak langsung merespon, sejenak membiarkan desiran angin pantai dan bisikan terendam orang-orang memenuhi sekitarnya.

Baru setelah itu dia tersenyum lebih lebar dan mengangguk setuju. "Kau benar Nona, saya seharusnya menjaga ibu, saya sungguh anak yang buruk karena pergi dan meninggalkannya sendiri."

Dimas berkata dengan tenang, dia mengalihkan pandangan ke Malin dan melanjutkan. "Hanya manusia busuk yang akan pergi meninggalkan ibunya, apa lagi sampai tidak mengakuinya, orang seperti itu... pasti akan mati dalam waktu dekat."

Kalimat terakhirnya dikatakan dengan nada dingin, dan Dimas menatap geli pada ekspresi Malin yang tampak buruk saat mendengarnya, dia pasti sangat kesal sekarang.

Sementara itu, Zainab yang tak mengetahui kebenarannya, menatap bingung pada Dimas, Zainab tak mengerti kenapa dia mengatakan hal buruk pada dirinya sendiri.

"Ayo Uni! kita pergi dari sini!" kata Malin dengan marah, menarik istrinya dan berjalan pergi ke kapal, diikuti oleh rombongannya.

"Malin! tunggu-"

Mande Rubayah yang hendak mengejar, ditahan oleh Dimas. Menoleh, dia melihat pemuda itu menggeleng padanya. "Dia nggak layak dikejar, abaikan saja."

Itulah yang dikatakannya, tapi, sebagai seorang ibu, Mande Rubayah tak bisa begitu saja melihat kembali kepergian putranya yang telah bertahun-tahun dia rindukan.

Namun apa daya, Malin tak mau mengakuinya sebagai ibu, sebuah kejadian yang tak pernah sekali pun dia pikir akan terjadi dalam hidupnya. Meski teramat sakit, tak ada yang bisa dia lakukan kecuali terduduk di pasir pantai, menangisi kepergian putranya yang punggungnya semakin jauh di depan.

Dimas menghela napas berat, dia merasa tak enak hati melihat kepedihan wanita tua ini, tapi... tak banyak yang bisa dia lakukan untuknya, lebih dari itu, dia juga memiliki masalahnya sendiri.

'Sistem,' gumam Dimas di dalam hatinya.

Segera, sebuah panel layar berwarna biru transparan, muncul di hadapannya.

------------------------------

[Sistem]

[Nama: Dimas Aksara]

[Usia: 22]

[Gelar: Transmigrator]

[Cerita Rakyat: 0]

[Cerita Rakyat:

- Malin Kundang

- ???

- ???

- ???

- ???

]

------------------------------

Serangkaian informasi muncul dari layar transparan di depannya, itu berisi informasi tentang dirinya dan sebuah cerita rakyat yang kini menjadi misi yang harus diselesaikannya.

Panel ini muncul setelah entah bagaimana dirinya dipindahkan ke dunia ini, dunia dimana tampaknya cerita rakyat menjadi nyata, dan dirinya... harus menjadi bagian dari itu.

'Astaga, ini beneran nih!' gumam Dimas dengan frustasi.

Kini dia harus menjalani kehidupannya yang baru, tidak tahu apakah dia bisa kembali ke dunia asalnya atau tidak.