Hari itu, mungkin adalah hari paling bahagia dalam hidupnya, dirinya telah dipersunting oleh seorang pemuda. Beberapa bulan kemudian, dia mengandung, dan sekarang, tiba waktunya untuk melahirkan buah hati mereka.
Sesuai harapan, anak itu lahir dengan sehat. Dirinya masih ingat betapa senang suaminya saat mengetahui anak mereka adalah laki-laki.
Jika bukan karena fakta bahwa dia harus berkerja, mencari nafkah, mungkin dia akan menghabiskan waktunya seharian penuh bermain dengan anak mereka.
Kami tinggal di rumah sederhana, hidup bahagia sebagai keluarga, yang kini dilengkapi dengan hadirnya si kecil, yang kami beri nama Malin Kundang.
Anak itu tumbuh sehat, dengan kasih sayang yang kami berikan. Meski terkadang rewel, kami tak pernah merasa risih.
Bahkan suaminya cukup senang dengan itu, selalu berkata bahwa keaktifannya adalah tanda anak mereka akan menjadi orang besar.
Namun, kebahagiaannya tampak tidak ditakdirkan untuk bertahan lama, karena ketika Malin berusia lima tahun, suaminya mengalami kecelakaan.
Dia bekerja sebagai nelayan, sehari-hari pergi ke laut mencari ikan. Dia akan membawa hasil tangkapan ke rumah, menukar kelebihannya dengan kebutuhan lain.
Namun, hari itu, cuaca lebih buruk dari biasanya, angin kencang dan hujan deras membuat laut bergejolak hebat.
Biasanya, suaminya sudah kembali sebelum matahari terbenam, namun hari itu, dia tak pulang.
Esok hari pun sama, begitu pula untuk hari-hari berikutnya.
Butuh satu tahun penuh bagi dirinya untuk menerima kepergiannya.
Di masa itu, dia masih berharap akan adanya keajaiban, dia masih berharap akan datang hari dimana suaminya kembali ke rumah, membawa banyak ikan, tersenyum lebar, bertanya dimana Malin, sebelum pergi dan bermain dengan anak kami.
Itu adalah aktivitas rutin keluarga kecil mereka. Namun sekarang, dia sudah sangat bersyukur jika bisa melihat pemandangan itu lagi, meski hanya di dalam mimpi.
Sesekali dia akan menyendiri di kamar, menangis, melampiaskan kesedihannya. Namun di luar, dia tetap menunjukkan pribadi yang tegar, berusaha menjadi ibu yang kuat untuk anaknya.
Menggantikan suaminya mencari nafkah, dia akan mengumpulkan kayu bakar untuk ditukar dengan makanan dan kebutuhan lain.
Berusaha untuk tidak membuat anaknya kelaparan, tak peduli meski situasi sedang sulit, bahkan jika dia sendiri harus menahan lapar.
Dia Mencoba memberi apa yang diinginkan putranya, tak peduli meski dia harus lebih keras membanting tulang.
Sejak kepergian suaminya, seluruh hidupnya didedikasikan untuk anak mereka, Malin Kundang.
Kecintaannya pada mendiang suaminya membuatnya setia pada status jandanya, sepenuhnya mengambil tanggung jawab sebagai orang tua dan tulang punggung keluarga.
Rasanya berat, sangat berat, membesarkan anak seorang diri sungguh perkara yang sulit.
Tapi, setiap kali dia melihat putranya, entah mengapa perasaan berat itu hilang seketika. Letih yang dirasakannya dapat dengan mudah sirna hanya dengan tawanya.
Hatinya bermekaran setiap kali melihat putranya, buah hatinya. Keberadaanya memberi makna dan tujuan hidup, selalu memberinya energi untuk menjalani kehidupan yang sulit.
Melihatnya tumbuh menjadi satu-satunya sumber kebahagiaannya, kebahagiaan yang layak diperjuangkan, tak peduli betapa besar kesulitan yang perlu dibayarnya.
Seiring berjalannya waktu, Malin tumbuh menjadi anak remaja, dia memiliki sifat periang yang aktif, suka bermain di pantai, melihat berbagai kapal lalu-lalang.
Tak jarang dirinya harus dibuat khawatir saat anak itu pulang larut. Dia harus mencarinya, dan seperti biasa, menemukan Malin sedang mengamati atau bahkan terlibat dengan kru kapal yang sedang singgah.
Menjadi anak satu-satunya, dia sudah terbiasa untuk memanjakannya, berusaha untuk memberi segala yang bisa diberikannya.
Terkadang dia sendiri menyesal dengan caranya mendidik Malin, anak itu menjadi sulit diatur. Namun apa daya, dia adalah anak kesayangannya, seseorang yang ingin dia selalu buat bahagia.
Penyesalannya semakin menjadi saat suatu hari dia mendengar permintaan putranya, yang ingin merantau ke tempat jauh.
Sebelumnya, dia hanya melihat kebiasaan Malin yang gemar bermain di dekat kapal sebagai bentuk kenakalan belaka, tak pernah menyangka suatu hari nanti dia akan datang, meminta izin untuk pergi bersama mereka.
Reaksi pertamanya jelas penolakan, bahkan dia tak harus berpikir untuk segera menjawabnya. Tentu, Malin bersikeras memohon. Sayangnya, untuk kali ini, dia juga bersikeras akan penolakannya.
Ini mungkin pertama kali dalam hidupnya, begitu menentang keinginan putranya. Tapi apa daya, dia tak ingin jauh dari anaknya, tak ingin kehilangannya.
Sayangnya, hatinya tampak tak sekeras yang dipikirkannya. Ketika Malin mengungkit perihal impian dan masa depan, dia tak bisa tidak setuju dengannya.
Tak ada orang tua yang tidak ingin anaknya sukses, berhasil mengejar mimpi dan menjadi orang besar. Dia pun menginginkan hal yang sama, namun... dia tidak siap dengan apa yang harus dibayarnya, tidak siap ditinggal oleh anak kesayangannya.
Tapi sekali lagi, dia adalah seorang ibu yang siap mengorbankan segalanya demi kebaikan putranya, demi kebahagiaannya.
Dengan amat berat hati, dia melepaskannya, mengantarkannya naik ke kapal.
Meski kapal telah menghilang di kejahuan cakrawala, dirinya tetap berdiri di sana, menatap dengan air mata yang mengalir, sementara mulutnya tak pernah berhenti memanjatkan do'a, memohon keselamatan bagi putranya.
Hari demi hari berlalu, tak pernah ada satu hari pun dia tak pergi ke tempat itu, tempat dimana dia mengantarkannya pergi, tempat terakhir kali dia melihat anaknya, Malin Kundang.
Hari-harinya diisi oleh kerinduan dan kekhawatiran akan keselamatannya. Apakah dia sehat? apa dia makan dengan benar? apa dia tidak kedinginan di luar sana? apa dia tidak dijahati orang?
Rentetan pertanyaan ini selalu muncul dalam benaknya, dan yang bisa dilakukannya hanya berdoa, memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa.
Tahun demi tahun dijalaninya dalam kesepian. Tidak ada kabar apa pun yang datang darinya. Sesekali pikiran negatif muncul, membuatnya beranggapan bahwa putranya, Malin, mungkin sudah...
Nggak! itu nggak mungkin! Dia menolak untuk percaya, dia yakin putranya, Malin, baik-baik saja di luar sana, mungkin dia hanya terlalu sibuk, mungkin dia hanya tak punya waktu.
Setiap kali pikiran buruk semacam itu muncul, dia segera menggubrisnya, langsung membantahnya dengan kepercayaan diri yang kuat. Tentu, jauh di dalam, rasa khawatir yang teramat sangat masih menggerogoti hatinya.
Tak terasa, dampak berlalunya waktu mulai muncul. Tubuhnya semakin lemah dan bungkuk, vitalitasnya menurun, rambut hitamnya memutih, sementara kulitnya mengerut. Dia menjadi tua.
Meski waktu telah mengubah penampilan fisiknya, di dalam, kepercayaan dirinya pada keselamatan putranya masih sama, dia masih percaya bahwa Malin baik-baik saja di luar sana.
Sampai pada akhirnya, dia mendapat informasi mengenai putranya, Malin Kundang.
Hari itu, seperti biasa dia datang ke tempat dimana Malin pergi. Di sana, terdapat kapal yang singgah, dia menghampiri, menanyakan kabar putranya, yang siapa sangka, ternyata mereka mengenalnya!
Dari apa yang diceritakan, anaknya, Malin, telah menjadi saudagar kaya di sana, bahkan dia telah menikah dengan putri dari saudagar kaya lain.
Seperti orang yang menemukan Oasis saat tersesat di gurun, dia sangat bahagia, begitu bahagia sampai kata-kata mungkin tak bisa menggambarkan perasaannya.
Meski sedikit kecewa karena tak bisa hadir di pernikahan putranya, cukup mengetahui Malin telah menikah, sudah cukup memberinya perasaan bahagia yang teramat sangat.
Dia memiliki seorang menantu! keluarga kecil mereka kini mendapatkan anggota baru!
Dia bertanya-tanya apakah mereka sudah memiliki anak? apakah dirinya kini memiliki cucu? dia sangat menantikan jawabannya!
Syukurlah, mereka juga memberitahukan bahwa Malin akan pergi ke sini dalam waktu dekat.
Sejak itu, dia akan selalu ke mengecek pantai setiap beberapa jam sekali, dia tak ingin kehilangan momen untuk menyambut putranya!
Sampai akhirnya, hari yang dinanti pun tiba.
Dirinya menunggu di pantai, sebuah kapal besar datang dan singgah di sana. Jantungnya sudah berdebar kencang saat menanti siapa yang akan turun. Dan benar saja, dia melihat putranya!
Meski usia tua telah mempengaruhi ingatannya, meski berlalunya waktu telah merubah wajah putranya, dia sama sekali tidak akan lupa, orang itu, pastilah putranya! anak yang dilahirkannya!
Dengan perasaan senang, dia datang menghampiri, berseru bahagia, memanggil putranya, mengharapkan pelukan hangat.
Namun, sebelum dia bisa menyentuh putranya, beberapa orang yang tampak seperti penjaga menghadangnya, tak membiarkannya lewat.
Bahkan saat dia mengatakan dirinya adalah ibu dari Tuan mereka, para penjaga hanya menatap aneh dirinya, sebelum menatap kapada Malin, meminta konfirmasi.
Sayangnya, bukannya persetujuan, putranya justru menentangnya, tak mengakui dirinya sebagai ibunya.
Kata-kata itu, membuat seluruh tubuhnya mendingin, dunianya menjadi hening saat kegelapan mulai menyelimuti sekitarnya.
Setiap pertentangan, makian dan cibiran yang dikatakan putranya, menusuk hatinya dengan sangat dalam.
Bahkan wanita yang menjadi menantunya pun sama. Seseorang yang telah dia terima sebagai keluarga itu, menatapnya dengan jijik, melihat dirinya seperti melihat sampah.
Keduanya semakin membuat dunianya lebih gelap, sampai akhirnya, dia terduduk di pasir hitam, menundukkan kepala dengan tatapan kosong dan putus asa.
"Amak! Amak!"
"Maafin Malin, Amak!"
Sebuah suara menggema di dalam kegelapan. Dia mendongak, menatap bingung sekitar, pada ruangan yang hanya diselimuti kegelapan.
"Maaf Amak!"
"Malin minta Maaf!"
Dia menoleh ke belakang, tak menemukan siapa pun, namun kini dia yakin, ada seseorang di sini, suaranya sangat jelas, itu adalah putranya.
"M-Malin?" tanyanya terbata.
"Amak! Maaf Mak!"
"Maafin Malin, Amak!"
"Tolong Malin!"
"Malin?! dimana kau Nak?!" tanyanya berteriak khawatir, suara putranya, Malin, terdengar sangat kesakitan.
"Malin di sini Amak!"
"Malin di sini!"
"Maafin Malin, Amak!"
Dia berbalik, kini melihat siluet tertentu di kejauhan. Perlahan sosok itu mendekat, berjalan tertatih, sampai akhirnya dia bisa melihat wajahnya.
"Malin?!" serunya histeris, melihat keadaan putranya yang menyedihkan.
Tubuhnya menghitam seolah dia telah dibakar habis, kulitnya tampak kasar dan retak, mirip seperti batu, dengan noda darah di setiap retakan.
Hatinya tenggelam melihat keadaan putranya seperti itu.
Dia berlari mendekat, namun, langkahnya terhenti saat mereka tinggal beberapa langkah. Hal yang sama terjadi pada Malin, dia tak bisa mendekat lebih jauh.
"Amak! maafin Malin, Amak!"
"Malin minta maaf!"
"Ini sakit! Amak! Malin kesakitan!"
"Tolong maafin Malin!"
Seruan permohonannya sangat menyedihkan, tampak begitu kesakitan dalam siksaan yang pedih.
"Malin! Malin! kamu kenapa, Nak?! kamu kenapa?!"
Dia bertanya histeris, menangis, melihat penderitaan putranya.
Malin ingin mengatakan sesuatu, namun rasa sakit membuatnya hanya bisa mengerang. Tubunya mulai membungkuk, sebelum turun lebih jauh ke dalam posisi bersujud.
Di depan mata ibunya, tubuh Malin berubah, semakin hitam dan mengeras, seolah menjadi patung, patung batu hitam yang tampak seperti telah dicelupkan ke dalam api.
"MALIN!! MALIN!! TOLONG JANGAN!! TOLONG!! MALIN!!"
Jeritan histerisnya membuat ruangan yang gelap ini bergetar, sebelum akhirnya hancur.
***
Mande Rubayah membuka matanya, segera bangkit. Tubunya bergetar, sementara keringat telah membanjiri seluruh tubuhnya.
"A-Apa i-itu tadi?" tanyanya, terbata-bata dengan tubuhnya yang masih gemetar ketakutan.
Dia mengatur napas, mencoba mendapatkan kembali ketenangannya.
Butuh waktu lama baginya untuk tenang, atau setidaknya cukup tenang.
Dia beranjak dari tempat tidurnya, berjalan ke luar kamar dengan tubuhnya yang masih sedikit gemetaran.
Pergi ke ruang tamu, dia melihat Dimas yang masih tertidur, perasaannya tampak sedikit membaik setelah melihat sosoknya.
Berjalan mendekat, dia duduk di sampingnya, mengangkat tangan dan mengelus ringan kepalanya.
Tindakannya tampak tak sopan jika mengingat bahwa mereka hampir seperti orang asing, belum lama kenal dan bukan siapa-siapa satu sama lain.
Namun, Mande Rubayah menemukan kedamaian saat melakukanya. Dia tersenyum sedih, mengingat mimpinya yang amat mengerikan.
Entah mengapa, dia merasa mimpi itu berisi sebuah petunjuk.
Pagi itu, Mande Rubayah menghabiskan sejenak waktunya untuk menghibur diri dengan membelai kepala Dimas, membelainya dengan begitu lembut, seolah dia melakukannya pada anaknya sendiri.
***
Mande Rubayah tengah berjalan di pasar, melihat tangannya, dia menemukan koin tiga perak, ini adalah uang yang kemarin diberikan Dimas padanya.
Meski telah menolak, pemuda itu tampak bersikeras. Entah mengapa, sifat keras kepalanya mengingatkannya dengan putranya sendiri.
Wajah Mande Rubayah berubah sendu saat dia kembali teringat akan anaknya, Malin Kundang.
Mimpi yang dialaminya masih membekas. Dia memiliki firasat tertentu, namun dengan keras menolaknya, membuang jauh pikiran itu.
Berjalan di antara stand-stand penjual, dia mencari pedagang langganannya, berniat membeli beberapa ikan dan sayur untuk sarapan, berharap bisa kembali dan menyiapkan semua itu sebelum Dimas terbangun.
Pemuda itu, tampaknya tak bisa bangun pagi. Mande Rubayah terkekeh memikirkannya.
Tiba di stand langganannya, dia langsung memesan, namun, ada reaksi aneh dari si penjual.
"Kenapa dengan kau, Pak Mahim?" tanyanya.
Penjual itu tampak ragu, menatap khawatir Mande Rubayah. Yang terakhir mengerutkan kening. "Kenapa? Pak Mahim? ada masalah apa? wajahmu serius sekali."
Setelah ragu beberapa saat, dia berbisik. "Hey, Mande Rubayah, apa kau tidak dengar berita kemarin?"
"Kemarin? berita apa?"
"Itu..."
"Katakan saja, Pak Mahim, jangan bertele-tele, saya harus segera pulang dan buat sarapan," sela Mande Rubayah, sedikit kesal.
Akhirnya, menarik napas dalam-dalam, Pak Mahim berkata. "Kemarin, ada orang yang ditemukan di pantai, ternyata dia korban selamat dari kapal yang karam karena badai kemarin, dan kapal itu..."
Saat Pak Mahim bercerita, mata Mande Rubayah melebar, tubuhnya membeku, uang tiga koin perak yang dipegangnya jatuh ke tanah.