Chereads / Negeri Dongeng - Allen Nolleps / Chapter 10 - 9 | Kasih Karunia

Chapter 10 - 9 | Kasih Karunia

Aroma bakar yang familiar membangunkan Dimas, dengan mengantuk dia membuka mata, bangkit, duduk menyenderkan tubuh ke sisi rumah.

Ini adalah malam kedua dia tinggal di sini, dan sekali lagi, tubuhnya terasa sedikit pegal.

Tidur di lantai kayu sungguh bukan pengalaman yang baik, tapi apa daya, rumah Mande Rubayah hanya memiliki satu kamar, tidak ada kamar lain yang bisa diperuntukkan bagi tamu.

Menguap beberapa kali, dia berdiri, berjalan keluar.

Menarik napas dalam-dalam, Dimas tersenyum puas. "Beneran deh, pagi hari di sini seger banget."

Dimas menikmati suasana damai dan udara sejuk, membuatnya merasa hidup. Terlebih lagi, karena dekat pantai, dirinya bisa merasakan angin laut yang menyegarkan.

Dia yakin, jika ada tempat semacam ini di sekitaran kota Jakarta, tempat itu pasti akan jadi tujuan healing banyak orang.

Duduk di teras rumah, Dimas bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya sekarang. Uang bukan lagi masalah, meski tak banyak, dia punya cukup uang untuk sementara waktu.

Dia harus memikirkan bagaimana nasibnya ke depan, apa dia akan tinggal di sini terus? melakukan perjalanan? atau apa?

'Sistem,' gumam Dimas, membuka panel sistemnya.

------------------------------

[Sistem]

[Nama: Dimas Aksara]

[Usia: 22]

[Gelar: Transmigrator]

[Cerita Rakyat: 0]

[Cerita Rakyat:

- Malin Kundang

- ???

- ???

- ???

- ???

]

------------------------------

Tak ada yang berubah di sana, masih berupa papan holografik dengan serangkaian informasi yang sama.

Dimas mencoba menyentuh layar, beberapa kali, di banyak tempat, berharap tak sengaja menekan tombol tertentu.

"Serius! apaan sih ini? bukannya sistem bisa dipencet-pencet ya?" Dimas mengeluh, sistemnya tak memiliki fitur apa pun, kecuali menampilkan informasi yang tak berubah sejak awal dia mendapatkannya.

"Hai, Sistem!"

"Halo, Sistem!"

"Aktivasi sistem!"

"Nyalakan program!"

Lebih banyak kalimat Dimas coba, berharap mendapatkan timbal balik. Mungkin ada semacam kecerdasan buatan yang menjalankan program, dan butuh suatu kata kunci untuk diaktifkan.

Tapi, tak peduli apa yang Dimas katakan, sistemnya masih diam tanpa ada perubahan apa pun.

Wajah Dimas berkedut kesal. "Benda sialan ini nggak ada gunanya, kalo di anime, sistem kayak gini bakalan jadi cheat, tapi yang ini... hahh..."

Mendengar langkah kaki di belakangnya, Dimas segera menutup panel sistem, berbalik dan menemukan Mande Rubayah datang membawa nampan kayu.

Wanita tua itu menghampirinya, meletakkan nampan di teras.

Melihatnya, Dimas menemukan sepiring nasi, ikan bakar dan sayur hijau. Dirinya menatap heran, bukan pada makanannya, tapi fakta bahwa hanya ada satu piring di sana, sepertinya dia akan sarapan sendiri, tak seperti kemarin.

"Nenek nggak sarapan?" tanyanya, mengambil piring.

Mande Rubayah menatapnya, tersenyum lemah. "S-Sudah, Nenek sudah sarapan duluan tadi."

'Hmm?'

Dimas menaikkan satu alisnya, suaranya barusan tampak aneh, terdengar seperti isakan yang tertahan.

Menyipitkan mata, Dimas menemukan wajah Mande Rubayah tampak berbeda dari biasanya, itu lebih kuyu. Wajahnya pucat dengan ekspresi lemah, sementara matanya sedikit memerah, seolah baru saja menangis.

'Kenapa dia? Karena Malin lagi?'

Jika ada satu hal yang bisa membuat Mande Rubayah bersedih, itu sudah pasti menyangkut anaknya, Malin.

Dia mungkin teringat akan putranya yang telah membuangnya, dan itu kembali membuka luka di hatinya.

Dimas segera merasa tak enak, bukan hanya karena dia tak memiliki cara untuk menghiburnya, namun dia juga memiliki hutang padanya, hutang kebenaran.

Dia masih belum memberitahukannya berita atas karamnya kapal Malin. Sial! bagaimana carannya?! kau ingin aku memberitahu bahwa anaknya sudah mati?! itu gila!

Dalam sela makannya, Dimas melirik Mande Ribayah, melihat penampilannya yang kuyu, dia segera merasa lebih terbebani.

Hanya teringat putranya saja sudah cukup membuat Mande Rubayah seperti itu, entah apa yang akan terjadi jika dia tahu bahwa anaknya sudah mati di tengah laut, memikirkannya saja sudah membuat Dimas merinding.

Tak memiliki cara untuk mengungkapkan, Dimas akhirnya hanya fokus menghabiskan makanannya.

Selesai, dia menghela napas puas. "Hah... makasih, Nek."

Mengangguk ringan, Mande Rubayah merapihkan peralatan makan.

"Kamu hari ini punya rencana apa?" tanyanya.

Dimas terdiam, dia juga agak bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Dia sudah berkeliling kemarin, dan secara kasar paham bagaimana cara masyarakat di dunia ini hidup, karenanya, perlukah dia kembali berkeliling?

"Hmm... kayaknya Dimas akan jalan-jalan di luar, Nek."

Meski dia tak punya alasan untuk pergi ke luar, berdiam diri di sini juga bukan ide yang bagus, terutama karena dia merasa bersalah pada Mande Rubayah.

Ketidaksiapannya untuk mengungkapkan kebenaran, membuatnya merasa tak nyaman, rasanya seperti dikejar hutang.

Melihat Mande Rubayah membuatnya selalu teringat akan hutangnya. Dimas bisa merasakan dorongan dalam dirinya yang mendesak untuk mengatakannya, melunasi hutangnya.

Namun, saat melihat sosok tuanya yang menyedihkan, hatinya merasa iba. Mande Rubayah sudah hidup menderita, dia tak ingin menambahkan derita baru padanya.

Emosi yang bertolak belakang ini sudah seperti lingkaran setan. Dia tak mungkin sepanjang hari terjebak dalam konflik batin seperti itu, karenanya, mungkin lebih baik untuk pergi ke luar, berharap akan menemukan jawaban.

"Begitu... terus kapan kamu pulang?"

"Mungkin siang nanti, atau agak sorean," jawab Dimas.

Sejenak diam, Mande Rubayah bertanya santai. "Rencananya mau sampai kapan kamu di sini?"

Hati Dimas menegang, apa dirinya akan diusir?

Pertanyaan Mande Rubayah membuatnya berpikir bahwa mungkin dirinya terlalu merepotkan baginya. Yah, bisa dimengerti, dia hidup menumpang di sini, tidur dan makannya disiapkan olehnya, dia sendiri juga pasti akan merasa risih jika ada di posisi itu.

Mande Rubayah menggeleng lucu melihat ekspresi tegang Dimas. "Nenek nggak ada niatan untuk ngusir kamu, Nenek cuma mau tahu saja, takutnya keluarga kamu khawatir kalo kamu pergi lama," katanya, meluruskan kesalahpahaman.

"O-Oh, begitu," Dimas mendesah lega, sebelum melanjutkan. "Nggak usah khawatir, Nek, bahkan kalo Dimas nggak pulang pun, itu nggak terlalu jadi masalah."

"Hmm?" Mande Rubayah mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu bisa ngomong begitu? kamu masih punya orang tua kan?"

"Iya Nek, ada, Dimas masih punya ayah sama ibu, tapi... ya begitulah."

Dimas menggaruk belakang kepalanya, agak malu untuk melanjutkan.

"Ya begitulah apa? kamu ada masalah sama keluargamu?" tanya khawatir Mande Rubayah.

"Hmm... nggak sih, tapi... ayah sama ibu sudah lama cerai, masing-masing punya keluarga baru, nggak akan terlalu jadi masalah kalo Dimas nggak pulang."

Itu benar, nggak akan jadi masalah. Kedua orang tuanya telah bercerai saat dia masih SMP. Dirinya tinggal dengan keduanya bergantian, terkadang dengan ayahnya, terkadang dengan ibunya.

Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai menemukan orang baru, membangun keluarga mereka sendiri.

Meski memiliki keluarga baru, orang tuanya masih memberikan perhatian padanya, walau tak sebesar dulu.

Tentu, dia cukup dewasa untuk mengerti dan menerima, mereka memiliki tanggung jawab lain, tak bisa melulu soal dirinya. Namun, bohong jika mengatakan bahwa dia suka dengan keadaan itu, akan selalu ada perasaan terasing yang dirasakannya.

Seiring berjalannya waktu, perhatian yang didapatnya semakin sedikit, dan perasaan terasing itu semakin kuat. Terkadang dia akan pergi untuk sejenak menginap di rumah temannya, mencoba meredakan kegelisahannya.

Semuanya menjadi lebih buruk saat dia mulai bertengkar dengan saudara tirinya. Puncaknya adalah ketika dia tinggal bersama ibunya, lalu bertengkar dengan saudara tirinya, yang dimana dirinya disebut sebagai orang luar, orang yang keberadaannya mengganggu keharmonisan keluarga mereka.

Hal itu jelas memancing amarah, tak hanya ibunya, bahkan ayah tirinya pun marah. Saudara tirinya mendapat teguran keras, dihukum dan dirinya mendapat dukungan penuh.

Namun, semua itu sia-sia, dia sudah sakit hati mendengarnya.

Sejak insiden itu, dia tinggal di rumah Kakeknya, bahkan tak mau tinggal bersama ayah kandungnya, kenapa? kerena sama saja. Ayahnya juga sudah memiliki keluarga baru, rasanya seperti berpindah dari satu lubang ke lubang yang lain.

Meski ibu dan ayahnya telah mencoba membujuknya untuk kembali, dia sama sekali tak peduli, bahkan mulai menghindari setiap pertemuan dengan mereka.

"Jangan ngomong begitu," tegur Mande Rubayah. "Semua anggota keluarga itu penting, juga, nggak ada orang tua yang senang ditinggal anaknya."

Kalimat terakhirnya terdengar lembut, seolah dia berbicara pada dirinya sendiri.

"Kalo masih ada keluarga, kamu harus cepet-cepet pulang, masalah yang ada juga harus diselesain," Mande Rubayah menatap tegas, namun ada kelembutan di balik tatapannya, "Keluarga nggak boleh saling benci, kamu harus pulang untuk selesain masalahmu itu."

Dimas terdiam, dia menunduk. 'Maaf, Nek, kayaknya itu mustahil, karena Dimas mungkin nggak akan bisa pulang.'

Tak ingin membuat wanita tua itu khawatir, Dimas mendongak, menatapnya dengan senyum menyakinkan. "Siap Nek, nanti Dimas pulang dan coba untuk perbaiki hubungan keluarga Dimas."

Mata Mande Rubayah menyipit. "Nenek serius lho, jangan sampe kamu nggak pulang dan nggak selesain masalahmu itu."

Dimas tersenyum pahit. "Dimas Janji, Nek, tapi untuk sementara Dimas masih boleh tinggal di sini kan?"

Mande Rubayah tersenyum kecil. "Boleh, Nenek nggak bermaksud untuk ngusir, kamu bisa tinggal di sini, anggap saja kayak rumah sendiri, lagi pula... Nenek sudah anggap kamu kayak keluarga sendiri."

Tatapannya melembut saat dia mengatakan kalimat terakhir. Dimas yang melihatnya, bisa merasakan kehangatan dari kata-kata dan tatapannya.

Perasaan asing itu membuatnya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

Melihat keheningannya, Mande Rubayah menggeleng lucu. Membawa nampan, dia bangkit, berjalan ke dalam.

"Jangan pulang larut ya, Nenek akan siapkan makanan nanti."

Dimas hanya duduk diam, menatap punggung wanita tua itu yang menghilang ke dalam rumah.

Setelah satu menit terdiam, Dimas menghela napas berat, bangkit dari teras dan berjalan pergi.

"Keluarga ya," gumamnya, tersenyum kecil.

***

Mande Rubayah, setelah meletakkan nampan di dapur, dia kembali teras, berdiri di ambang pintu, melihat Dimas yang berjalan menjauh.

Ada keinginan untuk memanggilnya, memintanya tetap di sini, tapi... dia menahan diri, itu akan terlalu egois untuk memaksakan kehendak dirinya pada orang lain.

Sekarang, setelah pemuda itu pergi, dia kembali merasakan perasaan kosong yang familiar. Suasana hening di rumah membuatnya tak nyaman. Aneh, padahal dia sudah hidup bertahun-tahun seperti ini, namun, begitulah adanya.

Berjalan masuk ke kamar, Mande Rubayah duduk terdiam di tepi tempat tidur.

Tak lama, setetes air mata jatuh. Dia segera mengelapnya, mencoba menghapus genangan air mata, namun, itu terus bermunculan, tak berhenti mengalir.

Dirinya kesulitan menahan rasa sedih, terutama saat dia teringat apa yang didengarnya tadi pagi.

Pak Mahim telah menceritakan bagaimana kapal anaknya, Malin, karam ditengah badai.

Dirinya tentu tak percaya dan menolak keras, tapi sayangnya, berita itu bukan sekedar desas-desus belaka, melainkan sebuah kepastian yang datang dari kesaksian awak kapalnya itu sendiri!

Awalnya dia ingin pergi ke rumah Datuk Siregar, mencari orang yang selamat itu, meminta konfirmasi langsung, namun, di tengah jalan dia berhenti, lalu berbalik.

Dia merasa bahwa itu tidak perlu, karena dirinya sangat yakin bahwa berita itu tidak benar. Meski beranggapan seperti itu, jauh di dalam, dirinya tahu bahwa dia hanya tidak ingin mendengar jawabannya.

"N-Nggak mungkin, Malin, n-nggak mungkin kamu sudah m-meninggal, Nak."

Mande Rubayah terisak, air matanya membanjiri pipi keriputnya.

"Ya Tuhan, tolong beri saya petunjuk, anak saya, Malin, nggak mungkin sudah meninggal, dia masih sehat di luar sana kan?"

Hampir satu jam penuh dirinya tenggelam dalam duka, menangisi putranya. Dia lelah secara mental, dan ini berdampak pada tubuh rentanya. Merebahkan diri di tempat tidur, Mande Rubayah segera terlelap.

Namun, bahkan dalam tidurnya, kedamaian masih tak bisa didapatnya, ketika suara jeritan yang mengerikan bergema di sekitarnya.

Awalnya terdengar sayup, sebelum perlahan semakin jelas.

Mande Rubayah melirik sekitarnya, pada lingkungan yang dipenuhi kegelapan. Dirinya adalah satu-satunya pusat cahaya, karena dalam radius lima meter darinya, hanya di isi oleh kegelapan pekat.

Meski tak melihat apa pun, Mande Rubayah bisa mendengar jeritan kesakitan, seperti orang yang sedang didera berbagai siksaan pedih. Dan dalam sela rintihannya, terucap kata-kata yang familiar.

"AMAK!! TOLONG AMA-ARGH!! MAAFIN MALI-ARGH!!"

Mande Rubayah menggigit bibirnya, adegan ini mengingatkannya pada mimpi buruk semalam, karenaya, dia tahu bahwa dirinya saat ini berada di dalam mimpi.

Tentu, mimpi yang penuh anomali. Mande Rubayah sadar akan keberadaannya sendiri, tahu dirinya sedang bermimpi, tahu mimpi ini tidaklah normal.

Tanpa sempat memikirkan bagaimana ini bisa terjadi, Mande Rubayah berseru panik.

"Malin! dimana kamu, Nak?! ini Amak!"

Tak ada jawaban selain suara rintihan kesakitan yang bergema. Banjir air mata sudah jatuh saat dia dipaksa mendengar kepedihan putranya. Dengan khusyuk, dia mengantupkan kedua tangan, menunduk penuh khikmat.

"Ya Tuhan, hentikan siksaanmu, kembalikan anak saya, Malin, saya mohon, jangan siksa dia lagi."

Do'a tercampur akan isak tangisnya, meminta dengan sungguh-sungguh.

Tak lama, suara rintihan itu mengecil sebelum akhirnya hilang sepenuhnya.

Mande Rubayah menatap sekitar dengan khawatir.

"Malin? Nak? kamu diman-"

Sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, Mande Rubayah mendengar suara seperti besi yang diseret.

Menoleh ke sumber suara, perlahan, sesokok muncul dari sana.

Mande Rubayah menutup mulut dengan kedua tangannya, matanya melebar dengan air mata turun lebih deras. Penampakan putranya, Malin, sungguh amat mengerikan.

Tubuhnya menghitam, kulitnya kasar seperti batu dengan banyak retakan. Di setiap celah retakan, akan keluar darah yang mengalir.

Perlahan, Malin berjalan, setiap langkahnya berat dan diiringi dengan suara gesekan.

Melirik ke bawah, Mande Rubayah melihat ada rantai hitam berkarat yang diikatkan pada kedua kaki putranya.

Baru berjalan beberapa langkah, Malin segera tersungkur. Tak tahan, Mande Rubayah segera berlari, kali ini mampu menghampiri putranya.

"Malin, kenapa kamu-argh!"

Mande Rubayah menjerit kesakitan, dia baru saja menyentuh tubuh Malin dan merasakan rasa panas yang menyengat.

Namun, itu tak menghentikan aksinya, dengan paksa dia menahan rasa sakit itu, mendekap putranya.

"Yang sabar, Nak, Amak di sini, kamu nggak perlu takut lagi."

Beberapa tetes air matanya jatuh ke tubuh Malin, langsung menguap karena panas.

Dengan bergetar dan terbata, Malin akhirnya membuka mulut.

"A-Amak, m-maafin Malin, A-Amak, m-mafin Malin, A-mak..."

Seperti kaset rusak, Malin hanya mengulangi kata-kata itu, yang membuat hati Mande Rubayah teramat sakit. Siksaan seperti apa yang diterima anaknya sampai hampir kehilangan akal sehatnya?

Dia mendekapnya lebih kuat, mengabaikan rasa sakit dari panas tubuh Malin.

"I-Iya, sayang, Amak maafin kamu, jadi kamu yang tenang ya, kamu istirahat yang baik ya, kamu..."

Suara Mande Rubayah bergetar saat dia terus menghibur putranya. Setiap kali Malin mengulang kata-katanya, hal yang sama juga dilakukan oleh Mande Rubayah.

Perlahan, suara Malin semakin lemah. Mande Rubayah menunduk, melihat bagaimana kondisi putranya yang berubah secara perlahan.

Retakan di tubuhnya mulai menutup, sementara kulitnya yang kasar dan menghitam mulai kembali normal.

Mata Mande Rubyah melebar, melihat keajaiban yang terjadi. Segera, tubuh Malin kembali seperti dulu, sepenuhnya tampak normal tanpa ada jejak penyiksaan apa pun.

Dia menitikkan air mata, hatinya dipenuhi atas rasa syukur. Mande Rubayah memeluk erat Malin, sudah begitu lama dia tak merasakan kehangatan putranya.

Hidupnya telah didesikasikan untuk anaknya. Bertahun-tahun ditinggalnya merantau, hanya ada satu keinginan yang dimilikinya, kembali bertemu dengannya, kembali memeluk buah hatinya.

Kini, penantian panjangnya telah usai, dia merasa seluruh keinginannya dalam hidup telah terpenuhi.

Menatap sosok putranya yang tertidur lelap, Mande Rubayah bisa merasakan napasnya yang tenang. Ekspresinya tampak damai, tidak seperti sebelumnya yang berkerut akan rasa sakit.

Sudut bibirnya melengkung, sorot matanya melembut. "Kamu istirahat yang baik ya, kita pulang sama-sama."

Mande Rubayah membawa Malin ke dalam dekapannya, memeluknya erat. Dia memejamkan mata, kehangatan putranya memberinya ketenangan yang sudah lama tak dirasakannya. Perasaan ini, membuatnya tersenyum bahagia saat dia terlelap.

Senyumnya tak hanya ada di dalam mimpi, di luar, di dunia nyata, Mande Rubayah yang terbaring di tempat tidur, juga ikut tersenyum bahagia.

Ekspresinya tampak damai saat napasnya terhenti, sepenuhnya tertidur dalam keabadian.

***

Dimas tengah berjalan di pesisir pantai, dia bisa merasakan angin laut yang berhembus.

Setelah pergi dari rumah Mande Rubayah, dia pergi ke area dermaga, melihat banyaknya kapal yang di parkir.

Dia sempat bertanya perihal tujuan dari kapal-kapal itu, namun jawaban yang diterimanya cukup mengejutkan.

Semua kapal-kapal itu seharusnya sudah berangkat sejak kemarin, namun terkendala akibat badai kemarin, terlebih lagi, Dimas mendengar sesuatu yang unik.

Dia menemukan banyak orang bergosip perihal kapal Malin yang karam. Berita yang dibawakan oleh awak kapal yang selamat itu, kini telah menjadi buah bibir di masyarakat.

Ada kekhawatiran dalam dirinya, bahwa Mande Rubayah mungkin akan mendengar rumor itu juga. Dia sempat berpikir untuk kembali, menyampaikan berita itu sendiri, namun segera membuang ide tersebut.

'Mungkin lebih baik jika dia mendengarnya dari orang lain,' pikir Dimas dengan getir.

Beberapa orang mungkin melihat tindakan sebagai kepengecutan, namun, sekali lagi, dia tak sanggup melakukannya, memikirkan rasa sakit yang akan dirasakan wanita tua itu karenanya, terlalu sulit untuk diterimanya.

Terlebih lagi jika melihat apa yang terjadi sebelumnya. Mande Rubayah mengatakannya dengan jelas, bahwa dia telah melihatnya seperti keluarga sendiri. Bagaimana dia bisa membawakan berita buruk setelah hal itu terjadi?

"Hahh... keluarga ya," gumam Dimas, tersenyum pahit.

Dia hampir lupa bagaimana rasanya keluarga setelah hubungannya dengan orang tuanya berjalan buruk.

Meski mereka masih memberinya kebutuhan finansial, tapi kita hampir tak pernah bertemu, selain karena kesibukan mereka, dirinya sendiri juga selalu menghindar. Hal itu mendorongnya untuk menjadi pribadi yang cenderung individualis.

Kini, ketika ada orang lain yang menganggap dirinya sebagai bagian keluarganya, membuat Dimas tak tahu harus melakukan apa.

Namun, dia masih ingat kehangatan dan kepedulian yang diberikan Mande Rubayah. Melihat ke belakang, bagaimana dirinya yang diberi tempat menginap dan diberi makan. Dimas harus mengakui bahwa itu bukan perasaan yang buruk.

Dimas menggeleng geli, tak menyangka suatu hari dirinya akan begitu emosional.

Mengabaikan sentimen itu, dia lanjut berjalan, menyusui pantai.

Selain untuk menghabiskan waktu, Dimas juga memiliki tujuan lain, dia mencoba untuk mencari apakah ada semacam patung batu di sekitar.

Berkaca pada cerita aslinya, Malin seharusnya dikutuk menjadi batu di dekat pantai, karenanya, mungkin saja dia menemukannya di sepanjang perjalanannya.

Di saat Dimas dengan santai melangkah, menikmati pemandangan laut dan angin segarnya, lapisan panel layar tiba-tiba bermunculan.

[Selamat! Misi Malin Kundang telah selesai!]

[Host mendapatkan reward 1.000 poin sistem]

[Munghitung peforma Host...]

[Host melindungi Karakter dari tamparan]

[Host memberi memberi Karakter uang tiga koin perak][Host membantu kestabilan mentalitas Karakter]

[Selamat! Host mendapatkan bonus 450 poin sistem]

Serangkaian informasi dari layar biru transparan, tiba-tiba muncul di hadapannya. Sistemnya yang selama ini diam, untuk pertama kalinya menampilkan sesuatu yang beda.

"Apa-apaan ini?"

Keterkejutannya belum selesai, tapi serangkaian notifikasi lain muncul dari sistemnya.

[Host sudah menyelesaikan misi perdana]

[Level sistem akan diupgarade dari versi Beta ke 1.0]

[Memulai instalasi...]