Chereads / Negeri Dongeng - Allen Nolleps / Chapter 3 - 3 | Kapal Karam

Chapter 3 - 3 | Kapal Karam

Di dalam kabin kapal, Malin duduk, menatap kosong pada peta di atas meja. Pikirannya tampak tak pada tempatnya, dia masih memikirkan apa yang terjadi sebelumnya, di kampung halamannya.

Sejak saat itu, wajah ibunya tak pernah bisa lepas dari benaknya, selalu muncul tak peduli saat dia sedang melakukan apa.

Awalnya, alasan utama kembalinya dia ke kampung halamannya adalah untuk mencari rempah-rempah yang bisa dibeli dengan harga murah, sebelum menjualnya kembali di tempat lain dengan harga yang lebih tinggi.

Namun, dia tak menyangka bahwa di sana, dirinya akan kembali bertemu dengan ibunya. Seseorang yang telah lama dilupakannya itu, datang dengan kondisinya yang sudah tua renta. Untuk menjaga martabatnya, dia berbohong, tak mengakuinya dan segera pergi.

Sekarang, dia harus memikirkan tempat lain untuk membeli rempah-rempah baru yang bisa dijualnya. Sialnya, baru saja membuka peta, Malin sudah kembali dibayangi oleh wajah ibunya, membuatnya tak fokus.

"Uda? Uda!"

Seruan Zainab membuat Malin sedikit terkejut, dia menoleh, melihat istrinya yang tampak kesal. "Apa Uni? kenapa kamu teriak begitu?"

"Itu salah Uda, aku sudah panggil berkali-kali, tapi Uda tetap diam, apa Uda tidak dengar?" Zainab mengeluh.

Malin mengusap jidatnya, mencoba menjernihkan pikirannya. "Maaf Uni, aku lagi banyak pikiran tadi."

Zainab menatap lekat-lekat suaminya, sebelum bertanya dengan curiga. "Kenapa kamu banyak pikiran Uda? jangan bilang... wanita tua lusuh itu benar Amakmu?"

Malin membeku, dia menoleh dan berkata tegas, dengan sedikit emosi. "Itu lagi? sudah kubilang berapa kali, dia bukan Amaku! jangan tanyakan itu lagi Uni!"

Tubuh Zainab sedikit tersentak, jarang suaminya memarahinya, hal ini membuat hatinya sakit. Dia menunduk dan berkata dengan lemah. "Kamu tampak berbeda setelah dari sana Uda, aku... aku hanya khawatir..."

Melihatnya seperti itu, Malin menghela napas, bangkit dari kursi, menarik Zainab ke dalam pelukannya, membelai lembut rambutnya. "Maafkan Uda, Uda sedang banyak pikiran, karena di sana kita tak beli apapun, Uda harus mencari tempat lain untuk mendapatkan barang dagang."

Zainab mendongak, menatap suaminya. "Jadi ini bukan soal wanita tua itu?"

Malin tersenyum. "Kenapa Uda harus pusing karena nenek gila itu, urusan bisnisku jauh lebih penting dari pada dia."

Zainab terdiam sejenak sebelum mendesah lega. "Maaf Uda, aku sudah berpikiran buruk, aku tak sadar Uda sedang pusing karena pekerjaan, jika aku tahu, aku tidak akan bersikap begitu."

"Tak apa, aku mengerti Uni, semuanya akan baik-baik saja, selama kamu belajar dari kesalahan."

'Dan selama kita tak pernah kembali ke tempat itu lagi,' tambah Malin di dalam hatinya.

"Ini sudah malam Uni, diluar juga sedang hujan, kamu kembali saja ke tempat tidur untuk istirahat." Malin melepas pelukan, kembali duduk ke kursinya.

Melihat suaminya kembali dalam kesibukannya, sebuah ide terbentuk di benak Zainab. "Uda, apa harus dikerjakan sekarang, nggak bisa ditunda dulu untuk besok?"

Malin menaikkan satu alisnya. "Besok? kenapa harus besok?"

"Ya... itu... kita bisa istirahat bareng, mungkin... mungkin aku bisa bantu Uda untuk hilangin... penatnya."

Suaranya semakin kecil saat Zainab bicara, tapi Malin masih cukup jelas mendengarnya. Melihat ekspresi malu dengan rona merah di pipinya, Malin tersadar akan maksud dari perkataan istrinya.

"Ehem, Uni, Uda masih ada kerjaan, kamu duluan saja, nanti kalo sudah selesai, Uda menyusul," jawab Malin dengan canggung. Meski jantungnya berdebar bersemangat, dia tetap mencoba menjaga citranya.

"K-Kalo begitu, aku duluan," kata Zainab, yang dengan malu-malu pergi.

Namun, baru berjalan beberapa langkah, kabin kapal bergerak miring ke samping, membuat Zainab hampir tergelincir dan barang-barang di atas meja Malin terjatuh.

"Uda, apa yang-"

Sebelum Zainab menyelesaikan kata-katanya, suata guntur yang keras terdengar, membuat wanita itu ketakutan.

Malin mengerutkan alisnya, dia berjalan ke jendela kabin, membuka hordeng dan melihat laut yang begejolak hebat.

Seharusnya sulit bagi Malin untuk melihat kondisi laut saat malam hari, namun karena banyaknya kilat yang menyambar, Malin sekilas melihat betapa ganasnya ombak di luar.

"Bagaimana mungkin? tadi tidak begini?" gumam Malin dengan bingung.

Meski hujan telah turun sejak matahari terbenam, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai, seolah apa yang terjadi sekarang muncul secara tiba-tiba. Lebih aneh lagi, ini belum waktunya masuk musim penghujan, seharusnya ini menjadi masa waktu yang baik untuk melakukan pelayaran, karenanya, aneh jika badai muncul di musim ini.

"Uda? ada apa ini? kenapa kapalnya berguncang?" Zainab sudah di samping suaminya, memeluk tangannya erat-erat untuk menjaga kestabilan tubuhnya dari guncangan kapal.

Malin terdiam sejenak, sebelum menjawab. "Ada badai di luar Uni, kau kembalilah ke kamar, aku akan keluar dulu."

Zainab kembali meraih tangan suaminya saat yang terakhir berjalan pergi, membuatnya berhenti. "Uda, apa semuanya baik-baik saja?"

Menatap wajah ketakutan istrinya, Malin membuka mulut untuk menjawab, namun...

"Tuan! Tuan Malin! tolong keluar Tuan! ini penting!"

Malin mendengar suara anak buahnya di luar kabin, menggedor pintu dengan cukup keras. Menatap istrinya, Malin tersenyum menenangkan. "Uni kembali saja, ini bukan apa-apa, aku sudah sering menghadapi badai seperti ini, jadi tak perlu takut."

Malin melepaskan tangan Zainab dan berjalan keluar kabin. Melihat suaminya pergi, Zainab menguatkan diri, berjalan dengan berpegangan ke sisi kabin, masuk ke kamar tidur mereka.

Di luar, wajah Malin berubah serius, dia melihat bagaimana angin kencang mengacak-acak geladak kapalnya.

"Tuan! ada badai! dan ini-"

"Diam!" seru Malin, memotong kalimat bawahannya. "Katakan padaku, kapan badai ini muncul?"

"Itu... saya... tidak tahu Tuan, badainya tiba-tiba saja muncul," jawabnya ketakutan, "Awalnya hanya hujan biasa, tapi segera menjadi badai besar, kami kesulitan mengendalikan kapal, Tuan."

Malin mencibir, "Kau kesulitan mengendalikan kapal? lalu untuk apa aku membayarmu?! mungkin aku harus mempertimbangkan untuk memecatmu nanti."

Perkataan Malin membuatnya terdiam, tak membalas, hanya menunduk patuh.

Malin segera mengabaikan bahwannya yang tak berguna itu, pergi ke kemudi kapal. Ketika sampai, bajunya telah basah oleh angin dan air hujan. Dia mencoba untuk menstabilkan kapal, namun wajahnya berkerut saat dia kesulitan melakukannya.

"Atur layarnya dengan benar idiot!" seru Malin, memarahi para anak buahnya yang tengah mempertahankan tali layar.

Malin tahu bahwa ketidakstabilan kapalnya bukan karena mereka, bahkan dirinya pun kesulitan untuk mengatur kemudi.

Dia dan para anak buahnya adalah pelayar veteran, ini bukan badai pertama yang mereka hadapi, karenanya, fakta bahwa mereka kesulitan mengendalikan kapal, menunjukkan betapa besar badai itu.

Malin mengelap wajahnya dari desiran air hujan, melakukan manufer untuk mengatasi tumbukan dengan ombak besar. Dia berhasil, namun efek guncangannya pada kapal tidaklah kecil.

Malin mendengar suara jeritan dan melihat salah satu anak buahnya terlempar ke laut karena guncangan. Hatinya membeku melihatnya, yang lain juga begitu, bahkan jika mereka tak melihatnya, mereka dengan jelas mendengar jeritan rekan mereka sebelum hilang ditelan ombak.

"FOKUS!! JANGAN TERALIHKAN! TETAP DI POSISIMU!" Malin berteriak keras, "LAKUKAN TUGASMU JIKA KAU INGIN SELAMAT!!"

Dia harus memotivasi kru kapalnya, menghilangkan rasa takut dari kehilangan rekan mereka, sayangnya, itu bukan hal yang mudah, tidak ketika kondisi mereka semakin buruk dari waktu ke waktu.

Hampir satu jam berlalu dan badai tak kunjung mereda, sebaliknya, itu semakin besar, mengamuk di tengah laut.

Malin sudah kehilangan tiga bawahannya, dia tak bisa lagi kehilangan lebih banyak, atau tidak akan ada cukup tenaga untuk mempertahankan kapal.

Sayangnya, itulah yang terjadi. Saat kapal menabrak ombak besar untuk yang ke sekian kalinya, dua krunya terlempar ke laut, layar yang mereka pertahankan terlepas, bergerak kacau oleh angin, membuat kapal yang sudah dalam kondisi buruk semakin buruk.

Malin menggertakkan giginya, tahu bahwa dia berada dalam masalah besar. Sekarang, guncangan yang dihasilkan dalam setiap tumbukan ombak lebih kuat, membuat kapal semakin tak stabil dan ketidakstabilan ini membuat lebih banyak orang terhempas ke laut.

Di saat krunya tersisa kurang dari setangah, yang lain menjadi panik, mulai meninggalkan posnya dengan tergesa-gesa.

"BAJINGAN!! KAMBALI KE POSISIMU!! AKU AKAN MEMECATMU JIKA TIDAK KEMBALI!!" Malin berteriak marah, jika dia tak harus menahan kemudi, dia pasti sudah bergerak untuk mencekik mereka semua.

Yang lain mengabaikan amukan Tuan mereka, kepanikan dan ketakutan menguasai diri mereka, berpencar ke sana kemari, mencari keselamatan.

Malin meludah kesal, mengabaikan desiran hujan, dia mendongak, menatap langit yang gelap dengan banyak kilatan petir.

'Sudah selesai,' pikir Malin putus asa.

Dia tidak melihat adanya tanda badai akan mereda, kapalnya tidak akan bertahan lebih lama. Malin mengalihkan pandangan, melirik sekitar, sebelum matanya terfokus pada sampan yang terpasang di sisi lambung kapal.

'Jika ada ombak besar lain yang muncul, kapal ini mungkin akan terguling, jika itu terjadi, aku tidak punya apapun untuk membuat diriku naik ke permukaan laut, tapi... jika aku punya sampan itu, bahkan jika terombang-ambing oleh ombak, selama aku berpegangan erat, aku bisa tetap naik ke permukaan dan selamat,' pikir Malin.

Tahu apa yang harus dilakukan, Malin segera pergi dari kemudi, turun ke geladak kapal.

"Uda! Uda!"

Langkah Malin terhenti saat mendengar suara familiar memanggilnya. Berbalik, Malin melihat istrinya, Zainab, berpegangan pada tembok di luar kabin.

"Apa yang kau lakukan di luar Uni!"

"Uda! bawahanmu tiba-tiba memasuki kabin! aku ketakutan dan lari keluar!"

Malin mengerutkan keningnya, sepertinya, dalam kepanikan, beberapa bawahannya dengan berani masuk ke kabin pribadinya. Malin menggertakkan giginya, jika ini dalam situasi normal, dia pasti akan menghukum mati orang-orang itu karena kelancangan mereka.

"Uni! ikut aku! kita pergi dari kapal ini!" seru Malin, sebelum berbalik, meninggalkan Zainab.

"Uda! tunggu aku!"

Zainab dengan panik berlari menyusul, namun, guncangan dan air hujan membuatnya tergelincir dan jatuh.

"UDA!!"

Malin menoleh ke belakang, menemukan istrinya yang tersungkur. Dia ingin kembali membantunya, namun, pandangannya bergantian antara sampan di depan dan istrinya di belakang.

Dalam keraguannya, kapal kembali berguncang, Malin menoleh dan hatinya menegang saat melihat ombak besar di depan. Masih ada cukup jarak antara ombak itu dengan kapal, fakta bahwa Malin bisa melihatnya dari sini, menunjukkan betapa besar ombak itu, tidak, itu bukan ombak, itu lebih seperti tsunami!

Tanpa ragu, Malin berlari meninggalkan Zainab, bergerak cepat ke arah sampan.

"UDAAA!!!" teriak histeris Zainab, melihat suaminya meninggalkannya.

Air matanya bercampur dengan hujan, membasahi wajahnya, tapi dia tetap berusaha bangkit, meski kembali jatuh karena guncangan kapal.

Malin yang sudah berada di tepi sampan, berusaha untuk melepas tali yang menahannya. Dengan tergesa-gesa namun cekatan, Malin berhasil, dia hanya perlu naik ke sampan dan memotong tali untuk pergi dari kapal.

Namun, di saat akan menaiki sampan, tubuhnya terdorong, terlempar jauh, menabrak tiang kapal.

"SIAL!! SIAPA YANG BERANI!!" Dalam raungannya, Malin melihat salah satu bahwahannya, menaiki sampan.

Dia mengenalinya, pria itu adalah yang sebelumnya melapor padanya di geladak kapal, yang dia ancam akan dipecat!

Tanpa melirik Malin, pria itu segera memotong tali, jatuh ke laut, meninggalkan kapal.

Hati Malin tenggelam melihatnya, dia bangkit, berpegangan pada tiang kapal, melirik sekitar, dia melihat istrinya, Zainab, masih berusaha bergerak mendekat padanya. Mata istrinya tak pernah lepas darinya, Malin bisa melihat kepedihan dari matanya yang memerah.

Mengulurkan tangan, Malin berkata. "Ayo Uni! kemari lah!"

Malin sadar bahwa tindakannya tidak tahu diri, dia baru saja meninggalkannya, dan sekarang ingin menariknya kembali. Tapi tetap saja, jika dia akan mati, lebih baik mati bersama orang yang disayanginya.

Mata Zainab melebar, dengan motivasi baru, dia berusaha bergerak, mendekat pada suaminya, namun, baru beberapa langkah, guncangan lain datang, ombak laut masuk, menyapu lambung kapal.

Malin berpegangan kuat pada tiang kapal, saat ombak mereda, dia membuka mata dan melihat istrinya telah menghilang!

Matanya melebar sementara hatinya terasa kosong, menatap terpaku pada tempat dimana Zainab berada sebelum diterpa ombak.

Akhirnya, dalam perasaan hampa, ombak besar yang bak tsunami itu tinggal di depan mata. Malin melihatnya dalam ketakutan, ketika kapalnya bergerak naik, dia tahu bahwa hidupnya telah usai.

Kapalnya terus naik hingga berdiri secara vertikal, sebelum akhirnya terguling, ditelan ombak besar itu, menggelamkan segala sesuatunya termasuk dirinya.

Di bawah laut, Malin berusaha untuk naik ke permukaan, tangannya bergerak dengan cepat, berenang ke atas, sayangnya, tubuhnya terombang-ambing oleh gejolak laut.

Bukannya naik ke atas, dia justru tenggelam lebih jauh. Malin merasa tubunya begitu berat, seolah dirinya terbuat dari batu.

Napasnya semakin tipis saat air laut mulai memenuhi paru-parunya. Kekurangan oksigen dan kelelahan dalam upayanya untuk berenang, membuat Malin mengalami halusinasi.

Berbagai macam wajah terbentuk di benaknya: kapten kapal ketika dia pertama kali merantau, temannya di perantauan, rekan bisnisnya, mertuanya, istrinya, Zainab, ibunya, Mande Rubayah, bahkan orang asing yang mengaku diri sebagai anak dari ibunya.

Saat kesadarannya menipis, semua wajah itu memudar, meninggalkannya kecuali satu sosok, ibunya, Mande Rubayah, yang masih menemaninya.

'Amak...'

Itu adalah gumaman terakhir Malin sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya.