Chereads / Negeri Dongeng - Allen Nolleps / Chapter 4 - 4 | Menipu Penipu

Chapter 4 - 4 | Menipu Penipu

"Amak! Amak! maafin Malin!"

"Malin minta maaf! Amak!"

"Amak! tolong! Amak!"

Mande Rubayah tersentak kaget, bangun dari tidurnya, napasnya tersengal sementara keringat dingin memenuhi wajahnya. Meletakkan tangannya di dada, dia menemukan jantungnya berdetak kencang.

Butuh hampir satu menit baginya untuk menenangkan diri, mengatur napas, menurunkan detak jantungnya. Meski begitu, rasa gelisah yang dirasakannya tak kunjung reda, perasaan tak menyenangkan yang dia rasakan sejak terbangun masih membekas.

Sejenak, dia merasa seperti mendengar suara putranya, Malin, yang dipenuhi rasa takut dan kesakitan.

"Mimpi buruk?" gumamnya, berpikir bahwa mungkin kejadian kemarin sangat membekas hingga terbawa ke dalam mimpi.

Itu adalah penjelasan yang bisa dipikirkan Mande Rubayah, tak mungkin itu suara orang betulan, lagi pula dirinya telah tinggal sendiri sejak lama.

'Eh, sendiri?'

Sebuah kesadaran menerpanya, saat dia teringat bahwa ada orang lain yang juga tinggal di rumahnya. Khawatir bahwa ratapan itu berasal darinya, dengan cepat, Mande Rubayah bangkit dari tempat tidur, berjalan ke ruang tamu, tempat dimana pemuda itu beristirahat.

Sesampainya, melihat Dimas yang masih tertidur, dia mendesah lega. "Syukurlah bukan, ternyata memang cuma mimpi."

Memperhatikan figurnya yang terlelap, senyum kecil terbentuk di wajahnya. Sudah begitu lama sejak orang lain tinggal di rumahnya, sekarang, pemuda yang kemarin menolongnya, yang mengaku diri sebagai anaknya, tengah tertidur pulas di sana.

Tentu dia tahu bahwa pemuda itu bukanlah anaknya, tapi tetap saja, keberadaanya cukup untuk mengisi sedikit perasaan kosong yang telah dirasakannya sejak lama. Seperti mendapatkan air di tengah gurun, dia akan sangat menghargai setiap tetesnya.

Meski mimpi buruk itu masih memberinya perasaan tak menyenangkan, fakta bahwa saat ini dirinya tak sendiri, memberikan penghiburan kecil yang menurunkan rasa gelisahnya.

Dengan perasaan ringan, Mande Rubayah berjalan ke belakang, bersiap untuk membuatkan sarapan. Setelah waktu yang begitu lama, dirinya kembali merasa seperti seorang ibu, memiliki seseorang yang bisa dia perlakukan seperti anak.

***

Aroma bakar memenuhi indra penciuman Dimas, dengan mengantuk, dia membuka mata, melihat langit-langit ruangan yang asing. Dimas terkejut, bangkit dari tidurnya, menatap sekitar dengan bingung.

Saat pikirannya mulai jernih dari rasa kantuk, dia teringat akan kepindahannya ke dunia baru.

"Ah... iya, ini di dunia yang beda," gumam Dimas, tersenyum pahit.

Berdiri, dia menatap ke kedalaman rumah.

"Nek?" panggil Dimas. Dirinya belum pernah masuk lebih dalam, lagi pula, dia hanya tamu yang menumpang, tak sopan untuk menjelajah lebih jauh.

"Nenek?"

Untungnya, tak lama setelah panggilan kedua Dimas, Mande Rubayah menjawab, mengatakan untuk mendatanginya ke belakang.

Dimas masuk lebih jauh, melihat dapur yang sangat tradisional, berlantaikan tanah, dengan perabotannya yang digantung di sisi rumah. Lupakan soal gas untuk memasak, kompornya saja masih berupa tungku batu dengan kayu bakar di dalamnya.

"Nenek baru mau buat sarapan," kata Mande Rubayah, membalikkan ikan di atas tungku. Dia melirik Dimas. "Gimana tidurmu? betah tinggal di sini?"

Dimas berusaha untuk mengendalikan ekspresinya, jika harus jujur, maka dia tidak akan mengatakan bahwa itu adalah tidur yang menyenangkan.

Beralaskan lantai kayu, dengan tangannya sendiri sebagai bantal, jelas bukan pengalaman tidur yang menyenangkan, kasur empuk apartemennya akan menang telak. Tapi memang, selain badannya yang sedikit pegal, tidurnya bisa dibilang cukup baik.

"Lumayan Nek," Dimas mengangguk, "Makasih juga karena dibolehin menginap disini."

"Iya," Mande Rubayah mengangguk, mengibas tungku dengan kipas, "Kamu tunggu di depan saja, nggak lama lagi juga mateng ini."

Dimas menurut, berterima kasih lagi sebelum kembali ke ruang tamu. Sekitar lima menit kemudian, Mande Rubayah datang dengan nampan kayu yang sama. Kali ini ada dua piring, sepertinya mereka akan sarapan bersama.

Dengan menu yang sama seperti kemarin, Dimas melahapnya. Ada keheningan diantara mereka selama sarapan yang membuat Dimas merasa agak canggung.

Dia sempat berpikir untuk mencari topik pembicaraan seperti 'makanannya enak ya Nek', tapi segara membuang ide itu, mande Rubayah sudah tahu bahwa dia tak menyukai makanan ini, jadi akan konyol jika dia mengatakannya.

Tak menemukan topik lain, Dimas akhirnya sarapan dalam hening. Setelah menghabiskan makanannya, Mande Rubyah berkata, memecah keheningan.

"Hari ini kamu mau ngapain?" tanyanya, merapihkan peralatan makan, "Kalo kamu mau cari barang dagang, kamu bisa pergi ke pasar, atau coba mampir ke rumah Datuk Siregar, dia juragan besar di sini."

Dimas terdiam, mencari barang dagang hanya alasan spontan yang dibuatnya, tapi dia tak menolak, tak ada hal yang bisa dilakukannya di sini, jadi berjalan-jalan untuk mengenal dunia bukan ide yang buruk.

Setelah diberi tahu arah oleh Mande Rubayah, Dimas berjalan keluar rumah. Dia meraih ponselnya, mengambil potret rumah kecil milik Mande Rubayah.

Dia belum mengenal betul tempat ini, baru kemarin dirinya dipindahkan, jadi untuk berjaga-jaga, dia mengambil potret agar tak tersesat.

Dimas berjalan santai, melihat rumah penduduk dengan segala aktivitasnya. Tak seperti di kota yang hiruk-pikuk, di sini jauh lebih santai, tenang dan damai, seolah waktu berjalan lambat.

Dirinya menikmati suasana pagi, terutama dengan kualitas udaranya yang begitu segar, mengingat benda-benda penghasil polusi belum ada di zaman ini.

Untuk pertama kalinya, Dimas merasa bahwa zaman yang terbelakang ini ternyata tidak terlalu buruk.

Langkahnya terhenti saat dia tiba di kawasan dimana banyak kumpulan besar masyarakat beraktifitas, itu adalah area pasar.

Berjalan masuk, dia melihat banyak stand pedagang, menjual berbagai hasil bumi, ada sayuran, buah, ikan, atau benda kerajinan seperti kendi dan anyaman rotan.

Orang-orang sibuk bernegosiasi dengan penjual, atau sekedar melihat-lihat dan lewat seperti dirinya.

Dimas tak berniat untuk membeli apa pun, bahkan jika berminat, dia tak punya uang untuk membeli, dia tidak yakin bahwa rupiah di dompetnya bisa digunakan sebagai alat tukar.

'Tunggu, terus apa yang digunakan orang-orang ini untuk bertransaksi?' pikir Dimas, menyadari bahwa dirinya bahkan tak tahu mata uang yang digunakan.

Melirik sekitar, Dimas mendatangi salah satu stand yang lebih sepi, dimana seorang pria paruh baya tampak menjadi pemiliknya.

Dimas melihat dagangannya yang menjual aneka ikan, menahan bau amis, dia menunjuk satu. "Berapa harga ikan yang ini?"

Penjual itu, yang sudah menatap penasaran Dimas sejak kedatangannya, melihat apa yang ditunjuk. "Tergantung barang apa yang ingin kau tukar, kau juga bisa membayarnya dengan dua dirham."

Dimas menaikkan satu alisnya. "Dirham?"

Penjual itu mengangguk. "Iya, dirham, atau kau juga bisa membelinya dengan 20 kepeng."

Dimas mengerutkan keningnya, 'Dirham? kepeng?'

Meski bukan anak sejarah, dia sedikit paham dengan dua mata uang kuno itu. Yang pertama berasal dari tanah Arab, sebuah mata uang dari logam mulia perak, dengan berat sekitar tiga gram per koin.

Yang kedua, kepeng, adalah mata uang dari Tiongkok, terbuat dari perunggu, dengan berat rata-rata di tiga sampai lima gram per koin — Ciri khas utamanya ada pada bentuknya, dengan sisi tengah yang bolong.

Melirik ikan yang dijual, Dimas hampir tak menahan diri untuk mengeluh, satu ikan untuk dua dirham? itu keterlaluan!

Karena terbuat dari perak murni, harga satu dirham berkisar Rp 40.000, dua dirham berarti Rp 80.000, harga segitu untuk ikan yang beratnya bahkan tak sampai 200 gram jelas berlebihan!

'Bung, apa kau lebih kapitalis dari pada para kapitalis di dunia asalku?!' keluh Dimas.

Tentu, di luar dia tak menunjukkan rasa kesalnya, lagi pula, dia ke sini hanya untuk mendapat informasi, bukan membeli.

"Terus ikannya bisa ditukar sama apa?"

Penjual itu mengangkat bahunya. "Kayu, garam, buah, apa pun selama itu setara, aku akan menjualnya."

"Kalo begitu-"

"Ah maaf, aku sedang tak membutuhkan apa pun, jika kau ingin membelinya, itu harus dengan uang."

Wajah Dimas berkedut melihat seringai kecil di wajah pria itu. Berpikir memutar otak, Dimas melepas jam tangannya.

"Bagaimana dengan ini?"

Penjual itu menatap penasaran pada benda asing, namun tampak berharga, terutama dengan kilauan peraknya. "Ini?"

"Ini jam tangan Seiko, harganya dua juta rupiah, bukan, seharusnya harganya tiga setengah juta rupiah, tapi saya belinya di online shop, dapet diskon akhir tahun, jadi bisa lebih murah." Dimas menjelaskan.

"Hah? Sei apa?" Penjual itu bertanya bingung, hampir tak mengerti apa pun yang dikatakannya.

Dimas terkekeh, sedikit terhibur dengan narasinya yang membawa istilah modern.

"Benda ini bisa menghitung waktu, kau lihat panah yang bergerak ini," Dimas menunjuk, "Itu akan memberitahumu apakah waktu sudah pagi, siang atau malam."

Penjual itu memiringkan kepalanya, semakin bingung. "Dan apa gunanya? aku hanya perlu menatap langit untuk tahu apakah hari masih siang atau sudah malam, jadi apa bedanya?"

"..."

Dimas kehilangan kata-kata, dia baru mengingat bahwa mayoritas orang menggunakan jam tangan untuk kebutuhan gaya, untuk fashion, bukan karena fungsinya.

Ditambah lagi, penduduk di sini pasti tak mengenal istilah on time, meeting, pay per hours dan sejenisnya. Tidak ada dalam hidup mereka yang membutuhkan informasi waktu sedetail itu, dimana indikasi jam dan menit sangat penting.

Mereka hanya perlu tahu waktu pagi, siang dan malam, yang mana itu bisa diketahui hanya dengan menatap langit, kapan pun mereka mau.

"Baiklah, abaikan fungsinya, kau lihat, benda ini sangat istimewa kan?" Dimas tersenyum meyakinkan, "Jam ini dibuat dari bahan berharga, saya yakin ikannya bisa ditukar pakai ini kan?"

Penjual itu meraih jam tangan, membelai lembut, mengamatinya dengan penasaran dan terpesona.

Dimas tersenyum, meski coba disembunyikan, dia bisa merasakan emosi senang dari penjual itu, binar di matanya, seolah mengatakan bahwa dia telah menemukan harta karun.

"Jadi gimana?" tanya Dimas, memecah keheningan setelah lima menit menunggu.

Terbangun dari lamunannya, penjual itu berdehem. "Ehem, aku telah melihatnya, benda ini sebenarnya tak ada gunanya, tapi aku akan berbaik hati menerima-eh?!"

Dia tak bisa menyelesaikan kata-katanya saat Dimas tiba-tiba mengambil kembali jam tangannya.

"Sayang banget, saya pikir ini berharga," kata Dimas kecewa, menyimpan jamnya ke saku jasnya.

"Hei! hei! aku bilang aku akan menerima-"

"Saya tahu, Tuan, maaf, benda ini cuma sampah, saya akan coba tukar ke pedagang lain saja." Dimas berjalan pergi, menahan senyum.

Wajah pedagang itu memucat saat melihat kepergiannya, dia mengejar. "Tunggu! aku akan menerimanya! aku akan memberimu dua, tidak! aku akan memberimu lima ikan!"

Dimas berhenti, berbalik. "Kau akan menukarnya dengan lima ikan?"

Pedagang itu mengangguk cepat, "Iya! iya! aku akan memberimu-"

"Semua," potong Dimas.

"Apa?"

"Aku bilang, aku ingin semua ikanmu."

Butuh waktu beberapa detik untuk penjual itu berhasil memproses kata-kata Dimas, sebelum dia meledak. "APA SIALAN?! KAU INGIN SEMUANYA?! ITU MUSTAHIL! AKU AKAN RUGI!!"

Dimas sedikit meringis mendengar amukannya, sementara orang sekitar mulai memperhatikan mereka.

"Jika kau tak mau ya sudah." Dimas berbalik dan pergi.

"Tunggu! tunggu! aku akan memberimu sepuluh! tidak! dua puluh! hei!!" Dia mengejar Dimas, "Baiklah! baiklah! aku akan memberimu setengah dari daganganku, itu adalah nilai yang adil! aku bersumpah!"

"Maaf, nggak tertarik," jawab Dimas datar, tak menghentikan langkahnya.

"Hai! aku serius! ini tidak bohong! aku akan rugi jika menjual semuanya, nilai benda itu hanya sekitar sepuluh dirham, itu setara setengah daganganku! jadi-"

"Maaf, nggak tertarik."

Dijawab dengan cara yang sama, pria itu berhenti mengejar, dengan marah mulai mengatakan serangkaian makian, yang tentu, diabaikan oleh Dimas.

Setelah jauh dari penjual penipu itu, Dimas terkekeh, mengambil jam tangannya, tersenyum saat dia tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Dari adegan sebelumnya, dia tahu bahwa nilai ekonomis jam tangannya setidaknya setara dengan setengah dari barang dagang orang itu, atau sekitar sepuluh dirham. Meski ini hanya perkiraan kasar, itu lebih baik dari pada sepenuhnya tak tahu.

Hidup di dunia baru ini, dia membutuhkan uang untuk bertahan hidup, tak bisa terus mengandalkan tumpangan dari Mande Rubayah.

Dan jika dia ingin menjual barangnya untuk mendapatkan uang, tentu dia harus melakukan transaksi dengan pedagang paling tersohor di daerah ini, Datuk Siregar, Si Juragan Besar.

Dengan itu, Dimas berjalan, pergi ke tempatnya, ke arah yang sebelumnya Mande Rubayah telah beritahukan padanya.