Chereads / Negeri Dongeng - Allen Nolleps / Chapter 8 - 7 | Efek Kupu-kupu

Chapter 8 - 7 | Efek Kupu-kupu

Hari sudah siang, Mande Rubayah tengah duduk termenung di teras rumahnya. Dia baru saja menyapu halaman, aktivitas rutin yang setiap hari dilakukannya.

Namun, hari ini terasa beda, dia tak tahu bagaimana menjelaskannya, ada perasaan sedih yang menyakitkan jika teringat kejadian kemarin, namun, ada juga perasaan senang, karena dia tahu dirinya tidak sendiri sekarang.

Mungkin terdengar konyol, mendapatkan penghibur lara dari seseorang yang hampir tak dikenalnya. Tapi begitulah keadaanya, meski belum lama menghabiskan waktu bersama, dia sudah merasa akrab dan nyaman dengan kehadiran pemuda itu.

Namun, sekarang, ketika dia tak ada di sini, Mande Rubayah menemukan perasaan kosong yang familiar, kembali merasakan hari-hari saat dirinya hidup sendiri.

Lebih dari itu, ada perasaan gelisah tak menyenangkan yang sejak pagi menyelimuti hatinya. Entah mengapa, kerinduannya pada anaknya, Malin, tampak menguat tanpa alasan yang jelas.

Ini agak aneh jika berkaca pada insiden kemarin, dimana dirinya diperlakukan begitu buruk olehnya. Seharusnya, dia mengembangkan perasaan kecewa, bahkan benci atas perlakuan yang diterimanya.

Tentu saja, bohong jika dia tak kecewa dan sakit hati atas perlakuan Malin. Namun, naluri keibuannya menolak untuk membenci putranya, darah dagingnya sendiri.

Dirinya masih berharap ada keajaiban yang sekali lagi mempertemukan mereka, menyatukan kembali mereka sebagai keluarga.

Dalam renungannya, Mande Rubayah mendengar suara langkah kaki. Menoleh, dia melihat sesosok mendekat padanya. Mungkin karena matanya yang sudah tua, pandangannya tampak buram.

Figurnya jelas seorang pria, yang seketika membuatnya teringat akan putranya.

"Malin?" gumamnya, sebelum beranjak dari teras dan dengan cepat berlari, memeluk sosok itu.

"Eh?! N-Nenek?"

Suara maskulin yang familiar tampak menyadarkan Mande Rubayah. Mendongak, dia melihat senyum masam pemuda yang semalam menginap di rumahnya.

"N-Nak Dimas?"

Dimas mengangguk. "Iya, Nek, ini Dimas."

Melepaskan, Mande Rubayah sedikit membungkuk. "Maaf, Nenek lagi bengong barusan."

"Nggak apa-apa, Nek," Dimas menggeleng. "Oh ini, kebetulan Dimas beli beberapa makanan, mungkin bisa dimasak untuk makan siang."

Dimas mengulurkan beberapa ikan yang diikat, sejumlah sayur dan sekeranjang buah.

"Ini?" Mande Rubayah bingung, melihat banyak bahan makanan yang dibawa Dimas.

"Tadi Dimas ke pasar, sekalian beli beberapa."

"Eh?! Kamu dapat uang dari mana, Nak?!"

Mande Rubayah tak menyembunyikan keterkejutannya, dirinya perlu mencari setumpuk kayu bakar untuk ditukar dengan ikan dan beras, jadi dia bertanya-tanya bagaimana pemuda ini mendapatkan banyak bahan makanan.

Dimas terkekeh. "Tenang saja, Nek, Dimas nggak nyuri atau semacamnya. Dimas baru saja berbisnis sama Datuk Siregar dan pakai uang itu untuk belanja di pasar."

"Datuk Siregar? kamu jual apa, Nak?"

"Bukan barang penting, Nek, tapi hasilnya lumayan lah" Dimas tersenyum.

Mande Rubayah menggeleng tak berdaya. "Kamu nggak perlu sampai jual barang kamu begitu, Nenek sudah bilang kan, Nenek nggak keberatan kamu menumpang di sini, jadi nggak usah sungkan begitu."

"Bahkan kalo Nenek nggak keberatan, Dimas yang nggak enak, seenggaknya Dimas bisa sedikit bantu."

Mendengarnya, Mande Rubayah hanya bisa pasrah, lagi pula, kejadiannya sudah berlalu, uang yang didapatnya telah dibelanjakan, jadi tak mungkin untuk menariknya kembali.

Karenanya, yang bisa dilakukan selanjutnya adalah memanfaatkannya dengan baik. Mengambil bahan makanan, Mande Rubayah pergi ke dapur, bersiap membuatkan makan siang.

Di sisi lain, Dimas, menantap punggung rapuh wanita tua itu dengan perasaan campur aduk.

'Kasih tahu nggak ya?' pikirnya.

Dimas tak tahu apa yang harus dilakukannya, perlukah dia memberitahunya atau menyimpannya. Rasanya tidak benar jika dia harus menyembunyikannya, karena Mande Rubayah punya hak untuk tahu.

Tapi... bagaimana dia bisa memberitahukannya? bagaimana dia bisa mengatakan bahwa anaknya, Malin, kemungkinan besar sudah meninggal? Tidak ada di dunia ini seorang ibu yang akan senang mendengar berita kematian anak mereka!

Dimas menghela napas berat, tak berdaya akan situasinya. Dia pergi ke teras rumah, merebahkan diri dan menatap langit biru di atas.

Pemandangan hari yang cerah dan damai itu, tampak sedikit meredakan kegelisahannya. Dimas mengingat kembali kejadian sebelumnya, yang terjadi di rumah Datuk Siregar.

Pria yang tak sadarkan diri itu dibawa ke dalam rumah, dirawat oleh pembantu milik Sang Juragan, sementara yang lain berkumpul di ruang tamu.

"Sekarang, ceritakan apa yang terjadi, Simon?" tanya Datuk Siregar, duduk di kursi kayu.

"Tuan, anak buah saya menemukannya terdampar di pantai, saya kira mayat, ternyata masih hidup, saya juga kaget karena mengenal orang ini, dia salah satu awak kapal yang kemarin berangkat itu, Tuan," jawab Kapten Simon.

Datuk Siregar mengerutkan keningnya. "Apa dia terlempar dari kapal? bagaimana dia bisa-"

"Pasti kapalnya karam, Tuan," selanya, terdengar sedikit ketakutan. "Kami juga menemukan beberapa puing kayu di sekitar pantai, badai kemarin pasti menghancurkannya."

Dimas, yang berdiri di sisi ruangan, menekan rasa keterkejutannya. Sebelumnya, dia telah meminta izin untuk ikut, yang syukurlah diizinkan oleh Sang Datuk.

Meski tak kebagian kursi karena telah diisi oleh Kapten Simon dan bawahannya, Dimas tak keberatan berdiri di sudut untuk mengetahui kebenarannya.

Dan apa yang dia dengar sangat mengejutkan.

'Ini benar? semua ini nyata? cerita Malin Kundang itu benar kejadian?' pikir gelisah Dimas.

Meski tahu bahwa dirinya telah dipindahkan ke dunia lain, secara alam bawah sadar, dia masih menolak segala perkara yang tak masuk akal seperti kutukan, azab dan sebagainya.

'Tunggu, kalo ini benar nyata, dimana mayat Malin? bukannya seharusnya dia jadi batu? dan kapan Mande Rubayah menyumpahi Malin?'

Dimas menemukan kejanggalan, seharusnya, akan ada momen dimana Mande Rubayah berdoa, mengutuk Malin sebagai pembuktian bahwa dia adalah putranya.

Namun, Dimas tak pernah melihat Mande Rubayah melakukan hal semacam itu. Mungkikah dia melakukannya saat dirinya tak ada?

Melihat Kapten Simon, Dimas tiba-tiba bertanya. "Apa cuma ada satu? apa ada yang lain juga?"

Semua orang menatap Dimas. Kapten Simon menggeleng. "Nggak ada siapa-siapa lagi, cuma orang itu satu-satunya yang ada di sana."

"Kau yakin? apa kau telah menyusuri seluruh garis pantai?"

Kapten Simon mengerutkan keningnya. "Nak, kami telah mencari di sekitar lokasi dan nggak ada siapa pun lagi, juga jangan minta kami mengecek seluruh pantai, itu berlebihan."

Dimas menggosok dagunya. "Hmm... Apa kau melihat patung batu di sekitar sana?"

"Hah? patung?"

"Iya, patung," Dimas mengangguk, "Mungkin patung itu ada dalam pose bersujud, apa kau melihatnya?"

Kapten Simon tampak bingung, dia tak pernah melihat yang semacam itu. Melirik bawahannya, mereka menggeleng tak tahu.

'Aneh, ini nggak sesuai sama yang di cerita,' pikir Dimas.

Dia menyadari bahwa ada banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang harusnya terjadi dalam cerita. Tentu, beberapa masih berjalan sebagaimana mestinya, seperti karamnya kapal Malin.

Namun, perbedaan alur dari cerita aslinya ini, membuat Dimas mempertanyakan arti keberadaannya sendiri. Mungkinkah campur tangannya yang menghasilkan semua itu?

Dimas tak bisa tidak berpikir bahwa tindakannya mungkin menghasilkan efek kupu-kupu yang mengubah cerita asli.

Apakah itu baik atau buruk? dia tidak tahu.

Sementara Dimas terjebak dalam pikirannya, Kapten Simon dan Datuk Siregar sibuk berdiskusi lebih dalam, membahas penemuan awak kapal yang selamat ini, sampai seseorang datang menginterupsi.

Seorang wanita dewasa yang anggun, datang bersama gadis remaja di belakangnya.

"Uda, orang itu sudah bangun," katanya lembut.

Datuk Siregar, menoleh kepada istrinya, bangun dari kursi dan langsung beranjak ke kamar dimana orang itu berada.

Kapten Simon, bawahannya dan Dimas sendiri datang mengikuti.

Namun, saat berjalan melewati, Dimas merasa pinggangnya disikut, memberinya sedikit rasa nyeri.

Menoleh, dia melihat Kinan, menyeringai jahat padanya.

Wajah Dimas berkedut kesal, dia ingin mengatakan sesuatu, namun sesosok tangan bergerak lebih dulu, memukul ringan kepala gadis itu.

"Amak!" seru Kinan, menatap ibunya.

Mengabaikan rengekan putrinya, dia menatap Dimas. "Maaf, ya."

Dimas tersenyum sopan, menggeleng. "Nggak apa-apa."

Lanjut berjalan, sejenak dia mencuri pandang ke belakang, melihat bagaimana gadis itu masih menatapnya dengan kesal.

Berpikir untuk menambahkan bensin ke api, Dimas mengedipkan mata padanya.

Mata Kinan membelalak sebelum dengan muram berjalan menyusul. Namun, baru beberapa langkah, tangan ibunya segera menahannya.

Gadis itu berbalik, memprotes, namun ibunya mengabaikan, menyeretnya menjauh.

Di sisi lain, Dimas terkekeh melihat kekesalan dan ketidakberdayaan gadis itu di hadapan ibunya. Dia harus mengakui bahwa ini cukup menghibur.

Mengikuti Datuk Siregar, mereka akhirnya tiba di kamar, dengan orang itu terduduk di tempat tidur.

"Kau sudah bangun? tidak ada cidera serius kan?" tanya Sang Juragan.

Pria itu, membungkuk hormat. "Terima kasih sudah menyelamatkan saya, Tuan, saya berhutang nyawa pada, Tuan."

"Ah, bukan saya," Datuk Siregar menunjuk ke Kapten Simon. "Dia yang menemukanmu di pantai dan membawamu kemari."

Menoleh ke Sang Kapten, pria itu kembali membungkuk. "Terima kasih, Tuan, saya berhutang budi selamanya."

"Lupakan, kasih tahu saya, kamu itu awak kapal yang kemarin berangkat itu kan? apa yang terjadi? kapalmu hancur kena badai kah?" tanya Kapten Simon, tidak peduli dengan basa-basi dan langsung ke poin utama.

Pria itu sedikit mengigil saat diingatkan kembali akan tragedi yang dialaminya. "I-Iya, Tuan, nama saya Badil, saya salah satu awak kapal itu, dan... dan kapal kami memang hancur karena badai."

Segera, keheningan menyelimuti seluruh kamar. Meski sudah diduga, mendengarnya langsung masih memberi mereka ketegangan.

Setelah diam beberapa saat, Datuk Siregar memecah keheningan.

"Tolong ceritakan, apa yang terjadi waktu itu?"

Badil, awak kapal yang selamat, mulai menceritakan apa yang dialaminya.

Selepas pergi dari pantai sore itu, di saat matahari terbenam, hujan mulai turun. Itu hanya hujan biasa, tidak ada yang aneh, bahkan jika angin dan ombak laut lebih kuat dari biasanya, itu masih diambang normal.

Namun, semua ini berubah beberapa jam setelahnya.

Dalam waktu sepersekian detik, curah hujan turun berkali-kali lipat dari sebelumnya, seolah ada laut di atas mereka yang dijungkirbalikan.

Angin menderu kencang, mengacak-acak layar yang membuat kapal tak stabil. Meski kapten kapal, Malin, mengambil alih kepemimpinan, tidak banyak yang berubah, situasinya semakin buruk seiring waktu, sampai pada akhirnya kapal karam.

"Begitulah, Tuan, semuanya sudah tewas, tidak ada yang selamat." Badil, dengan wajah pucat ketakutan, mengakhiri ceritanya.

Dimas yang telah mendengar keseluruhan cerita, menekan rasa keterkejutannya dan mengajukan pertanyaan yang paling penting.

"Bagaimana dengan Tuanmu, Malin Kundang? apa dia selamat?"

Penyebutan nama itu membuat Badil gelapagan. "I-Itu... saya nggak tahu, dia mungkin sudah melompat sebelum kapal karam, apakah dia selamat atau tidak? saya nggak tahu."

Dimas menyipitkan matanya. "Lalu bagaimana kau bisa selamat?"

Badil membungkuk. "Tuan, saya berpegangan pada puing kapal, syukurlah itu membawa saya ke tepi pantai."

"Bohong!" seru Kapten Simon. "Saya lihat ada sampan kayu nggak jauh dari tempat kau pingsan, kau pergi sebelum kapal karam kan?!"

"T-Tuan... i-itu..."

Melihat keraguannya, Kapten Simon tak membutuhkan jawaban langsung, dia maju dan menarik kerah bajunya.

"Sial! apa kamu meninggalkan rekanmu? bahkan Tuanmu sendiri? hah?!"

Kapten Simon berteriak. Sebagai seorang kapten kapal, dirinya tak bisa mentolerir prilaku seperti itu.

Meski bukan yang merasakannya, cukup membayangkan dirinya ditinggal oleh awak kapalnya sendiri di saat situasi buruk, sudah cukup membuatnya marah.

"T-Tuan, b-bukan begitu, situasinya sangat kacau, tidak ada harapan, kami hanya bisa berjuang untuk menyelamatkan diri sendiri," jawab Badil ketakutan.

Segera, keributan terjadi. Dimas mengabaikan adegan selanjutnya, membuka mata, mengakhiri kilasan masa lalu, menatap langit yang cerah.

'Sudah selesai,' pikirnya.

Cerita rakyat Malin Kundang sudah mencapai klimaksnya. Dengan karamnya kapal Malin, itu berarti, yang bersangkutan telah menerima takdirnya.

Sekarang, Dimas bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya, mungkinkah dirinya bisa kembali ke dunia asalnya? atau ada hal lain? dia masih belum tahu.

Pikiran Dimas terinterupsi saat mendengar panggilan Mande Rubayah dari dalam rumah, sepertinya makan siang sudah siap.

"Hahh... ayo kesampingkan masalah ini," gumamnya, beranjak dari teras dan masuk ke dalam.

Dia telah memutuskan untuk menyerahkan sisanya pada takdir, tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk.