Sejarah Awal Mula Perang Agung meletus ribuan tahun silam, menjadi penanda runtuhnya keseimbangan dunia. Cahaya, yang dulunya pelindung manusia, berambisi menguasai segalanya. Mereka menganggap Kegelapan sebagai ancaman yang harus dibinasakan. Ribuan desa dibakar, tanah menjadi merah oleh darah. Pengikut Kegelapan diburu tanpa belas kasihan; pria, wanita, dan anak-anak diseret ke altar penghakiman. Eksekusi berlangsung di alun-alun kota, diiringi sorakan penduduk yang telah diracuni propaganda Cahaya. Tubuh-tubuh tergantung di gerbang-gerbang kota sebagai peringatan yang mengerikan bagi siapa saja yang berani melawan.
Namun, di balik teror itu, Kegelapan tidak sepenuhnya musnah. Mereka yang lolos membentuk kelompok-kelompok kecil, bersembunyi di gua-gua dan hutan lebat. Bisikan perlawanan masih terdengar samar, bagai bara yang belum sepenuhnya padam.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lahir di desa kecil Draven. Namanya Kaelen. Ibunya, Elara, melahirkannya di bawah cahaya bulan pucat, sementara jeritan pembantaian terdengar di kejauhan. Darius, ayahnya, berdiri di ambang pintu dengan pedang tumpul di tangannya. Matanya awas, mengamati bayangan-bayangan di tepi hutan, waspada terhadap ancaman yang bisa datang kapan saja.
Kaelen tumbuh dalam kesederhanaan, di antara ladang gandum dan pepohonan tua. Namun, desanya hidup dalam ketakutan. Setiap langkah diawasi, setiap bisikan bisa berujung maut. Pasukan Cahaya kerap datang tanpa peringatan, menggeledah rumah-rumah, mencari sisa-sisa pengikut Kegelapan. Ketegangan menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Mata setiap penduduk dipenuhi kewaspadaan, seolah-olah mereka terus-menerus dibayangi ajal.
Suatu malam kelam, suara derap kuda memecah keheningan. Darius menyuruh Kaelen bersembunyi di bawah lantai kayu rumah mereka. Suaranya rendah namun tegas, membawa nada ketakutan yang tak biasa. Pasukan Cahaya menerobos masuk, api berkobar di tangan mereka, menari-nari seperti iblis yang haus kehancuran. Rumah-rumah mulai dilalap si jago merah, disertai jeritan warga yang berusaha menyelamatkan diri. Darius mengayunkan pedangnya dengan segenap tenaga, melawan meski tahu itu sia-sia. Tubuhnya roboh, darah hangat mengalir membasahi lantai rumahnya sendiri.
Elara merangkul Kaelen yang gemetar ketakutan. "Jangan bersuara, Nak," bisiknya penuh kasih, meski suaranya bergetar. Saat pintu didobrak, dia melindungi anaknya dengan tubuhnya sendiri. Sebilah pedang menembus punggungnya, darah mengalir deras, menghangatkan pipi Kaelen yang menahan tangis.
Setelah semuanya sunyi, Kaelen keluar dari persembunyian. Matanya menatap kehancuran di sekelilingnya. Rumahnya kini hanya tumpukan abu. Tubuh kedua orang tuanya terbujur kaku, tak lagi bernyawa. Ia berlutut di antara sisa-sisa kehidupannya yang hancur. Matanya kosong, tetapi dalam relung hatinya yang rapuh, bara dendam mulai menyala—bara yang kelak akan membakar seluruh hidupnya.