Fajar mulai merayap di cakrawala ketika Kaelen terbangun. Udara dingin menusuk, namun yang lebih mengusik pikirannya adalah pembicaraan Serina dan Varrok tadi malam. Ia tahu, di antara mereka, kepercayaan masih rapuh.
"Kita berangkat saat matahari mulai meninggi," suara Serina membuyarkan lamunannya. Ia sudah bersiap dengan busur di punggung dan belati di pinggang.
"Utara?" tanya Kaelen.
Serina mengangguk. "Tujuan kita desa Rothern. Aku dengar dua penyintas mungkin ada di sana. Tapi itu dekat benteng Cahaya. Kita harus hati-hati."
Lyra memandang mereka satu per satu. "Kalau mereka masih hidup... kita tidak boleh kehilangan mereka lagi. Aku siap."
Darek hanya mengangguk, seperti biasa tak banyak bicara, namun genggamannya pada kapak menunjukkan kesiapannya.
Varrok melirik Kaelen. "Kau siap?"
Kaelen menghela napas. "Selalu."
Perjalanan mereka dimulai. Hutan pagi itu diselimuti kabut tipis. Langkah mereka senyap, menapaki jalan setapak yang jarang dilalui. Mereka tahu, setiap sudut bisa jadi tempat mata-mata Cahaya.
Kaelen merasakan ketegangan dalam dirinya. Ini pertama kalinya ia bergerak bersama kelompok yang lebih besar. Ia terbiasa hanya bersama Varrok—saling memahami tanpa banyak bicara. Kini, ia harus mempercayai orang-orang yang baru dikenalnya.
Serina tampak tegar di depan, tapi Kaelen menangkap sesuatu di balik sorot matanya—keraguan, atau mungkin ketakutan yang masih tersisa. Luka dari kehilangan Bayangan Malam jelas belum sembuh.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di pinggiran bukit yang menghadap ke desa Rothern. Dari kejauhan, terlihat aktivitas pasukan Cahaya. Sebuah pos penjagaan berdiri di tepi desa, bendera emas berkibar angkuh. Asap tipis membubung dari dapur rumah penduduk, suara samar dentingan logam terdengar, dan sorak prajurit sesekali memecah keheningan.
Serina berjongkok, mengamati. "Penjagaan diperketat. Ini lebih dari yang kuduga."
Lyra mengepalkan tangan. "Apa mereka tahu kita akan datang?"
Varrok menggeleng. "Tidak. Ini berarti desa ini punya nilai penting bagi mereka."
Kaelen menatap ke bawah. Ia mencermati wajah-wajah penduduk desa. Ada ketakutan dalam gerak mereka, seolah hidup di bawah bayangan pedang.
"Bagaimana kita masuk?" tanya Kaelen.
Darek akhirnya bersuara. "Ada jalur irigasi di belakang sana. Aku tahu karena dulu aku pernah berdagang ke sini. Itu bisa jadi jalan masuk."
Serina mengangguk setuju. "Kita masuk saat senja. Patroli biasanya lebih lengah saat itu. Kita cari penyintas dan keluar sebelum mereka menyadari."
Varrok menatap Kaelen. "Tetap fokus. Percayai punggung temanmu, tapi jangan pernah abaikan nalurimu."
Kaelen mengangguk, mengencangkan genggaman pada pisaunya. Namun, dalam hatinya, keraguan masih bersarang. Berjalan dalam kegelapan bersama orang-orang yang baru kukenal... aku harus yakin mereka akan mengangkat pedang ke arah yang sama, bukan ke punggungku.
Serina menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia berdoa agar tidak ada lagi pengkhianatan seperti di lembah Orndell. Aku ingin percaya pada mereka... tapi aku tahu, pengkhianatan bisa datang dari siapa saja. Aku telah melihatnya sebelumnya.
Saat matahari perlahan tenggelam, bayangan lima pejuang itu mulai merayap menuju desa yang dijaga ketat. Bara perlawanan yang selama ini tersembunyi, perlahan mulai menyala. Mereka melangkah dalam bayang-bayang, namun di dada masing-masing, berkobar dua hal yang sama—harapan dan ketakutan.