Chereads / The Shattered Light / Chapter 6 - – Bayangan di Balik Cahaya

Chapter 6 - – Bayangan di Balik Cahaya

Beberapa hari setelah kejadian di desa Elden, Kaelen mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Setiap pagi ia terbangun dengan perasaan ganjil—bukan ketakutan, melainkan kehampaan yang perlahan bergeser menjadi rasa lapar. Lapar akan kekuatan yang ia rasakan malam itu. Setiap kilatan pedang di latihannya bersama Varrok membangkitkan kembali sensasi ketika pisaunya merobek daging musuh. Namun, di balik rasa lapar itu, terselip kegelisahan yang tak ia pahami. Apakah ini kekuatan, atau awal kehancurannya?

Varrok menyadari perubahan muridnya, tetapi ia memilih diam. Ia tahu jalan yang ditempuh Kaelen tidak lagi bisa dibalikkan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia khawatir Kaelen melangkah terlalu cepat menuju jurang yang sama seperti banyak pejuang sebelumnya—menjadi budak amarah dan haus darah. Rasa bangga bercampur cemas. Ia melihat potensi besar dalam diri Kaelen, tetapi juga bibit kehancuran.

Suatu pagi yang berkabut, Varrok membawa Kaelen ke sebuah gua tersembunyi di pinggiran hutan. Dedaunan basah berjatuhan di sepanjang perjalanan, menciptakan suara gemerisik halus. Di dalam gua, terdapat lambang kuno Kegelapan yang terukir pada batu hitam, diselimuti debu dan lumut. Udara gua terasa lembap, bercampur bau tanah basah dan sisa-sisa masa lalu yang terlupakan. Bayangan obor mereka menari di dinding, menciptakan ilusi sosok-sosok yang mengintai dalam kegelapan. Varrok menyentuh simbol itu dengan hormat, jari-jarinya gemetar tipis.

"Ini adalah lambang kaum kita dulu, sebelum Cahaya merampas segalanya," ucap Varrok lirih, suaranya berat oleh kesedihan yang telah lama dipendam. "Dulu, Kegelapan bukan berarti kejahatan. Ia adalah penyeimbang. Tapi sekarang... kita dipaksa menjadi iblis. Karena mereka ingin kita takut. Karena mereka tahu... kita lebih kuat jika kita ingat siapa kita."

Kaelen meraba ukiran itu. Permukaan batu terasa dingin, namun seketika, sensasi hangat menjalar dari ujung jarinya ke seluruh tubuh. Sebuah desiran halus seperti arus listrik menyelusup ke nadinya—diikuti bisikan samar yang nyaris tak terdengar. Menyebut namanya. "Kaelen....".

Suara itu dalam, rendah, seolah berasal dari dasar bumi. Ia tersentak, menarik tangannya sejenak, tetapi rasa penasaran membuatnya kembali menyentuh lambang itu. Jantungnya berdegup lebih cepat, entah karena takut atau tertarik. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, lebih kuno. Dalam kilasan singkat, ia melihat bayangan sosok berjubah hitam berdiri di atas lautan mayat. Mata sosok itu bersinar merah.

Namun, sebelum ia bisa mencerna lebih jauh, suara langkah kuda mendekat dari kejauhan. Varrok segera menariknya ke balik batu besar. Dari celah sempit, mereka melihat tiga prajurit Cahaya berhenti di depan gua. Salah satu dari mereka membawa bendera berwarna emas dengan lambang matahari bersinar—tanda pasukan elit.

"Kita ditemukan?" bisik Kaelen, suaranya nyaris tak terdengar.

Varrok menggeleng. "Belum. Tapi mereka mencari sesuatu... atau seseorang. Tetap tenang."

Ketegangan memuncak. Salah satu prajurit turun dari kudanya, berjalan perlahan mendekati mulut gua. Suara sepatu besinya beradu dengan bebatuan, menggema samar ke dalam. Kaelen menahan napas, jari-jarinya kembali menggapai pisaunya. Varrok menggeleng halus, tetapi sorot matanya tegang. Prajurit itu berhenti di ambang pintu gua, memicingkan mata menatap ke dalam kegelapan. Sebuah langkah lagi—hanya satu langkah—akan membuat mereka terlihat. Napas Kaelen tertahan, dan ia bisa merasakan detak jantung Varrok di sampingnya.

Namun, tiba-tiba, suara panggilan dari prajurit lain menghentikan ketegangan itu.

"Kapten! Kami menemukan jejak di arah barat!"

Prajurit itu menghela napas, berbalik, lalu naik ke kudanya. Mereka berlalu, meninggalkan debu tipis yang perlahan mengendap di udara.

Kaelen menghela napas panjang. Varrok menepuk bahunya pelan.

"Kita belum waktunya mati hari ini," bisiknya.

Mereka duduk diam sejenak di kegelapan gua. Namun, di hati Kaelen, sesuatu telah berubah. Sentuhan lambang tadi, bisikan samar itu, dan bayangan sosok berjubah hitam membuatnya sadar bahwa perjuangannya mungkin lebih besar dari sekadar dendam. Mungkin... ini adalah panggilan takdir. Namun, di balik panggilan itu, tersembunyi sesuatu yang lebih kelam—sesuatu yang mulai mengakar di dalam dirinya.