Malam perlahan menyelimuti hutan ketika Kaelen, Varrok, dan Serina bersiap meninggalkan pondok persembunyian. Angin dingin membawa aroma lembap dedaunan, bercampur dengan rasa tegang yang menyelimuti mereka.
"Pastikan jejak kita tertutup. Mereka punya penjejak yang terlatih," bisik Serina, memeriksa busurnya.
Kaelen mengangguk, matanya tajam mengawasi sekitar. Ia berjalan di belakang Serina, sementara Varrok menjaga barisan belakang.
"Berapa jauh tempat pertemuan itu?" tanya Kaelen pelan.
"Sekitar dua jam berjalan kaki, jika kita tidak terhalang patroli," jawab Serina.
"Dan kau yakin mereka masih hidup?" Varrok menyela, nada suaranya skeptis.
Serina menoleh, menatapnya lekat. "Aku tidak yakin akan apa pun. Tapi aku harus mencoba. Mereka saudaraku."
Perjalanan berlangsung dalam hening. Hanya suara ranting patah dan desiran dedaunan yang mengiringi langkah mereka. Namun, tiba-tiba Serina mengangkat tangannya, memberi isyarat berhenti.
"Ada sesuatu..." bisiknya.
Kaelen menajamkan pendengaran. Samar-samar, ia mendengar suara langkah kuda di kejauhan.
"Patroli," desis Varrok. "Cepat, sembunyi!"
Mereka bergegas bersembunyi di balik semak lebat. Kaelen menahan napas saat dua prajurit Cahaya melintas. Cahaya lentera mereka membuat bayangan-bayangan menyeramkan di antara pepohonan.
"Mereka terus memperketat penjagaan..." gumam Serina pelan.
"Mereka tahu kita belum mati," jawab Kaelen.
Setelah memastikan keadaan aman, mereka melanjutkan perjalanan. Tak lama, mereka tiba di sebuah bukit kecil. Serina memberi isyarat agar mereka merunduk.
"Di sana..." bisik Serina sambil menunjuk ke bawah.
Kaelen melihat sebuah reruntuhan rumah di tengah hutan. Dua sosok tampak duduk di dekat api kecil, berjaga.
"Itu mereka," Serina tersenyum tipis. "Lyra dan Darek. Mereka selamat."
Varrok menghela napas lega. "Semoga ini awal yang baik."
Mereka berjalan perlahan mendekati reruntuhan. Saat mereka muncul dari kegelapan, Lyra dan Darek langsung mencabut senjata.
"Siapa kalian?!" seru Lyra tajam.
Serina mengangkat tangan. "Ini aku, Serina. Kita satu tujuan. Mereka bersamaku."
Ekspresi waspada Lyra tetap keras. Mata tajamnya mengawasi dengan curiga.
"Buktikan kau Serina. Apa yang kita bicarakan di malam terakhir sebelum penyergapan?" desaknya.
Serina terdiam sejenak, menahan emosi. "Kau bilang... kau ingin pulang setelah semua ini berakhir. Tapi rumah kita sudah jadi abu."
Tatapan Lyra melembut, meskipun matanya masih menyimpan kehati-hatian. Darek menurunkan kapaknya perlahan, namun tetap menggenggamnya erat.
"Kau hidup... Kami kira semua sudah mati," suara Lyra lirih.
Serina tersenyum tipis, namun matanya masih menyiratkan kesedihan. "Belum saatnya aku mati. Dan aku datang untuk mengumpulkan yang tersisa. Kita akan melawan. Bersama."
Kaelen menatap Lyra. Ada sesuatu dalam tatapan perempuan itu—keteguhan bercampur luka. Ia tahu, perjalanannya baru saja membawa dia lebih dalam ke medan yang jauh lebih berbahaya.
Malam itu, lima jiwa yang terluka duduk mengitari api kecil, menyusun rencana pertama mereka. Di sela percakapan, Serina mulai menceritakan tentang Bayangan Malam—bagaimana kelompok itu terbentuk dari para penyintas yang keluarganya dibantai pasukan Cahaya. Mereka bukan hanya petarung, melainkan harapan bagi desa-desa kecil yang selama ini tertindas. Dulu, Bayangan Malam dipimpin oleh seorang pria bernama Eryndor, seorang veteran Kegelapan yang berhasil menyatukan para korban penindasan. Di bawah kepemimpinannya, mereka melancarkan serangan gerilya, membakar pos-pos penjagaan Cahaya, dan membebaskan budak yang ditangkap. Namun, keberhasilan itu membuat mereka menjadi ancaman. Dua bulan lalu, pasukan Cahaya mengerahkan unit elit dan menyerbu markas mereka di lembah Orndell. Banyak yang gugur, termasuk Eryndor. Hanya segelintir yang selamat. Serina percaya ada pengkhianatan di balik serangan itu, meskipun ia belum tahu siapa.
Suasana di sekitar api menjadi berat setelah cerita itu. Kaelen merasa semakin memahami bahwa perlawanan ini bukan hanya tentang dirinya. Ini lebih besar dari dendam pribadinya—ini tentang melawan kekuasaan yang menindas segalanya.
"Bagaimana kalian bisa selamat?" tanya Serina.
Darek menjawab, suaranya berat. "Kami bersembunyi di celah batu saat serangan itu. Kami melihat semuanya... tapi tak bisa berbuat apa-apa. Itu membunuh kami perlahan."
Lyra menunduk, suaranya parau. "Aku... aku dengar jeritan mereka. Tapi aku hanya bisa diam. Aku pengecut."
Kaelen menatapnya lekat. "Bukan pengecut. Kau hidup. Dan kita di sini untuk membalas semuanya."
Hening sejenak.
"Apa rencana kita selanjutnya?" tanya Kaelen.
Serina menatap api. "Kita harus mencari yang lain. Aku dengar ada dua orang lagi yang mungkin selamat, di utara. Tapi perjalanan ke sana berbahaya. Banyak patroli."
Varrok menatap mereka semua. "Kita harus saling percaya. Kita mungkin berbeda, tapi tujuan kita sama. Jika ada keraguan... sebaiknya kalian pergi sekarang."
Lyra menatapnya dengan tegas. "Aku tak akan lari lagi. Aku akan melawan. Sampai akhir."
Darek mengangguk. "Aku bersamamu."
Kaelen mengepalkan tangannya. "Kita mulai malam ini. Tidak ada yang tertinggal. Tidak ada pengkhianatan."
Setelah yang lain tidur, Varrok mendekati Serina.
"Apa kau yakin bisa mempercayai mereka?" bisiknya.
Serina menatapnya lama. "Aku tidak yakin pada siapa pun. Tapi kita butuh mereka."
Varrok menatap api yang mulai redup. Di balik cahaya itu, bayangan pengkhianatan dan kehilangan terus mengintai.