Beberapa minggu setelah kejadian di desa Luthar, Kaelen dan Varrok melanjutkan perjalanan mereka. Kali ini, tujuan mereka adalah desa Elden, sebuah perkampungan kecil yang sering menjadi jalur patroli pasukan Cahaya. Di sana, mereka berencana mengamati pergerakan musuh lebih dekat.
Setibanya di Elden, suasana lebih hidup dibandingkan Luthar, namun ketakutan tetap tergurat di wajah penduduk. Pasukan Cahaya terlihat berpatroli, bersikap seperti penguasa, memandang rakyat jelata layaknya budak. Kaelen menahan gemuruh amarah di dadanya, tapi ia ingat pelajaran Varrok: kesabaran.
Saat malam tiba, mereka mengintai dari balik gudang tua di pinggir desa. Dua prajurit Cahaya terpisah dari kelompok utama, mabuk setelah menjarah anggur penduduk. Mereka berbincang sombong tentang bagaimana mereka membakar desa Luthar dan menebas kepala seorang ayah di depan anaknya. Darah Kaelen mendidih.
"Ini waktunya," bisik Varrok. "Tapi ingat, tenang. Tebasan pertama harus tepat. Jangan biarkan amarah menguasai tanganmu."
Kaelen mengangguk. Napasnya teratur meskipun hatinya bergemuruh. Ia bergerak seperti bayangan, langkahnya perlahan, namun setiap pijakan terasa seperti dentuman keras di telinganya. Jantungnya berdetak kencang, peluh dingin membasahi tengkuknya. Tangan yang menggenggam pisau berkeringat, dan bilah itu terasa licin. Ia bisa mendengar derak kecil batu tergeser di bawah kakinya—ia menahan napas, takut prajurit itu menoleh. Namun, pria itu tetap mabuk, menggumam pelan. Pisau di tangannya terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah menguji tekadnya sekali lagi.
Ia mendekati prajurit pertama. Suara napas berat pria itu terdengar jelas di telinganya, bercampur bau alkohol dan keringat. Dalam satu ayunan cepat, pisaunya menusuk leher musuh. Tangan Kaelen sedikit gemetar saat merasakan darah hangat mengalir membasahi jarinya. Prajurit itu terkapar tanpa suara, namun tatapan kosong matanya tertuju pada Kaelen, seakan mengutuknya dalam kematian.
Prajurit kedua sempat tersadar, matanya membelalak, namun sebelum teriakan lolos dari bibirnya, Varrok telah mengayunkan pedangnya. Tebasan itu membelah bahu ke dada, darah menyembur membasahi tanah. Tubuh itu jatuh dengan suara tumpul, seperti karung gandum yang dilemparkan ke tanah. Bau amis darah bercampur bau alkohol menusuk hidung Kaelen.
Sunyi.....
Kaelen berdiri kaku di tempatnya. Tangannya bergetar lebih hebat. Jantungnya masih berpacu, namun bukan karena takut, melainkan karena ia baru saja merenggut nyawa manusia untuk pertama kalinya.
Ia melihat darah di tangannya. Perasaan puas bercampur jijik merayapi dadanya. Bukan kemenangan yang ia rasakan, melainkan kesadaran bahwa ia telah melangkah ke jalan yang tak bisa ia tinggalkan. Sekilas, wajah ibunya terlintas di pikirannya—wajah yang dipenuhi ketakutan di malam pembantaian itu. Untuk sesaat, ia merasa seperti orang yang telah menebas keluarganya sendiri. Namun, yang lebih mengerikan, jauh di relung hatinya, ada sebersit rasa tenang. Tenang karena ia telah merasakan kekuatan yang sesungguhnya. Ketenangan itu mengerikan. Apakah ini awal mula dirinya menjadi seperti musuh yang ia benci?
"Kau baik-baik saja?" tanya Varrok, nada suaranya datar, namun matanya meneliti Kaelen dengan cermat.
Kaelen menatapnya. Bibirnya ingin berkata jujur—bahwa ia merasa hampa, takut. Namun, yang keluar hanyalah, "Aku... baik. Aku siap untuk lebih."
Varrok tersenyum tipis, tetapi tatapannya mengeras. Namun, di balik senyumnya ada sorot khawatir yang tak dapat sepenuhnya ia sembunyikan. Kaelen melihat sekilas tangan gurunya yang menggenggam pedang—ada getaran halus di sana sebelum genggamannya kembali kukuh. "Kau baru memulai. Ingat, ini bukan tentang membunuh. Ini tentang membebaskan," ucapnya. Tapi di telinga Kaelen, kata 'membebaskan' terdengar lebih seperti 'membiasakan'."
Malam itu, Kaelen tidur dengan mata terbuka. Bau darah masih menempel di tangannya meskipun ia telah mencucinya berkali-kali. Tetesan darah pertama terasa lebih berat dari yang ia bayangkan. Ia tahu—ini baru awal dari banyak darah yang akan tertumpah. Namun, yang membuatnya ngeri, bukan lagi rasa jijik, melainkan ketakutan bahwa ia mungkin mulai menyukai ini. Ketenangan yang menjalar setelah darah tumpah, rasa memiliki kendali atas hidup dan mati seseorang—semua itu menakutkan karena terasa terlalu memuaskan.