Setelah pertempuran itu, Tarek melanjutkan perjalanan mereka dengan lebih hati-hati. Mereka harus menyusuri jalan-jalan tersembunyi untuk menghindari pengejaran dari pasukan Garamon yang kini semakin marah. Tarek dan Vinia mulai lebih sering berbicara tentang masa lalu mereka, saling mengungkapkan cerita hidup yang selama ini mereka sembunyikan.
Vinia menceritakan tentang hidupnya di Garamon, bagaimana ia dibesarkan oleh neneknya dan dilatih menjadi peramu obat. Ia juga menceritakan tentang rasa takut yang terus menghantui dirinya setelah mengetahui bahwa Pangeran Horsa menginginkannya sebagai selir. "Saya tidak pernah merasa bebas di Garamon," kata Vinia dengan suara pelan. "Saya merasa seperti saya hanya ada untuk melayani, tidak lebih."
Tarek mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan simpati yang mendalam terhadap apa yang dialami Vinia. "Kau lebih dari sekadar seorang peramu obat," jawabnya. "Kau memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari yang kau sadari."
Vinia menatap Tarek, merasa tergerak oleh kata-katanya. "Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan sekarang," katanya. "Saya hanya ingin hidup dengan bebas, jauh dari semua yang mengikat saya."
Tarek tersenyum lembut, matanya penuh pengertian. "Kita akan mengubah semuanya, Vinia. Bersama-sama, kita akan membawa keadilan kembali ke dunia ini."
Dan dengan tekad itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka, tidak hanya untuk membebaskan kerajaan Rattas, tetapi juga untuk mencari kebebasan yang selama ini mereka cari. Dunia mereka, meskipun penuh bahaya dan ketidakpastian, kini terasa lebih cerah, karena mereka tahu bahwa mereka tidak lagi sendirian.
Perjalanan menuju kerajaan Rattas semakin berat. Setelah beberapa minggu melewati hutan lebat dan pegunungan yang tinggi, Tarek mulai merasakan dampak dari pelarian yang panjang. Mereka sering kali terpaksa bersembunyi di malam hari, menghindari patroli Garamon yang terus memburu mereka. Meskipun semangat mereka tak pernah pudar, ada sesuatu yang mulai meresap dalam diri Vinia—sebuah keraguan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.
Vinia mulai merasakan ketegangan yang berbeda di antara dirinya dan Tarek. Meskipun mereka telah berbagi banyak cerita dan berbicara tentang masa depan yang ingin mereka bangun, ada perbedaan yang mulai muncul dalam cara mereka melihat dunia. Tarek, dengan segala ambisi dan tekadnya untuk merebut takhta, tampak semakin terfokus pada perjuangannya. Sementara itu, Vinia merasakan dunia yang lebih besar—bukan hanya tentang perang dan takhta, tetapi tentang kebebasan yang lebih sederhana dan lebih mendalam. Ia mulai bertanya-tanya apakah pertempuran yang mereka jalani benar-benar sejalan dengan impian yang ia miliki.
Suatu malam, saat mereka beristirahat di sebuah gua yang terlindung, Tarek duduk di dekat api unggun, memetakan rute yang akan mereka ambil keesokan harinya. Vinia duduk di sebelahnya, namun ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang terus mengganggu hatinya. "Tarek," katanya pelan, suaranya terdengar ragu. "Apakah kita benar-benar akan menghabiskan hidup kita dengan berperang?"
Tarek menoleh dengan sedikit terkejut. "Apa maksudmu?" tanya Tarek, namun ada ketegangan di antara kata-katanya.
Vinia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita sudah terlalu lama terperangkap dalam siklus ini—perang, darah, kekuasaan. Apakah itu yang kita inginkan? Untuk terus menghabiskan hidup dengan membunuh dan dihancurkan?"
Tarek terdiam sejenak, matanya berkilat dalam cahaya api unggun. "Kau tidak mengerti, Vinia," jawabnya akhirnya, dengan suara yang lebih keras dari biasanya. "Kerajaan Garamon telah menghancurkan hidup rakyat kami. Kami tidak bisa hanya duduk diam dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Aku harus merebut kembali takhta yang seharusnya menjadi milikku. Itu adalah satu-satunya cara untuk menghentikan penderitaan."
Vinia merasa hatinya terhimpit oleh kata-kata Tarek. Ia tahu bahwa Tarek memiliki tujuan yang mulia—untuk membebaskan rakyatnya dari penindasan Garamon. Namun, ia tidak bisa menahan perasaan bahwa ada cara lain untuk mencapai kedamaian yang tidak melibatkan lebih banyak darah yang tertumpah. "Aku paham bahwa kau ingin membebaskan rakyatmu, Tarek. Tapi aku merasa ada cara yang lebih baik. Mungkin kita tidak perlu lagi berperang. Mungkin kita bisa mencari jalan lain."
Tarek tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Namun, dalam keheningan itu, Vinia bisa merasakan ada sebuah jurang yang mulai terbentuk di antara mereka—sebuah ketidakpercayaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tarek, yang selama ini begitu fokus pada tujuannya, mulai merasa bahwa Vinia tidak memahami betapa pentingnya misinya. Sedangkan bagi Vinia, semakin lama ia bersama Tarek, semakin ia merasa bahwa cara-cara kekerasan itu mungkin bukan solusi yang tepat.
Di tengah ketegangan yang berkembang itu, seorang pengawal yang lebih tua dan lebih bijaksana mendekat dan menatap mereka dengan serius. "Tarek, Vinia," kata pengawal itu dengan suara dalam, "ada sesuatu yang harus kalian ketahui. Pihak Garamon telah memperkuat garis pertahanan mereka. Kita tidak bisa bergerak maju tanpa membuat rencana yang lebih matang."
Tarek segera mengalihkan perhatiannya pada pengawal itu, meskipun ada kegelisahan yang tampak jelas di wajahnya. "Apa yang kau maksudkan?" tanya Tarek, mencoba untuk menenangkan dirinya dan kembali fokus pada kenyataan yang ada.
Pengawal itu mengangguk. "Mereka telah memperkirakan rute kita. Mereka mungkin sudah menyiapkan perangkap di sepanjang jalan menuju Rattas. Kita tidak bisa berjalan terus tanpa persiapan."
Vinia merasa hatinya berdebar lebih cepat. "Mungkin ini saatnya untuk berpikir lebih jauh lagi," katanya, melirik Tarek dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Apakah kita benar-benar harus melanjutkan perjalanan ini tanpa memikirkan konsekuensinya? Kita bisa merencanakan dengan lebih hati-hati, bukan hanya bertindak tanpa berpikir."
Tarek menatap Vinia dengan mata yang penuh ketegasan, namun ada ketegangan di dalam tatapannya. "Jika kita berhenti sekarang, kita akan kehilangan kesempatan," jawabnya, suaranya keras dan penuh tekad. "Rakyat kami membutuhkan kita, Vinia. Aku tidak bisa mundur."
Namun, dalam diri Vinia, keraguan semakin tumbuh. Ia tahu bahwa Tarek memiliki alasan yang sangat kuat untuk bertindak, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa semakin jauh mereka melangkah, semakin besar pula bahaya yang mengancam tidak hanya mereka, tetapi juga banyak orang tak berdosa lainnya yang terjebak dalam perang ini.
Malam itu, mereka berdua terdiam dalam keheningan yang tidak nyaman. Ketegangan antara mereka semakin terasa. Tidak hanya karena perang yang semakin dekat, tetapi juga karena perbedaan pandangan yang semakin jelas antara mereka berdua. Vinia merasa tidak bisa lagi hanya mengikuti alur yang sudah ditentukan oleh Tarek. Ia harus membuat pilihan—apakah ia akan terus mengikuti jalan yang penuh dengan kekerasan dan darah, ataukah ia akan mencari cara lain untuk menghentikan penderitaan tanpa kehilangan jiwa-jiwa yang tak bersalah?