Keesokan harinya, kelompok mereka melanjutkan perjalanan dengan hati yang gelisah. Tarek masih berfokus pada rencana menyerang Garamon, sementara Vinia memikirkan cara untuk menghindari konflik lebih lanjut. Dalam perjalanan itu, ketegangan yang terpendam antara mereka semakin terasa. Bahkan para pengawal yang lain mulai merasakan perbedaan antara Tarek dan Vinia, seolah-olah mereka berada di jalur yang berbeda meskipun tujuannya tetap sama: kebebasan bagi rakyat mereka.
Vinia merasa semakin terasing. Meskipun ia tidak bisa mengabaikan rasa hormatnya terhadap Tarek, semakin banyak waktu yang ia habiskan bersamanya, semakin ia merasa bahwa dirinya mungkin tidak lagi sejalan dengan misinya. Namun, di sisi lain, Tarek mulai merasa bahwa Vinia tidak memahami beratnya situasi. Ia merasa semakin terisolasi dengan keyakinannya, semakin terjebak dalam perang antara keadilan dan kekuasaan.
Konflik di antara mereka semakin jelas—dua jiwa yang sebelumnya sejalan kini mulai berjalan di arah yang berbeda. Keputusan besar akan segera datang, dan Vinia harus memilih jalannya, apakah bersama Tarek atau mungkin, untuk pertama kalinya, memilih jalan yang benar-benar miliknya sendiri.
Hari demi hari, ketegangan di antara Vinia dan Tarek semakin memuncak. Meskipun mereka tetap berjuang bersama dalam perjalanan, langkah mereka kini penuh dengan jarak yang tak terucapkan. Setiap percakapan menjadi lebih pendek, setiap tatapan lebih dingin, dan setiap keputusan yang diambil oleh Tarek terasa semakin berat bagi Vinia. Ia mulai merasa terjebak dalam sebuah pertempuran yang bukan hanya fisik, tetapi juga emosional.
Pada suatu malam, saat mereka beristirahat di sebuah lembah yang tersembunyi, Tarek duduk termenung di sekitar api unggun. Angin malam membawa suara gemerisik dedaunan yang jauh di sekitar mereka, namun di dalam diri Tarek, hanya ada kegelisahan yang tak bisa ia atasi. Vinia, yang sedang menyusun ramuan di dekatnya, tak bisa menahan dirinya lebih lama. Ia tahu bahwa waktunya untuk berbicara telah tiba.
"Tarek," suaranya berat, tetapi penuh tekad. "Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan ini seperti ini. Aku tidak bisa terus mengikuti jalan yang penuh dengan darah dan peperangan."
Tarek mengangkat wajahnya, matanya berkilat tajam, namun ada juga sedikit rasa bingung. "Apa maksudmu?" jawabnya, suaranya keras, seakan-akan menahan amarah yang mulai memuncak. "Apa yang kau ingin katakan, Vinia? Kita sudah sampai sejauh ini. Rakyat kita membutuhkan kita. Aku tidak bisa berhenti sekarang."
Vinia menarik napas panjang. Ia tahu ini adalah momen yang menentukan, momen yang bisa mengubah segalanya. "Aku tahu tujuanmu, Tarek. Aku tahu mengapa kamu berjuang. Tapi aku tidak bisa terus berjalan di jalur ini. Perang ini—semuanya hanya membawa lebih banyak kematian, lebih banyak penderitaan. Aku ingin mencari cara lain untuk mengakhiri semuanya, tanpa membunuh lebih banyak orang."
Tarek berdiri dengan gerakan cepat, api unggun di depannya hampir memantulkan bayangannya yang besar dan mengancam. "Kau tidak mengerti, Vinia!" teriaknya, suaranya bergetar dengan amarah yang tak terhingga. "Aku tidak punya pilihan! Ini bukan hanya tentang perang. Ini tentang membebaskan rakyatku, membebaskan tanahku. Jika aku mundur sekarang, semua yang telah kami perjuangkan akan sia-sia!"
Vinia berdiri perlahan, matanya dipenuhi dengan air mata yang sudah lama terkunci di dalam hatinya. "Aku tidak bisa terus mendukung ini. Aku tidak bisa melihat lebih banyak nyawa hilang hanya untuk sebuah takhta yang tak akan membawa kedamaian. Kita berdua bisa mencari cara lain. Ada cara untuk membawa keadilan tanpa harus melalui darah."
Tarek mendekat, tatapannya penuh dengan keraguan dan kemarahan. "Kau pikir aku ingin membunuh? Kau pikir aku ingin melihat darah? Aku hanya berusaha untuk bertahan hidup, Vinia! Aku hanya ingin menebus semua yang telah hilang. Tidak ada jalan lain! Kamu tahu itu!"
Vinia menatap Tarek dengan hati yang semakin terluka. "Mungkin kau benar, Tarek," jawabnya dengan suara lembut namun penuh kebulatan tekad. "Namun aku tidak bisa lagi menjadi bagian dari jalur yang hanya akan membawa kita pada kehancuran lebih jauh. Aku harus mencari cara lain. Aku akan pergi."
Tarek terdiam sejenak, seolah kata-kata Vinia menghujam lebih dalam dari yang ia inginkan. Ia merasakan tubuhnya kaku, perasaannya bercampur antara kesedihan, kemarahan, dan kekalahan. "Kau akan pergi?" suaranya serak, hampir tak terdengar. "Kau meninggalkanku begitu saja, setelah semua yang kita alami bersama?"
Vinia menatapnya dengan tatapan penuh kejujuran. "Aku tidak meninggalkanmu, Tarek. Aku meninggalkan perang ini. Aku ingin hidup dengan cara yang berbeda. Mungkin kita memiliki tujuan yang berbeda, tapi itu tidak mengurangi apa yang kita rasakan selama ini. Namun aku harus memilih jalanku sendiri sekarang."
Tarek melangkah mundur, matanya penuh kebingungan dan kesedihan yang mendalam. "Kau benar-benar akan pergi?" tanya Tarek, nada suaranya kini jauh lebih lembut, meskipun amarah masih terasa di balik kata-katanya.
Vinia mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Tarek. Aku tidak tahu apakah aku akan berhasil atau tidak. Tapi aku harus mencoba. Jika kau benar-benar peduli padaku, kau akan mengerti."
Keheningan menyelimuti mereka, hanya suara angin yang terdengar di antara mereka. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan. Vinia tahu bahwa perpisahan ini mungkin tidak bisa dihindari, dan meskipun itu terasa berat, ia merasa bahwa ini adalah keputusan yang harus ia ambil.
Tarek berdiri diam, tubuhnya terbungkuk. Beberapa saat kemudian, dengan suara pelan yang hampir tidak terdengar, ia berkata, "Jika itu jalan yang kau pilih, maka aku tidak bisa menghalangimu. Tapi ingat, kita akan selalu berada di sisi yang berbeda."
Dengan berat hati, Vinia berpaling dan berjalan menjauh. Langkahnya terasa berat, seakan dunia ini berubah menjadi lebih gelap, namun di dalam hatinya ada sedikit cahaya yang memandu. Ia tahu bahwa perjalanan yang akan ia tempuh tidak akan mudah, tetapi ia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan yang telah melanda banyak orang.
Namun, di belakangnya, Tarek berdiri mematung, memandang punggung Vinia yang semakin menjauh, seolah-olah dirinya telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan dunia yang semula penuh dengan harapan kini terasa lebih kosong dan penuh kebingungannya.