: Hati yang Mulai Menyadari
Adegan: Benih Perasaan yang Tumbuh Tanpa Disadari
Sam tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta pada Ulpa.
Tapi semakin hari, semakin sulit untuk mengabaikan kehadirannya.
Hari itu, hujan turun deras. Sam, yang baru keluar dari kelas, bergegas menuju gerbang sekolah ketika suara familiar memanggilnya.
"Sam! Tunggu!"
Ulpa berlari menghampirinya, jaket sekolahnya basah di beberapa bagian karena tidak sempat menghindari gerimis.
"Kamu nggak bawa payung?" tanyanya.
Sam menggeleng. "Kamu juga nggak, kan?"
Ulpa mengangkat ponselnya. "Aku udah nelpon Kak Robert, dia bakal jemput. Kamu mau ikut atau lari nerobos hujan?"
Sam menimbang sejenak. Sebenarnya, dia bisa saja langsung pulang. Tapi… entah kenapa, dia tetap berdiri di tempatnya.
"Aku ikut."
Ulpa tersenyum tipis, lalu berdiri di sampingnya sambil mengamati hujan yang turun.
"Sam, kamu percaya nggak kalau dua orang bisa terbiasa satu sama lain tanpa sadar?" tanyanya tiba-tiba.
Sam menoleh. "Maksudnya?"
"Ya, misalnya…" Ulpa menggigit bibirnya, lalu mengangkat bahu. "Awalnya biasa aja, tapi karena sering bareng, lama-lama jadi terbiasa. Kayak… kalau orang itu nggak ada, rasanya ada yang aneh."
Sam diam. Kalimat itu menggema di kepalanya.
Mungkin… dia juga mulai merasakan hal yang sama.
Ulpa memang sering menyebalkan, sering menuntut, dan sering membuatnya kesal. Tapi ketika dia tidak ada… hari-harinya terasa lebih sepi.
Tapi apakah itu cinta?
Sam tidak tahu. Yang dia tahu, ketika mobil Robert akhirnya datang menjemput, dan Ulpa duduk di sebelahnya sambil mengelap tangannya yang basah, Sam tiba-tiba menyadari sesuatu.
Ulpa bukan hanya adik Robert lagi.
---
Adegan: Ulpa yang Tanpa Sadar Membuat Sam Terpikirkan Dia
Malam itu, Sam berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar kosnya.
Pikirannya berputar.
Tentang bagaimana Ulpa selalu ada.
Tentang bagaimana dia tanpa sadar menuntut perhatiannya.
Tentang bagaimana dia merasa aneh ketika Ulpa tidak ada di sekitarnya.
Apakah ini… perasaan suka?
Sam menggeleng pelan. Tidak. Ini pasti hanya karena terbiasa.
Tapi saat dia memejamkan mata, gambaran Ulpa—dengan senyum isengnya, dengan caranya bertanya tanpa henti, dengan suaranya yang selalu menuntut jawaban—muncul di pikirannya.
Dan Sam tahu, ini bukan sekadar kebiasaan lagi.
Benih perasaan itu sudah mulai tumbuh.
---
: Sebuah Janji dalam Jarak
Adegan: Perpisahan yang Tidak Terasa Berarti… atau Justru Sebaliknya?
Waktu berlalu lebih cepat dari yang Sam sadari. Tanpa terasa, hari kelulusannya tiba.
Acara perpisahan diadakan di aula sekolah, penuh dengan para murid yang bercanda dan berfoto bersama. Sam, yang tidak terlalu menyukai keramaian, hanya berdiri di sudut bersama Robert.
"Akhirnya lulus juga, ya," kata Robert, menepuk bahu Sam. "Udah siap buat kuliah?"
Sam mengangguk kecil. "Masih agak bingung, tapi aku rasa aku bakal baik-baik aja."
Sebenarnya, bukan soal kuliah yang membuatnya gelisah.
Tapi soal seseorang.
Di tengah aula yang penuh sesak, matanya tanpa sadar mencari Ulpa. Biasanya, dia akan muncul begitu saja dengan pertanyaan-pertanyaan aneh atau komentar tajam. Tapi kali ini, dia tidak ada.
Aneh.
Baru saja Sam hendak bertanya pada Robert, suara familiar muncul dari belakangnya.
"Sam."
Dia menoleh. Ulpa berdiri di sana, mengenakan seragam rapi dengan dasi sedikit longgar, seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari ekspresinya.
Bukan wajah menyebalkan seperti biasanya.
Bukan mata penuh rasa ingin tahu yang menuntut jawaban.
Ulpa tampak… ragu.
"Jadi, kamu beneran bakal pergi kuliah?" tanyanya.
Sam mengangguk. "Ya."
Ulpa menghela napas. "Kayaknya… bakal aneh kalau kamu nggak ada."
Sam terdiam. Itu adalah pertama kalinya Ulpa mengatakan sesuatu seperti itu.
"Tapi, kamu pasti bakal sibuk, kan? Aku juga masih sekolah. Jadi ya, nggak masalah," lanjut Ulpa cepat, seolah ingin menutupi sesuatu.
Sam tidak tahu kenapa, tapi dadanya terasa sedikit sesak.
"Kita masih bisa sering ngobrol," kata Sam, mencoba terdengar biasa saja.
Ulpa mendelik. "Kamu yakin nggak bakal lupa sama aku?"
Sam tertawa kecil. "Aku nggak sepelupa itu."
Ulpa menatapnya sebentar, lalu menyodorkan tangannya. "Kalau gitu, janji."
Sam mengerutkan kening. "Janji apa?"
"Janji kalau kamu nggak bakal ngelupain aku, meskipun kamu ketemu banyak orang baru di sana."
Sam menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis.
Dia tidak tahu kenapa, tapi janji itu terasa lebih berat daripada yang seharusnya.
Dengan ragu, dia menjabat tangan Ulpa. "Janji."
Dan di saat itu, Sam menyadari sesuatu.
Janjinya bukan hanya tentang mengingat Ulpa.
Tapi tentang perasaan yang perlahan tumbuh, tanpa bisa dia kendalikan.
---
: Jarak yang Memisahkan, atau Justru Mendekatkan?
Setelah kelulusan, Sam berangkat ke kota lain untuk kuliah. Hidupnya berubah—jadwal yang padat, teman-teman baru, lingkungan baru.
Tapi meskipun hari-harinya sibuk, ada satu kebiasaan yang tetap bertahan.
Pesan dari Ulpa.
"Hei, gimana kuliah?"
"Jangan sampai lupa makan."
"Aku ribut sama temenku lagi. Menurutmu, salah siapa?"
"Kapan pulang?"
Awalnya, Sam menganggap itu biasa saja. Ulpa memang suka berbicara, dan dia pasti mengirim pesan ke banyak orang lain juga.
Tapi kemudian, dia mulai menyadari sesuatu.
Ulpa selalu menghubunginya lebih dulu.
Dia yang memulai percakapan. Dia yang memastikan Sam tidak lupa padanya.
Dan Sam?
Tanpa sadar, dia selalu menunggu pesan itu.
Bahkan jika dia sibuk, bahkan jika dia sedang bersama teman-temannya, ketika ponselnya berbunyi dan nama Ulpa muncul di layar, dia selalu membalas.
Dan ketika dia mulai mengetik jawabannya, dia menyadari sesuatu.
Jarak ini mungkin memisahkan mereka secara fisik.
Tapi dalam hatinya, Ulpa tidak pernah benar-benar pergi.
---
Bagian : Perubahan & Pilihan
: Jarak yang Memisahkan
Setelah beberapa bulan berlalu, kehidupan Sam di kota mulai berjalan dengan ritme yang stabil. Kuliah, tugas, dan pertemanan barunya mulai menyita waktunya.
Tapi ada satu hal yang tetap bertahan.
Ulpa.
Pesan-pesan darinya tidak pernah berhenti.
itu mengomentari sesuatu, mengeluh soal sekolah, atau sekadar memastikan Sam makan dengan benar.
Awalnya, Sam menganggap itu hanya kebiasaan Ulpa yang blak-blakan. Tapi semakin lama, dia mulai merasa… terikat.
Meskipun sering kali hanya membalas sekadarnya, ada perasaan aneh saat sehari berlalu tanpa pesan dari Ulpa.
Seperti ada yang hilang.
Tapi dia tidak terlalu memikirkan itu.
Karena ada hal lain yang tiba-tiba menarik perhatiannya.
---
Saat Takdir Memanggil
Perpustakaan sore itu dipenuhi suara lembut halaman yang dibalik dan desiran pelan langkah kaki. Cahaya matahari jatuh di antara rak-rak tinggi, memberikan kehangatan yang kontras dengan ketenangan tempat itu.
Sam duduk di meja panjang, tenggelam dalam buku-bukunya. Di sekelilingnya, mahasiswa lain sibuk dengan urusan masing-masing, tapi dia tidak terlalu peduli.
Hingga sebuah kehadiran menarik perhatiannya.
Tanpa suara, seorang gadis duduk di seberang meja.
Dia tidak meminta izin. Tidak mencoba menarik perhatian siapa pun. Hanya membuka bukunya dan mulai membaca.
Sam melirik sekilas.
Dia tidak mengenalnya, tetapi ada sesuatu dalam caranya duduk diam yang membuatnya sulit untuk tidak memperhatikan.
Tidak seperti kebanyakan orang yang datang dan sibuk berbicara atau mengetik dengan tergesa-gesa, gadis itu hanya ada di sana—tenang, seperti bagian alami dari perpustakaan itu sendiri.
Sam mencoba kembali fokus. Tapi sesekali, matanya kembali melirik ke arahnya.
Dia terlihat serius membaca, jari-jarinya perlahan membalik halaman dengan gerakan ringan. Ada ketenangan dalam setiap gerakannya, seolah waktu berjalan lebih lambat di sekelilingnya.
Sam menunduk, berusaha mengabaikan rasa ingin tahunya.
Dia bukan tipe orang yang mudah memulai percakapan. Lagipula, tidak ada alasan untuk berbicara dengannya.
Tapi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Sam merasa… penasaran.
Tanpa ia sadari, nama gadis itu mulai memenuhi pikirannya, meski dia belum tahu siapa dia.
---
: Pertemuan yang Tak Terduga
Sore itu, langit mulai meredup ketika Ratu melangkah keluar dari perpustakaan. Ia merapikan kerudungnya, lalu berjalan menuju tempat parkir dengan langkah ringan. Namun, saat mencoba menyalakan motornya, yang terdengar hanya suara berderik lemah.
Ia mencoba lagi, tetapi hasilnya tetap sama.
Ratu menghela napas pelan.
Di sisi lain, Sam baru saja keluar dari perpustakaan setelah menghabiskan beberapa jam membaca. Saat melangkah ke parkiran, matanya menangkap sosok yang familiar—seorang gadis yang sering ia lihat di perpustakaan.
Ia jarang memperhatikannya secara langsung, tapi gadis itu selalu ada di meja panjang yang sama dengannya, duduk diam dengan buku-bukunya.
Kini, ia tampak kebingungan dengan motornya.
"Motornya kenapa?" tanya Sam tanpa sadar.
Ratu menoleh, sedikit terkejut karena Sam menyapanya. Sejenak ia hanya diam, sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, "Aku… tidak tahu. Tidak mau menyala."
Sam menunduk, memperhatikan motor itu sejenak. "Boleh aku coba?"
Ratu mengangguk pelan, lalu sedikit menyingkir. Sam mencoba menyalakan mesin beberapa kali, tapi tetap tidak berhasil.
"Sepertinya harus dibawa ke bengkel," katanya akhirnya.
Ratu berpikir sejenak. "Ada bengkel di dekat perempatan."
"Baik, ayo kita bawa ke sana," ucap Sam.
Ratu hendak mengatakan bahwa ia bisa membawa sendiri, tetapi Sam sudah lebih dulu bersiap.
Ia menaiki motornya sendiri seperti biasa, lalu dengan kakinya, ia mulai mendorong motor Ratu ke depan.
Mereka menyusuri jalan dengan hening, hanya terdengar suara roda yang berputar di aspal.
Saat mereka tiba di bengkel, seorang montir segera mengecek mesin.
Ratu melirik Sam sesaat.
Sebenarnya, ia ingin mengatakan sesuatu—bahwa Sam boleh pulang karena dia telah sampai.
Namun, kata-kata itu tertahan.
Ia takut terdengar seperti, "Sudah kau antar, ya sudah."
Jadi, ia tetap diam.
Dan Sam juga tetap di sana, berdiri di sampingnya, menunggu tanpa banyak bicara.
Untuk pertama kalinya, mereka berada di tempat yang sama—bukan lagi dua orang asing yang hanya berbagi ruang di perpustakaan, tetapi sebagai dua orang yang kini memiliki alasan untuk saling mengenal.
Baik, aku akan menyesuaikannya agar interaksi mereka tetap netral tanpa adanya perubahan perasaan.
---
Setelah beberapa menit, montir mulai bekerja memperbaiki motor Ratu. Sam tetap berdiri di dekatnya, menyandarkan tubuh pada motornya sendiri. Tidak ada banyak percakapan di antara mereka, hanya suara alat bengkel yang berbunyi sesekali.
Ratu sesekali melirik ke arah Sam. Ia tidak terbiasa ada seseorang yang menunggu untuknya, terutama seseorang yang belum begitu dikenalnya.
Sebenarnya, ia ingin mengatakan, "Kamu tidak perlu menunggu."
Tapi ia ragu. Takut terdengar tidak sopan.
Sementara itu, Sam juga tidak merasa keberatan menunggu. Tidak ada alasan khusus, hanya karena dia memang sudah ada di sini.
Setelah beberapa saat, montir menegakkan tubuhnya. "Sepertinya aki-nya bermasalah. Saya bisa ganti, tapi butuh waktu sekitar lima belas menit."
Ratu mengangguk. "Baik, tolong saja diperbaiki."
Montir kembali bekerja.
Ratu akhirnya menarik napas pelan dan mengalihkan pandangan ke arah Sam. "Kamu tidak perlu menunggu kalau ada urusan lain," katanya dengan nada hati-hati.
Sam menoleh sebentar. Ia tidak memiliki alasan untuk tetap di sini, tapi juga tidak merasa perlu segera pergi. "Tidak apa-apa."
Ratu tidak menanggapi lagi, memilih untuk diam.
Sore itu, mereka hanya menunggu. Tanpa percakapan berlebih, tanpa memikirkan makna dari kehadiran satu sama lain. Itu hanya sebuah pertemuan biasa—setidaknya, untuk saat ini.
Beberapa hari setelah insiden di bengkel, Sam kembali ke perpustakaan seperti biasa. Ia mengambil tempat di meja panjang yang biasa ia tempati, membuka bukunya, dan mulai membaca dalam diam.
Suasana perpustakaan tetap sama—tenang, hanya sesekali terdengar suara lembaran kertas dibalik atau langkah pelan seseorang yang lewat.
Saat ia sedang fokus pada bukunya, sebuah botol minuman diletakkan di mejanya.
Sam menoleh.
Ratu berdiri di sebelahnya, tangannya masih di atas meja setelah meletakkan botol itu.
"Aku ingin memberikan ini sebagai ucapan terima kasih," katanya pelan. "Karena sudah membantuku kemarin."
Sam menatap botol minuman itu sejenak sebelum kembali melihat Ratu. Gadis itu tampak tenang seperti biasanya, tapi ada sedikit rasa ragu di matanya.
"Harusnya aku memberikannya kemarin," lanjutnya. "Tapi aku tidak melihatmu di sini."
Sam terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. "Terima kasih."
Setelah meletakkan botol minuman di meja Sam dan mengucapkan terima kasih, Ratu masih berdiri di tempatnya. Sam yang awalnya hendak kembali membaca bukunya, menyadari Ratu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata,
"Boleh aku tanya namamu? Karena aku belum tahu."
Sam sedikit terkejut. Mereka sudah sering bertemu di perpustakaan, tapi memang benar—mereka belum benar-benar berkenalan secara resmi.
Sam menutup bukunya perlahan dan menatap Ratu.
"Sam," jawabnya singkat.
Ratu mengangguk kecil, seperti mencoba mengingat nama itu. Lalu, tanpa Sam sempat bertanya balik, Ratu lebih dulu berkata,
"Aku Ratu."
Sam tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk kecil sebagai tanda ia mendengar. Ratu pun tak melanjutkan percakapan, hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya duduk di tempatnya sendiri.
Sam menatap botol minuman yang diberikan Ratu. Ia membuka tutupnya dan meminumnya sedikit, lalu kembali pada bukunya.
Di seberang meja, Ratu juga mulai membaca, seolah tidak ada percakapan yang baru saja terjadi.
Namun, bagi mereka berdua, perkenalan sederhana itu entah bagaimana terasa cukup berarti.
Seiring waktu, hubungan Sam dan Ratu berkembang secara alami. Mereka tidak pernah berjanji untuk bertemu, tetapi entah bagaimana, langkah mereka selalu membawa mereka ke tempat yang sama—perpustakaan, jalanan kampus, atau gerbang saat pulang.
Awalnya, perasaan itu muncul sebagai sesuatu yang samar.
Seperti saat Sam datang ke perpustakaan lebih awal dari biasanya dan tanpa sadar menunggu Ratu. Atau ketika Ratu melihat ke sekeliling ruangan sebelum duduk, mencari sosok yang mungkin ada di sana.
Namun, yang paling terasa adalah saat mereka mulai memperhatikan hal-hal kecil satu sama lain.
Seperti ketika Sam mulai menyadari bahwa Ratu selalu menyelipkan pembatas buku di halaman tertentu, tanda bahwa dia sering membaca ulang bagian itu. Atau saat Ratu mulai memperhatikan bahwa Sam selalu mengusap tengkuknya saat berpikir keras.
Perasaan itu tidak datang seperti petir di siang bolong. Tidak ada momen dramatis.
Hanya ada kebiasaan yang berubah.
Sam yang biasanya tidak peduli dengan siapa duduk di sampingnya, kini merasa lebih nyaman jika itu Ratu. Ratu yang biasanya tidak menunggu siapa pun, kini terkadang melambatkan langkah jika melihat Sam masih membereskan bukunya.
Namun, baik Sam maupun Ratu sadar bahwa ada batas yang tidak boleh mereka langkahi.
Bagi Sam, dia sudah memiliki Ulpa—seseorang yang telah menemaninya selama bertahun-tahun.
Bagi Ratu, perasaannya bukan sesuatu yang bisa diumbar dengan mudah. Bukan karena dia tidak berani, tetapi karena dia tahu bahwa dalam agamanya, menjalin hubungan tanpa ikatan bukanlah hal yang dibenarkan.
Jadi, mereka memilih diam.
Mereka memilih membiarkan perasaan itu tetap menjadi rahasia yang hanya bisa diungkapkan lewat tatapan yang sedikit lebih lama, senyuman yang terasa lebih hangat, atau doa yang dipanjatkan dalam sunyi.
Karena terkadang, cinta yang tidak diucapkan bukan berarti tidak ada.
Hanya saja, ada hal-hal yang tidak bisa mereka genggam…
---
:Benih Perasaan yang Tumbuh dalam Diam
Hubungan mereka berkembang dengan cara yang sederhana. Tidak ada kata-kata manis atau pengakuan langsung, hanya kebiasaan-kebiasaan kecil yang mulai terbentuk di antara mereka.
Setiap kali bertemu di perpustakaan, mereka saling menyapa. Kadang-kadang, Ratu akan membawa teh botol atau makanan ringan untuk Sam, mengatakan bahwa itu hanya kebetulan ia membawanya lebih.
Sam tidak banyak bicara, tetapi mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Ratu—cara dia selalu merapikan jilbabnya sebelum berbicara, bagaimana dia menundukkan kepala saat tertawa pelan, atau bagaimana dia lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Mereka tidak pernah berbicara tentang hal-hal yang terlalu pribadi. Tapi dalam keheningan yang mereka bagi, ada pemahaman yang perlahan tumbuh.
Mereka tidak pernah mengungkapkan perasaan mereka secara langsung.
Tapi setiap kali Sam melihat Ratu berdoa dengan khusyuk di musala kampus, dia bertanya-tanya…
Apakah namanya pernah disebut di dalam doa itu?
---
Perasaan yang Tak Bernama
Hari-hari berlalu. Minggu berganti bulan.
Kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu terasa biasa kini menjadi bagian dari rutinitas mereka.
Setiap kali Ratu memasuki perpustakaan dan melihat Sam di tempat biasa, hatinya terasa lebih ringan. Dia akan meletakkan bukunya di meja yang sama, mengangguk kecil sebagai sapaan, lalu duduk dengan tenang.
Sam juga, tanpa sadar, selalu menyisakan satu kursi kosong di dekatnya. Dia tidak pernah berpikir untuk sengaja melakukannya—tetapi entah bagaimana, dia selalu memastikan ada ruang untuk Ratu.
Obrolan mereka semakin sering, tetapi tetap dalam batas yang wajar.
Mereka berbicara tentang buku, tentang tugas kuliah, tentang hal-hal kecil yang terjadi di sekitar mereka.
Namun, ada sesuatu di antara mereka yang tidak pernah mereka bicarakan. Sesuatu yang perlahan tumbuh, tetapi tidak berani mereka akui.
Sebuah perasaan yang hadir dalam diam.
Sam mulai merasa terbiasa dengan kehadiran Ratu. Jika sehari saja mereka tidak bertemu, ada kekosongan yang sulit dia jelaskan. Tapi dia menepis pikirannya sendiri—mungkin itu hanya karena mereka sering belajar bersama.
Ratu juga merasakan hal yang sama. Namun, setiap kali hatinya terasa hangat saat bersama Sam, dia hanya tersenyum kecil dan berbisik dalam hati,
"Jika dia memang jodohku yang tertulis di langit, maka kami pasti akan bersama."
Perasaan mereka semakin besar.
Dan semakin besar pula mereka menyembunyikannya.
Mereka tidak menyadari bahwa setiap tatapan singkat, setiap diam yang mereka bagi, setiap kebiasaan kecil yang mereka ciptakan bersama…
Adalah tanda bahwa mereka telah jatuh cinta.
Mereka hanya belum menyadarinya.
Atau mungkin, mereka terlalu takut untuk mengakuinya.
---
:Percakapan di Rumah Keluarga Robert
Malam itu, suasana di ruang kerja ayah Robert terasa tegang. Lampu gantung mewah menerangi ruangan, tapi bagi Robert, tempat itu terasa lebih seperti ruang interogasi. Ayahnya duduk di balik meja besar dengan tangan terlipat di depan dada, tatapannya tajam menusuk ke arah putranya yang berdiri di seberangnya.
"Kau harus menikah."
Robert menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya ayahnya membahas pernikahan, tapi kali ini nadanya jauh lebih serius.
"Kenapa tiba-tiba, Yah?" tanyanya, mencoba tetap tenang.
Ayahnya menyandarkan punggung ke kursi, ekspresinya tetap dingin. "Aku sudah memikirkannya sejak lama. Hidupmu berantakan, Robert. Kau tidak punya arah. Kau hanya menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak jelas."
Robert mengepalkan tangan, tapi berusaha menahan diri. "Dan menurut Ayah, menikah akan menyelesaikan semuanya?"
"Tidak sembarang menikah." Ayahnya menatapnya lurus. "Aku sudah menemukan wanita yang tepat untukmu."
Robert mulai merasa tidak enak.
"Siapa?" tanyanya hati-hati.
Ayahnya mengambil napas panjang sebelum mengucapkan satu nama yang langsung membuat Robert membeku.
"Ratu."
Robert tidak langsung merespons. Sejenak, ruangan terasa sunyi.
"Ratu?" ulangnya, seolah ingin memastikan dia tidak salah dengar.
Ayahnya mengangguk. "Dia anak dari ulama yang sering mengisi pengajian di rumah kita. Aku sudah lama melihatnya. Dia perempuan yang baik, sopan, cerdas, dan paham agama. Dia bisa membimbingmu menjadi pria yang lebih baik."
Robert tertawa kecil, tapi tanpa humor. "Ayah serius?"
"Sangat serius."
Robert mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Dan kalau aku menolak?"
Untuk pertama kalinya dalam percakapan itu, ayahnya mencondongkan tubuh ke depan, suaranya lebih rendah tapi penuh ancaman.
"Kalau kau menolak, aku akan mencoret namamu dari daftar warisan."
Darah Robert terasa membeku.
"Ayah tidak bisa melakukan itu."
Ayahnya tersenyum tipis. "Aku bisa. Dan aku akan melakukannya."
Robert terdiam.
Dia tahu ayahnya tidak main-main.
Warisan keluarga mereka bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Itu bukan hanya soal uang—itu adalah masa depannya.
Robert menghela napas panjang dan akhirnya bertanya, "Apa Ratu sudah tahu tentang ini?"
"Aku sudah melamarnya melalui ayahnya. Sekarang tinggal jawaban darinya."
Robert menatap meja, pikirannya kacau.
Robert Menghubungi Sam
Malam itu, ponsel Sam bergetar di atas meja belajarnya. Dia sedang membaca materi untuk ujian besok, tapi ketika melihat nama Robert di layar, dia langsung mengangkatnya.
"Halo, Rob?"
Dari seberang telepon, terdengar helaan napas berat. "Sam, bisa kita ketemu sekarang?"
Sam melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sepuluh malam.
"Malam-malam begini? Ada apa?"
"Tolong, Sam. Ini penting."
Nada suara Robert terdengar serius, hampir putus asa. Sam ragu sejenak, tapi akhirnya mengalah.
"Oke, di mana?"
Lima belas menit kemudian, Sam tiba di sebuah kedai kopi kecil yang masih buka. Robert sudah duduk di sudut ruangan dengan ekspresi kusut dan segelas kopi yang belum disentuh.
"Ada apa?" tanya Sam setelah duduk di hadapannya.
Robert menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Aku dijodohkan."
Sam terdiam sejenak.
"Dijodohkan? Oleh siapa?"
"Ayahku."
Sam mengangkat alis. Robert bukan tipe orang yang suka dijodohkan.
"Dengan siapa?"
Robert menghembuskan napas panjang.
"Ratu."
Sam merasakan dadanya seperti dihantam sesuatu. Tapi dia berusaha tetap tenang.
"Ratu?" ulangnya, memastikan dia tidak salah dengar.
Robert mengangguk. "Ayahku sudah berbicara dengan ayahnya. Sekarang tinggal jawaban dari Ratu."
Sam menelan ludah. Dia tidak tahu harus berkata apa.
Robert memijat pelipisnya. "Ayah bilang hidupku berantakan dan Ratu bisa membimbingku jadi lebih baik. Kalau aku menolak, aku akan dicoret dari daftar warisan."
Sam diam. Dia ingin merasa kasihan pada sahabatnya, tapi hatinya sendiri terasa sesak mendengar nama Ratu disebut dalam konteks pernikahan dengan Robert.
"Jadi, kau akan menerimanya?" tanyanya pelan.
Robert menggeleng. "Aku tidak tahu, Sam. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk menikah sekarang, apalagi dengan Ratu. Dia gadis baik, tapi aku merasa seperti ini bukan keputusanku sendiri."
Sam menatap sahabatnya lama. Di satu sisi, dia ingin mendukung Robert. Tapi di sisi lain, ada perasaan tak terjelaskan dalam dirinya.
"Apa Ratu sudah memberikan jawaban?"
Robert menggeleng. "Belum. Tapi ayahnya bilang dia akan mempertimbangkannya."
Sam menghela napas. Hatinya terasa berat.
Malam itu, mereka duduk
dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.
:Jawaban Ratu
Malam itu, ayah Ratu memanggil putrinya ke ruang tamu.
Ratu duduk dengan tenang, tangannya terlipat di pangkuan.
"Ayah ingin menanyakan sesuatu," ujar ayahnya dengan suara lembut. "Hari ini, ada seseorang yang datang melamarmu."
Ratu tidak terkejut.
Sebagai putri seorang ulama yang dihormati, ia tahu cepat atau lambat ayahnya akan mencarikannya jodoh.
Namun, saat ayahnya menyebut nama Robert, hatinya sedikit terusik.
Robert?
Sahabat Sam.
Orang yang sering dia lihat bersama Sam, tapi tidak pernah terlalu dia perhatikan.
"Aku tahu ayah akan mencarikanku yang terbaik," Ratu menjawab, suaranya tetap tenang. "Aku percaya keputusan ayah."
Ayahnya mengamati putrinya dalam diam.
Dia tahu Ratu bukan tipe yang akan mengungkapkan perasaannya secara terbuka.
Tapi jawaban itu sudah cukup baginya.
:Percakapan Terakhir Sam dan Ratu Sebelum Ratu Menikah
Sore itu, perpustakaan kampus terasa lebih sepi dari biasanya. Matahari mulai condong ke barat, menyisakan cahaya lembut yang menerobos jendela besar di sudut ruangan. Sam duduk di tempat biasanya, tetapi kali ini pikirannya tidak tertuju pada buku di hadapannya.
Langkah ringan terdengar mendekat. Ratu berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang tenang seperti biasa. Tapi ada sesuatu di matanya—sesuatu yang sulit dijelaskan.
"Boleh aku duduk?" tanyanya lembut.
Sam hanya mengangguk. Biasanya, ia akan menyambutnya dengan obrolan ringan, tapi kali ini, kata-kata terasa sulit keluar.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Ratu memainkan tutup botol minumnya, seolah-olah sedang berpikir bagaimana memulai percakapan.
"Aku akan menikah," ucapnya akhirnya.
Sam sudah tahu, tapi mendengar Ratu mengatakannya sendiri terasa berbeda. Seperti palu yang mengetuk kepastian di hatinya.
Dia mengangguk pelan. "Ya, aku tahu."
Ratu menunduk, jemarinya saling menggenggam di atas meja.
"Ayah bertanya apakah aku setuju... Dan aku berkata bahwa ayah pasti akan memilihkan yang terbaik untukku."
Sam menatapnya. Ada sesuatu dalam nada suaranya—seperti ketulusan yang dipaksakan, atau mungkin, kepasrahan.
"Apa kau bahagia?" tanyanya pelan.
Ratu tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Bahagia itu soal bagaimana kita menjalaninya, bukan?"
Sam tidak menjawab. Dia ingin mengatakan banyak hal—tentang perasaan yang dia simpan, tentang doa-doa yang mungkin diaminkan bersama tanpa mereka sadari. Tapi apa gunanya sekarang?
Keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka.
Akhirnya, Ratu menarik napas dalam-dalam. "Sam... Aku ingin berterima kasih."
"Untuk apa?"
Ratu menoleh padanya, menatapnya dengan lembut. "Untuk semuanya. Untuk setiap percakapan kita, untuk setiap buku yang kau rekomendasikan, untuk setiap kali kita saling menyapa. Aku menghargainya lebih dari yang bisa kukatakan."
Sam menunduk, menyembunyikan sesuatu di matanya.
"Kau tahu, Ratu... Aku juga ingin mengucapkan terima kasih."
Ratu tersenyum. "Kenapa?"
Sam menatap lurus ke depan. "Karena selama ini, aku pernah mengenal seseorang sepertimu."
Mata Ratu berkedip pelan, tapi dia tidak bertanya lebih jauh.
Waktu seolah berjalan lebih lambat. Hingga akhirnya, Ratu berdiri.
"Aku harus pergi. Ada banyak yang harus kupersiapkan."
Sam menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk.
Saat Ratu melangkah pergi, Sam merasa ada sesuatu yang ikut pergi bersamanya—sesuatu yang bahkan tidak pernah dia akui sejak awal.
Di sudut perpustakaan itu, di bawah cahaya matahari senja, mereka mengucapkan selamat tinggal—tanpa benar-benar mengucapkannya.