Chereads / antara takdir atau doa yang tertunda / Chapter 4 - dua dunia yang berbeda

Chapter 4 - dua dunia yang berbeda

Berbeda dengan kehidupan rumah tangga Sam dan Ulpa yang meskipun penuh perdebatan tetapi tetap memiliki kehangatan, pernikahan Robert dan Ratu semakin hari semakin terasa hampa.

: Enam Bulan Terakhir

Perubahan itu tidak terjadi dalam semalam.

Ratu bisa mengingat dengan jelas saat-saat awal pernikahannya dengan Robert. Mereka memang bukan pasangan yang penuh gairah, tetapi ada kebersamaan yang cukup membuatnya merasa nyaman. Robert selalu pulang tepat waktu, menemaninya makan malam, dan sesekali menanyakan kabarnya.

Namun, semua itu berubah dalam enam bulan terakhir.

Awalnya, Robert hanya mulai pulang sedikit lebih larut dari biasanya. Ia selalu punya alasan—rapat mendadak, pekerjaan yang menumpuk, urusan bisnis yang tak bisa ditunda. Ratu mempercayainya. Lagipula, itu wajar bagi seorang pria yang memiliki tanggung jawab besar.

Kemudian, ia mulai melewatkan makan malam.

"Aku sudah makan di luar," katanya setiap kali Ratu menyiapkan makanan untuknya.

Lalu, ia mulai sering menerima telepon di tengah malam.

"Urusan kerja," jawabnya singkat setiap kali Ratu bertanya.

Sampai akhirnya, ia hampir tidak pernah ada di rumah.

Kini, bahkan saat ia pulang, rumah terasa sepi. Tidak ada percakapan panjang seperti dulu. Robert lebih sering menundukkan kepala, sibuk dengan ponselnya, atau hanya memberi jawaban singkat ketika Ratu mencoba mengajaknya berbicara.

Ratu tidak bodoh.

Ia menyadari perubahan ini, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa.

Pernikahannya bukanlah pernikahan yang dibangun atas dasar cinta yang membara. Tetapi, setidaknya, dulu ada rasa hormat dan perhatian. Kini, yang tersisa hanya kesunyian.

Malam itu, seperti biasa, Ratu duduk di ruang makan. Meja telah tertata rapi, makanan tersaji, tetapi kursi di hadapannya kosong.

Robert belum pulang.

Ratu menunggu.

Pukul sepuluh.

Pukul sebelas.

Pukul dua belas.

Hingga akhirnya, suara pintu depan terbuka.

Robert masuk, melepas jasnya dengan gerakan lelah.

"Belum tidur?" tanyanya tanpa menoleh.

Ratu menatapnya. Dulu, pertanyaan itu terdengar seperti kepedulian. Sekarang, hanya terdengar seperti kebiasaan yang diulang tanpa perasaan.

"Aku menunggumu makan malam."

Robert melirik meja makan, lalu tersenyum kecil. "Maaf, aku sudah makan di luar."

Jawaban yang sama.

Ratu tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam erat ujung bajunya.

Robert meraih ponselnya, mengetik sesuatu dengan cepat.

Lalu, tanpa menunggu reaksi Ratu, ia berjalan ke kamar.

Ratu tetap di tempatnya, menatap piring yang masih tersusun rapi di meja.

Dingin.

Sama seperti hatinya yang perlahan mulai mati rasa.

---

: Harapan yang Masih Ada

Ratu tidak pernah berpikir untuk menyerah.

Setiap malam, saat Robert pulang larut, ia selalu meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah fase. Bahwa suaminya hanya sedang sibuk. Bahwa kelelahanlah yang membuat Robert berubah, bukan karena ada hal lain.

Ia menunggu, bersabar, dan mencoba memahami.

Bagaimanapun, Robert adalah suaminya.

Mungkin, jika mereka memiliki seorang anak, semuanya akan kembali seperti dulu.

---

Pagi itu, Ratu duduk di halaman belakang rumah, menatap tanaman yang mulai tumbuh di pot-pot kecil. Tangannya dengan lembut menyentuh salah satu tunas yang baru muncul.

Seperti tumbuhan, kehidupan juga memiliki musimnya sendiri.

Dulu, saat awal pernikahan mereka, Robert pernah berkata bahwa ia ingin memiliki anak secepatnya. Ia ingin rumah mereka lebih ramai, penuh suara tawa kecil, dan kebahagiaan sederhana.

Namun, hingga sekarang, mereka belum dikaruniai anak.

Ratu tahu, mungkin inilah yang membuat semuanya terasa kosong.

Tanpa anak, rumah ini hanya diisi oleh dua orang dewasa yang semakin hari semakin menjauh.

Mungkin, jika ia bisa memberikan seorang anak untuk Robert, suaminya akan kembali seperti dulu.

Mungkin, Robert hanya butuh alasan untuk pulang lebih cepat.

---

Malam itu, Ratu memberanikan diri untuk berbicara.

Saat Robert duduk di sofa, sibuk dengan ponselnya, Ratu mendekat dan duduk di sebelahnya.

"Robert…"

Suaminya menoleh sekilas. "Hm?"

Ratu menggenggam ujung bajunya, menahan keraguan yang hampir membuatnya mengurungkan niat. Namun, ia harus mengatakan ini.

"Kamu masih ingin punya anak, kan?"

Robert terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Tentu saja."

"Aku juga." Ratu menunduk. "Mungkin… kalau kita punya anak, semuanya akan terasa lebih baik."

Robert menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. Namun, senyum itu terasa hambar.

"Ya… mungkin."

Jawaban yang tidak meyakinkan.

Ratu ingin bertanya lebih jauh, ingin tahu apa yang sebenarnya ada di benak suaminya. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Robert sudah kembali menatap ponselnya, seakan percakapan mereka tadi hanya gangguan kecil.

Dan sekali lagi, Ratu hanya bisa diam.

Di dalam hatinya, ia berdoa.

Berharap.

Mungkin, suatu hari nanti, semuanya akan kembali seperti dulu.

---

: Jarak yang Tak Terlihat

Robert tidak pernah marah.

Ia tidak pernah membentak Ratu, tidak pernah menunjukkan amarahnya secara langsung. Jika ada hal yang mengganggunya, ia hanya menghela napas dan mengalihkan perhatian. Jika Ratu bertanya, ia menjawab sekadarnya, cukup untuk menutup percakapan tanpa benar-benar menjelaskan apa pun.

Sikapnya masih sama lembutnya seperti dulu—hanya saja, perhatiannya tidak lagi tertuju pada Ratu.

---

Pagi itu, seperti biasa, Ratu menyiapkan sarapan. Aroma kopi memenuhi ruang makan, sementara suara televisi terdengar pelan dari ruang tengah. Sebuah acara berita pagi sedang mengudara, tetapi Ratu tidak terlalu memperhatikannya.

Robert turun dari kamar, berjalan menuju meja makan tanpa banyak bicara.

"Pagi," sapa Ratu, mencoba tetap ceria.

"Pagi."

Hanya satu kata. Datar. Tanpa senyum.

Ratu mengulurkan cangkir kopi ke hadapan suaminya. Robert menerimanya tanpa melihatnya, matanya masih tertuju pada ponsel yang sejak tadi tidak lepas dari genggaman.

Ia mengetik sesuatu, lalu sesekali tersenyum kecil.

Senyum yang terasa asing bagi Ratu.

---

Dulu, senyum itu adalah miliknya.

Dulu, Robert selalu menatapnya dengan penuh perhatian.

Dulu, mereka selalu berbincang panjang tentang apa pun—tentang pekerjaan Robert, tentang makanan yang Ratu buat, tentang hal-hal kecil yang terjadi di sekitar mereka.

Sekarang?

Semua terasa sunyi, meskipun mereka duduk di meja yang sama.

---

Ratu tidak ingin berburuk sangka.

Mungkin, Robert hanya sibuk. Mungkin, pekerjaannya semakin menuntut.

Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa bukan itu masalahnya.

---

Saat Ratu memberanikan diri untuk bertanya, Robert selalu menjawab dengan enteng.

"Aku hanya capek, Ratu."

Atau, "Nggak ada apa-apa, kok."

Jawaban yang selalu sama.

Tapi Ratu tahu, sesuatu memang berubah.

Perhatiannya semakin menghilang. Keberadaannya terasa semakin jauh.

Bukan dengan kata-kata kasar atau kemarahan—tetapi dengan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka.

Dan Ratu tidak tahu harus berbuat apa.

---

: Kunjungan yang Tak Terduga

Siang itu, udara terasa hangat. Matahari bersinar cerah, menerangi jalan kecil di depan rumah Ratu.

Suara langkah kaki mendekat. Tak lama, sebuah ketukan terdengar di pintu.

Ratu yang sedang merapikan ruang tamu segera beranjak dan membukanya. Di depan pintu, Ulpa berdiri dengan senyum khasnya, membawa beberapa kantong di tangannya.

"Aku datang tanpa pemberitahuan. Nggak apa-apa, kan?" kata Ulpa ringan.

Ratu menggeleng kecil dan tersenyum tipis. "Tentu saja tidak. Masuklah."

Ulpa melangkah masuk, lalu mengangkat kantong-kantong yang dibawanya.

"Kami baru selesai panen. Aku pikir lebih baik membawakan sedikit untukmu."

Ratu menerima kantong-kantong itu satu per satu. Ada tiga kantong yang berbeda ukurannya.

"Kau membawa banyak sekali," kata Ratu, sedikit terkejut.

Ulpa tersenyum. "Yang ini beras dari sawah Sam." Ia menunjuk kantong paling besar. "Yang ini sayuran—bayam, kangkung, dan kacang panjang. Dan yang terakhir, ada beberapa ubi dan jagung."

Ratu menatap isi kantong itu dengan penuh syukur. "Terima kasih. Kalian selalu baik padaku."

Ulpa tertawa kecil. "Sebenarnya ini bukan niat baik, sih. Kalau kubiarkan terlalu lama di rumah, Sam pasti langsung menjualnya sebelum aku sempat mengambil bagian."

Ratu tersenyum. "Dan kau menyelamatkan jatahmu lebih dulu?"

Ulpa mengangkat dagunya dengan gaya pura-pura angkuh. "Tentu saja! Aku istri petani, tapi bukan berarti aku mau kalah cepat dengannya. Harus ada yang melindungi hakku."

Mereka berjalan ke dapur, dan Ratu menuangkan teh hangat ke dalam cangkir untuk Ulpa.

"Bagaimana kabar Sam?" Ratu bertanya sambil duduk di hadapan Ulpa.

Ulpa mengangkat bahu. "Seperti biasa. Dia sibuk di ladang, tapi aku tahu dia menikmatinya."

Saat mengucapkan itu, mata Ulpa bersinar dengan kebahagiaan yang sulit disembunyikan.

Ratu mengamati ekspresi sahabatnya. Ulpa tampak benar-benar menikmati kehidupannya sebagai istri Sam, dan ada kepuasan tersendiri dalam cara ia berbicara.

Ratu tersenyum kecil. "Kau tampak sangat bahagia."

Ulpa menyandarkan tubuhnya di kursi dengan santai. "Tentu saja! Aku punya suami yang rajin, ladang yang selalu panen, dan sekarang aku sedang duduk menikmati teh gratis. Apa yang kurang?"

Ratu terkekeh pelan. "Kau memang selalu tahu bagaimana menikmati hidup."

Ulpa memainkan gagang cangkir di tangannya, lalu berdeham pelan. "Kau sendiri? Apa kabarmu?"

Ratu tersenyum kecil. "Baik."

Hanya satu kata.

Dan Ulpa menatapnya lama, seolah berusaha membaca sesuatu dari wajahnya.

"Kalau ada apa-apa, kau tahu kau bisa cerita padaku, kan?" katanya akhirnya.

Ratu mengangguk. Tapi tetap tidak mengatakan apa-apa.

Di antara mereka, keheningan terasa begitu padat—bukan karena tidak nyaman, tetapi karena keduanya tahu ada banyak hal yang tidak diucapkan.