Chereads / antara takdir atau doa yang tertunda / Chapter 8 - Retaknya Sebuah Pernikahan

Chapter 8 - Retaknya Sebuah Pernikahan

Malam itu, ketegangan di dalam rumah terasa seperti pisau yang menggantung di udara. Robert baru saja pulang, melepas jasnya, dan melemparkannya ke sofa tanpa banyak bicara. Namun, ketika Ratu mendekat, matanya langsung menangkap sesuatu di kerah kemeja Robert.

Sebuah noda samar berwarna kemerahan.

Jantungnya berdegup kencang, tetapi wajahnya tetap tenang. Dengan suara yang nyaris datar, ia bertanya, "Apa ini?"

Robert menoleh ke arahnya, lalu melihat ke arah yang ditunjuk Ratu. Seketika, wajahnya berubah. Sesaat ia tampak terkejut, tetapi dengan cepat ekspresinya menjadi datar kembali.

"Hanya bekas sesuatu, mungkin kain lap atau—"

"Jangan berbohong," potong Ratu dengan suara dingin. "Aku bukan anak kecil yang bisa kau tipu dengan alasan murahan seperti itu."

Robert menghela napas kasar. "Ratu, aku lelah. Bisa kita tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu?"

"Tidak perlu?" suara Ratu bergetar. "Robert, ini bukan pertama kalinya aku merasa ada yang salah. Aku mencoba mempercayaimu, mencoba menutup mata, mencoba meyakinkan diriku bahwa semua ini hanya ada dalam pikiranku. Tapi sekarang, bukti ada di depan mataku!"

Robert mengusap wajahnya, lalu mendesah frustrasi. "Apa yang kau harapkan dariku, hah? Kau selalu di rumah, tidak pernah berdandan untukku, tidak peduli pada penampilanmu. Aku laki-laki, Ratu! Apa kau pikir aku tidak butuh istri yang bisa menyenangkan mataku?"

Ratu menatapnya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dadanya naik turun, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

"Jadi kau menyalahkanku karena kau berselingkuh?" tanyanya, suaranya lirih namun penuh luka.

"Aku hanya mengatakan kenyataan!" bentak Robert. "Setiap hari, aku melihat wanita lain yang lebih menarik, lebih perhatian! Sementara kau? Kau hanya sibuk dengan duniamu sendiri! Aku pulang, dan yang kutemui hanya seorang istri yang dingin, pendiam, dan bahkan tak pernah berusaha membuatku merasa diinginkan!"

Air mata menggenang di mata Ratu, tapi ia menolaknya jatuh. "Aku tidak percaya kau benar-benar mengatakan itu..."

Robert mendengus sinis. "Kau mau menyalahkanku? Lihat dirimu sendiri dulu, Ratu."

Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka. Ratu merasakan dadanya sesak, seolah kata-kata Robert telah menusuk langsung ke hatinya.

Namun, alih-alih menangis atau memohon, Ratu justru mengangkat dagunya. Matanya yang basah menatap Robert dengan penuh keteguhan.

"Aku memang selalu di rumah, Robert," katanya pelan, "tapi bukan karena aku malas atau tidak peduli. Aku di rumah karena aku ingin menjadi istri yang baik, karena aku percaya bahwa rumah ini adalah tempat kita membangun kehidupan bersama. Tapi sekarang, aku sadar, aku sendirian dalam pernikahan ini."

Robert mengalihkan pandangannya, tak mampu membalas tatapan Ratu. Ia ingin membela diri, tetapi kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya membuatnya sadar bahwa ia telah melangkah terlalu jauh.

Ratu menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang remuk. "Kalau kau benar-benar merasa aku bukan istri yang kau inginkan, maka katakan saja, Robert. Aku tidak akan memaksamu bertahan dalam sesuatu yang sudah tidak kau inginkan lagi."

Robert terdiam. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang hampir menyerupai penyesalan. Tapi kesombongannya menahannya untuk mengakuinya.

Dan pada akhirnya, keheningan itu adalah jawaban yang paling menyakitkan.