Ratu terbangun dengan tubuh yang lelah, perasaan masih terombang-ambing setelah malam yang penuh dengan tangisan. Ketika matanya terbuka, ia melihat cahaya matahari mulai menyinari kamar, menyadarkannya bahwa waktu sudah cukup pagi. Ia merasa berat untuk bangkit, namun ia tahu harus tetap melanjutkan hari.
Meskipun sudah terlambat untuk salat subuh, Ratu tetap menunaikan kewajibannya, berdoa dengan penuh kekhusyukan. Setiap sujudnya terasa seperti pelarian dari kecemasan yang terus menghantui. Doa yang ia panjatkan tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Robert—meskipun hatinya sedang terluka oleh pertengkaran mereka yang baru saja terjadi.
Setelah selesai, ia keluar dari kamar, masih merasa berat di dadanya. Di ruang tengah, Ulpa sedang duduk, menatapnya dengan wajah penuh kecemasan.
"Ulpa… di mana Sam?" tanya Ratu, mencoba mengalihkan perhatian dari pikirannya yang gelisah.
"Sam sudah pergi kerja," jawab Ulpa dengan lembut, "Ada urusan yang harus dia selesaikan."
Ratu mengangguk pelan, namun hatinya masih diliputi kebingungan. Ia merasa belum siap untuk berbicara terlalu banyak, meskipun semua yang terjadi dengan Robert begitu mengganggu pikirannya. Ulpa bisa merasakannya.
"Ratu, apakah kamu merasa baik-baik saja?" tanya Ulpa, mengamati Ratu dengan penuh perhatian.
Ratu menarik napas dalam-dalam, matanya merenung. "Aku… aku hanya lelah, Ulpa. Robert dan aku… kami bertengkar lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."
Ulpa menatapnya dengan penuh rasa empati. "Aku bisa melihat bahwa ini sangat berat buatmu. Tapi kamu tidak sendirian. Kami akan selalu ada untukmu."
Ratu diam sejenak, seolah berpikir sejenak tentang apakah ia akan menceritakan lebih banyak atau tidak. Akhirnya, dengan suara yang agak tertahan, ia berkata, "Aku hanya… merasa seperti aku tidak mengenal lagi siapa Robert sebenarnya. Semua yang terjadi, semuanya terasa salah. Aku… mungkin terlalu banyak berpikir tentang hal-hal yang tidak seharusnya aku pertanyakan."
Ulpa hanya mengangguk, memahami bahwa Ratu belum siap untuk mengungkapkan lebih banyak. "Kamu tidak perlu menceritakan semuanya sekarang, Ratu. Aku mengerti. Jika nanti kamu merasa siap, kita bisa bicara lebih banyak."
Ratu menatap Ulpa dengan terima kasih. "Terima kasih, Ulpa. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk mencerna semuanya."
: Kehangatan yang Tersirat
Hari itu, sekitar pukul empat sore, Sam pulang dari ladangnya, terik matahari yang mulai mereda setelah sepanjang hari menemani pekerjaannya. Langkah kakinya terasa lelah, namun rasa syukur selalu menyertai setiap pulang ke rumah. Ia melewati jalan setapak yang biasa ditempuh, dan melihat sosok Ulpa duduk di bangku depan rumah, seperti biasanya. Namun, kali ini ada satu hal yang berbeda. Ratu, yang biasanya tertutup dan jarang keluar, duduk di samping Ulpa, tampak lebih tenang meskipun masih terlihat jelas sisa-sisa kelelahan di wajahnya.
Ulpa mengangkat wajahnya ketika mendengar langkah Sam mendekat. Senyum hangat terpancar dari wajahnya, seperti biasa. "Sam, kamu pulang juga," ujarnya sambil berdiri, menyambut suaminya.
Sam tersenyum, meletakkan alat pertanian yang dibawanya dan menghampiri mereka. "Iya, seharian di ladang, rasanya lama sekali," jawabnya, sambil merasakan hembusan angin sore yang membawa kesejukan.
Ratu, yang semula hanya duduk dengan sedikit senyum tipis, mengamati interaksi mereka berdua dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan. Ada rasa cemburu yang mulai tumbuh di dalam hatinya, meskipun ia tak mengatakannya. Ia hanya duduk diam, mendengarkan percakapan antara Ulpa dan Sam. Apa yang mereka miliki—sebuah kehangatan sederhana—terasa jauh berbeda dari apa yang ia rasakan. Keluarga ini, meskipun hidup sederhana, tampaknya memiliki ikatan yang begitu erat, jauh dari apa yang ia alami dalam rumah tangganya dengan Robert.
Sam memandang Ratu yang masih duduk di bangku, sedikit bingung dengan ekspresi di wajah wanita itu. "Ratu, ada apa? Kalau kamu merasa tidak enak badan, aku bisa bantu," kata Sam dengan lembut, mencoba menawarkan bantuan.
Ratu menggeleng pelan, meski matanya tak lepas dari pandangan Sam. "Tidak, aku hanya sedikit lelah," jawabnya singkat, tapi ada kesan ketidaknyamanan yang tak bisa disembunyikan.
Ulpa, yang menyadari ada sesuatu yang mengganjal, mencoba mencairkan suasana. "Ratu, kamu harus lebih sering keluar. Lihatlah, udara sore ini segar. Kadang-kadang, hanya dengan duduk di sini bersama, hati kita bisa lebih tenang," ujar Ulpa, mencoba menyemangati.
Ratu hanya mengangguk perlahan, meskipun dalam hati ada perasaan lain yang lebih dalam. Ia menatap keluarga ini, dengan semua kesederhanaan dan kebahagiaan mereka yang begitu nyata. Di sisi lain, ia merasa ada jurang pemisah yang jauh antara kehidupannya dan kehidupan keluarga Sam. Tidak ada kemewahan, tidak ada kemegahan, namun ikatan yang mereka miliki terasa begitu kuat dan hangat.
Ia melihat bagaimana Sam dan Ulpa berbincang, penuh canda dan perhatian. Ada sebuah keharmonisan yang tak bisa ia temukan dalam pernikahannya dengan Robert. Begitu banyak hal yang terasa hilang, dan di saat itu, Ratu tidak bisa menghindari perasaan cemburu yang menggelayuti hatinya. Kenapa kehidupannya tidak seperti ini? Kenapa Robert tak pernah bisa menunjukkan perhatian seperti Sam?
Sam dan Ulpa berbincang seolah-olah waktu tak pernah berjalan. Begitu sederhana, namun penuh kebahagiaan. Ratu, meskipun diam, tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Sesuatu yang kini tampak jelas di depan matanya—kehangatan yang datang dari kedekatan keluarga yang saling mendukung. Keadaan yang, meskipun tak sempurna, tetap membawa kebahagiaan.
Dalam hati, Ratu berdoa agar suatu saat bisa merasakan hal yang sama dalam hidupnya.