---
Bab 29: Keputusan yang Terpendam
Keheningan yang mendalam menyelimuti ruangan ketika Sam dan Ulpa duduk bersama, berusaha mencerna situasi yang baru saja terungkap. Ulpa tampak tidak tenang, matanya berkaca-kaca seolah perasaan yang ia simpan begitu lama kini tak lagi bisa terkendali.
Sam menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri, tetapi perasaan ragu yang besar masih menguasai dirinya. Sejak pertama kali mendengar cerita dari Ulpa, dia merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berguncang. Robert, sahabatnya, yang selalu dianggapnya sebagai sosok yang setia, kini menghadirkan kenyataan pahit yang sulit diterima. Apakah mungkin ia benar-benar melakukan hal itu?
"Sam," suara Ulpa perlahan, membuyarkan lamunannya. "Aku takut semuanya akan hancur. Aku takut ini adalah awal dari segalanya yang salah."
Sam menatap istrinya dengan hati yang penuh dilema. "Aku juga takut, Ulpa. Tapi kita harus memastikan dulu sebelum mengambil keputusan apa pun. Kita tidak bisa terlalu terburu-buru."
Ulpa hanya mengangguk pelan, meski ekspresinya penuh kecemasan. Ia tahu betul, bahwa tidak ada jawaban mudah dalam situasi ini.
Sementara itu, di kamar tamu, Ratu duduk terdiam, sesekali mengusap wajahnya yang tampak lelah. Matanya masih tampak merah, mungkin karena terlalu lama menahan tangis. Tapi ia tahu, di dalam hatinya ada perasaan yang lebih besar daripada sekadar kesedihan—ada keraguan, ada ketidakpastian tentang masa depannya.
Sam merasa tak enak membiarkan Ratu begitu saja, namun ia juga tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ia merasa sulit untuk menyentuh perasaan wanita itu saat ini. Semua yang bisa dilakukannya adalah memberikan ruang, memberi waktu.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari luar kamar. Ulpa terbangun dari pikirannya, dan dengan langkah cepat namun hati-hati, ia mendekati pintu kamar Ratu. Ia tahu, ini bukan waktu untuk berpikir, melainkan untuk memberikan dukungan yang mungkin sangat dibutuhkan Ratu.
Tanpa ragu, Ulpa mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, sedikit lebih keras, dan kali ini suara lembut dari dalam menjawab. "Masuk."
Dengan hati yang berdebar, Ulpa memutar gagang pintu dan melangkah masuk. Ratu duduk di tepi ranjang, wajahnya tertunduk. Ulpa bisa merasakan betapa berat perasaan yang sedang dipikul oleh Ratu. Walaupun keduanya pernah berbagi banyak cerita, Ulpa tahu bahwa kali ini situasinya berbeda. Ratu, yang dulunya tampak kuat dan tegar, kini terasa begitu rapuh.
"Ratu," suara Ulpa lembut, memecah keheningan di antara mereka. "Aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja."
Ratu mengangkat wajahnya, menatap Ulpa dengan mata yang tampak lelah. Wajahnya pucat, namun ada sesuatu yang lebih dalam di matanya—keraguan, kebingungan, dan sedikit kebingungan.
"Aku... aku merasa bingung, Ulpa," jawab Ratu, suaranya hampir tak terdengar. "Semua ini terlalu berat. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."
Ulpa mendekat, duduk di samping Ratu. Ia menghela napas, mencoba untuk tidak terlalu tergesa-gesa, memberi Ratu ruang untuk berbicara.
"Tidak ada yang mudah dalam situasi seperti ini," kata Ulpa pelan, mencoba memberikan kenyamanan. "Kamu tidak sendirian, Ratu. Aku di sini untukmu."
Ratu hanya mengangguk, mencoba menghapus air mata yang hampir menetes, tetapi tidak bisa menahan ekspresi sedih yang tergurat di wajahnya.
Ulpa meraih tangan Ratu dengan lembut, memberikan dukungan fisik, sebuah isyarat bahwa ia benar-benar ada untuknya. "Jika ada yang bisa aku lakukan, katakan saja."
Ratu terdiam, seolah menimbang apa yang harus dikatakan. "Aku merasa seperti tidak tahu siapa lagi yang bisa aku percayai. Aku... aku merasa seperti semua yang aku percayai sudah hancur," ujar Ratu dengan suara yang bergetar.
Ulpa meremas tangan Ratu lebih erat, memberikan sedikit kehangatan dalam kesendirian Ratu yang mendalam. "Aku tahu ini sulit, Ratu. Tapi kamu bisa melaluinya. Kami semua di sini untukmu."
Ratu memandang Ulpa dengan mata yang penuh harapan, meskipun sedikit ragu. "Aku takut ini akan mempengaruhi segalanya," kata Ratu, matanya kembali teralihkan ke lantai.
Ulpa menatapnya dengan penuh pengertian, merasa beban yang sama. "Kita akan hadapi ini bersama-sama, Ratu. Aku tahu ini berat, tapi aku percaya kita bisa menghadapinya."
Begitu Ulpa mengatakan itu, seolah ada sedikit ketenangan yang menyelimuti ruangan. Ratu menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur perasaannya. Dalam keheningan itu, mereka duduk berdampingan, berdua, dengan rasa yang penuh namun tidak diungkapkan.
Ulpa tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia tahu satu hal: ia harus tetap ada untuk Ratu, memberi dukungan yang mungkin sangat dibutuhkan, bahkan ketika situasi ini tak kunjung jelas.
Malam itu, keduanya duduk bersama dalam keheningan, mencoba memahami apa yang harus dilakukan. Namun, Ulpa merasakan sebuah perasaan yang semakin menguat—bahwa, apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi semuanya bersama.