: Sebuah Perjalanan Baru
Dua tahun berlalu sejak pernikahan antara Robert dan Ratu
Sam sendiri baru saja menikah dengan Ulpa. Pernikahan Sam dan Ulpa bukanlah awal yang penuh gairah, melainkan awal dari serangkaian tanggung jawab yang harus ia jalani.
Malam pertama setelah mereka resmi menikah, Sam duduk diam di kamar, sementara Ulpa sibuk merapikan barang-barangnya. Tidak ada kata-kata romantis, tidak ada kecanggungan yang biasanya terjadi antara pasangan baru. Seolah-olah mereka hanya melanjutkan kebiasaan lama—Ulpa tetap berbicara dengan nada yang sama seperti sebelumnya, dan Sam hanya mendengarkan, sesekali menjawab.
Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam hati Sam.
Sejak kecil, ia selalu membayangkan pernikahan sebagai sesuatu yang alami, sesuatu yang penuh dengan kehangatan dan ketenangan. Tapi sekarang, setelah benar-benar mengalaminya, ia sadar bahwa pernikahan bukan hanya tentang perasaan—tetapi juga tentang tanggung jawab, kompromi, dan memenuhi harapan orang-orang di sekelilingnya.
Di sisi lain, keluarganya bahagia.
Ibunya sering mengiriminya pesan, menanyakan bagaimana kehidupan barunya. Ayahnya tampak puas, percaya bahwa putranya telah mengambil langkah yang benar dalam hidupnya. Bahkan saudara-saudaranya selalu memberi nasihat yang, meskipun terasa klise, tetap terdengar tulus.
"Jangan buat istrimu menangis, Sam."
"Rumah tangga itu seperti kapal, harus ada yang mengendalikan."
Mereka semua berbicara dengan nada yang riang, percaya bahwa pernikahan Sam adalah awal dari kebahagiaan yang nyata.
Namun, di dalam dirinya, Sam merasa ada sesuatu yang belum ia temukan.
Ulpa adalah istri yang baik—meskipun sering menuntut dan blak-blakan, ia tetap berusaha membangun rumah tangga bersama. Tapi bagi Sam, ada bagian dari dirinya yang masih merasa bahwa semua ini terjadi karena pilihan yang harus diambil, bukan karena sesuatu yang tumbuh secara alami.
Namun, ia tidak pernah mengungkapkan perasaan itu.
Ia tahu, jika ia mengatakannya, itu hanya akan membuat segalanya menjadi lebih sulit.
Jadi, Sam memilih diam.
Ia memilih menjalani peran sebagai suami yang baik, seperti yang diharapkan keluarganya, seperti yang diinginkan oleh semua orang.
Karena pada akhirnya, pernikahan adalah perjalanan—dan ia hanya bisa berharap bahwa di sepanjang perjalanan ini, ia akan menemukan makna yang lebih dalam dari sekadar tanggung jawab.
---
Baik, kita akan menambahkan detail tentang tempat tinggal mereka setelah pernikahan dan pekerjaan Sam sebagai petani. Hal ini akan memberikan konteks lebih dalam mengenai kehidupan sehari-hari mereka dan bagaimana lingkungan sekitar memengaruhi hubungan mereka.
---
Setelah menikah, Sam dan Ulpa tinggal di sebuah rumah kecil tak jauh dari rumah orang tua Ulpa. Rumah itu bukanlah rumah mewah, tetapi cukup nyaman untuk mereka berdua. Letaknya berada di pinggiran kota, sedikit lebih tenang dibanding hiruk-pikuk pusat kota, tetapi tetap dekat dengan rumah keluarga Ulpa, yang membuatnya bisa sering berkunjung.
Sam kini bekerja sebagai petani, meneruskan apa yang sudah ia kenal sejak kecil. Hidupnya masih berkutat dengan tanah, sawah, dan musim tanam. Setiap pagi sebelum matahari naik, ia sudah berangkat ke ladang, merawat tanaman, mencangkul, dan memastikan panennya berjalan baik.
Ulpa, yang terbiasa dengan kehidupan yang lebih nyaman di rumah orang tuanya, sering kali mengeluh tentang rutinitas Sam. Baginya, pekerjaan itu melelahkan dan terasa jauh dari kehidupan yang ia bayangkan.
"Aku tidak keberatan kau jadi petani," kata Ulpa suatu hari, duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke jalan kecil. "Tapi aku ingin kau juga berpikir lebih jauh. Apa kau akan bertani seperti ini selamanya?"
Sam, yang baru saja pulang dengan keringat masih membasahi lehernya, hanya tersenyum tipis. "Kita butuh makan, Ulpa. Ladang ini adalah yang memberi kita makan."
Ulpa mendesah, melipat tangannya. "Aku tahu. Aku hanya ingin lebih."
Sam tidak menjawab. Ia paham bahwa Ulpa memiliki ambisi yang besar. Sejak dulu, ia ingin hidup lebih baik, lebih stabil, dan lebih dari sekadar bertahan. Namun, bagi Sam, bertani bukan hanya tentang mencari nafkah—itu adalah bagian dari hidupnya, bagian dari identitasnya.
Mereka sering melewati percakapan seperti ini. Kadang berakhir dengan diam, kadang dengan Ulpa yang kesal, kadang dengan Sam yang mencoba menenangkan.
Meskipun begitu, dalam keseharian mereka, ada juga momen-momen bahagia. Ulpa tetaplah Ulpa—meskipun sering menuntut, ia juga memiliki sisi lembutnya sendiri. Ia masih dengan spontan bercerita banyak hal pada Sam, meskipun kadang lebih banyak mengeluh.
Dan Sam, seperti biasanya, mendengarkan.
Hidup mereka setelah pernikahan adalah keseimbangan antara cinta, tuntutan, dan kompromi.
Di satu sisi, Sam ingin menjalani perannya sebagai suami yang baik, sebagai seorang petani yang bangga dengan pekerjaannya. Di sisi lain, Ulpa memiliki harapan yang lebih tinggi, ingin sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan yang mereka jalani saat ini.
Tapi di tengah semua itu, mereka tetap bersama.
Karena itulah pernikahan—sebuah perjalanan, dengan jalan yang mungkin tidak selalu lurus, tetapi harus tetap dilalui bersama.
---
: Takdir yang Mengikat
Pagi di rumah Sam dan Ulpa selalu diawali dengan rutinitas yang sama. Sam bangun lebih awal, mencuci muka dengan air sumur, lalu bersiap ke ladang. Ulpa biasanya bangun sedikit lebih siang, menyiapkan sarapan sebelum Sam berangkat.
Meskipun sering mengeluh tentang pekerjaan Sam, Ulpa tetap memastikan suaminya makan dengan benar sebelum pergi.
"Jangan terlalu lama di sawah," katanya suatu pagi, menyodorkan sepiring nasi dan telur dadar. "Kalau hujan turun, pulang saja."
Sam menerima piring itu dengan senyum. "Baik, Bu."
Ulpa memutar bola matanya. "Jangan bercanda."
Sam hanya terkekeh pelan. Ia tahu Ulpa kadang berbicara dengan nada ketus, tetapi ada perhatian di baliknya.
Namun, tak semua pagi mereka berjalan semulus itu. Ada hari-hari di mana percakapan berubah menjadi perdebatan kecil.
"Ayah bilang kau seharusnya mulai mencari cara lain untuk menambah penghasilan," kata Ulpa pada suatu malam, saat mereka duduk di ruang tengah yang sederhana.
Sam meletakkan cangkir tehnya. "Aku sudah bertani sejak kecil, Ulpa. Itu yang aku bisa."
"Ya, tapi tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru," desaknya. "Mungkin membuka usaha kecil atau mencari pekerjaan tambahan."
Sam menghela napas. "Aku tidak tahu, Ulpa. Bertani adalah sesuatu yang biasa kulakukan. Aku sudah terbiasa. Kalau harus kerja dengan orang lain… aku tidak yakin."
Ulpa mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak yakin?"
Sam menatap kosong ke cangkir tehnya. "Aku bukan tipe orang yang pandai beradaptasi dengan cepat. Aku tidak pandai berbicara atau menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Kalau bertani, aku hanya perlu bekerja dan tidak banyak berurusan dengan orang lain."
Ulpa menatapnya, sedikit frustrasi. "Jadi, kau lebih memilih diam di tempat hanya karena takut keluar dari zona nyamanmu?"
Sam terdiam. Mungkin memang begitu. Ia tidak pernah berpikir untuk mencari pekerjaan lain bukan karena ia mencintai bertani, tetapi lebih karena ia tidak tahu harus melakukan apa lagi. Dunia luar terasa terlalu rumit baginya.
"Aku hanya..." Sam menarik napas dalam. "Aku hanya tidak tahu apa yang bisa kulakukan selain ini."
Ulpa menghela napas panjang. "Sam, kau punya ijazah kuliah. Kau bisa mencari pekerjaan lain."
Sam tersenyum kecil, meskipun terdengar lelah. "Mungkin. Tapi aku tidak yakin bisa bekerja dengan orang lain. Aku tidak seperti dirimu yang mudah berbicara dan mengutarakan pendapat."
Ulpa menggeleng. "Itu hanya alasan, Sam."
Hari-hari berlalu, dan kehidupan mereka terus berjalan dalam pola yang sama. Ada saat-saat bahagia, ada saat-saat penuh ketegangan.
Sampai suatu malam, ketika Sam pulang lebih lambat dari biasanya, Ulpa mulai merasa resah.
Ia duduk di teras, menatap jalanan yang mulai gelap. Lampu di rumah-rumah tetangga sudah mulai menyala, tetapi belum ada tanda-tanda Sam akan pulang.
Saat akhirnya Sam tiba, dengan pakaian yang sedikit kotor karena lumpur, Ulpa langsung menyambutnya dengan tatapan tajam.
"Kenapa lama sekali?" tanyanya.
Sam menghela napas, lalu duduk di bangku kayu. "Ada masalah di sawah. Salah satu saluran air tersumbat, aku harus memperbaikinya dulu."
Ulpa melipat tangannya. "Setidaknya kau bisa memberi tahu aku lebih dulu."
Sam menatapnya. "Kau khawatir?"
Ulpa mendengus. "Tentu saja aku khawatir. Aku tidak mau tiba-tiba mendapat kabar buruk tentang suamiku."
Sam tersenyum kecil, meskipun tubuhnya terasa lelah. "Maaf, aku akan lebih hati-hati nanti."
Ulpa tidak menjawab, tetapi ia beranjak masuk ke dalam rumah, lalu kembali dengan semangkuk air hangat dan kain lap.
"Lap dulu tangan dan wajahmu," katanya singkat, menyerahkan kain itu.
Sam menerimanya tanpa berkata apa-apa.
Di balik semua tuntutan dan keluhan, ada perhatian yang terselip dalam setiap tindakan Ulpa.
Dan meskipun Sam tidak selalu bisa memahami sepenuhnya apa yang ada dalam pikiran istrinya, ia tahu bahwa Ulpa tetaplah seseorang yang menginginkannya ada di sisinya.
Malam itu, ketika mereka berdua duduk di teras dalam diam, angin sepoi-sepoi bertiup pelan.
Kehidupan mereka mungkin tidak sempurna, tetapi mereka tetap berjalan bersama.
Untuk sekarang, itu sudah cukup.
---