Chereads / Diary Sang Pemangsa / Chapter 13 - Kota yang Terkutuk

Chapter 13 - Kota yang Terkutuk

Saat kelompok Karla mendekati gerbang kota, cahaya merah yang terlihat dari kejauhan kini menyelimuti mereka sepenuhnya. Kota itu, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan terakhir bagi manusia, kini berubah menjadi sesuatu yang asing dan menyeramkan. Bangunan-bangunan menjulang tinggi di bawah langit yang kini gelap dengan semburat merah. Udara terasa berat, seperti ada sesuatu yang tidak kasat mata menekan setiap langkah mereka.

Raka berjalan di samping Karla, mengamati keadaan sekeliling dengan cemas. "Ini bukan kota yang sama seperti dulu," gumamnya.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Nara, menahan napas saat melihat jalanan yang kosong dan sunyi. Tidak ada suara manusia, hanya bisikan angin yang terdengar seperti desisan makhluk tak kasat mata.

Karla memperhatikan bahwa dinding kota dipenuhi dengan simbol-simbol aneh yang memancarkan cahaya samar. Itu bukan simbol manusia—mereka terlihat seperti sesuatu yang berasal dari kegelapan.

"Kita harus berhati-hati," kata Karla, suaranya hampir seperti bisikan. "Aku bisa merasakan energi yang sama seperti makhluk-makhluk bayangan itu. Ini jebakan."

Raka mengangguk, tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Kalau ini jebakan, kenapa kita tetap masuk?"

Karla menoleh padanya dengan mata penuh tekad. "Karena jika kita tidak masuk, tidak ada yang akan tahu apa yang terjadi di sini. Dan jika kota ini benar-benar jatuh ke tangan mereka, kita tidak akan punya tempat untuk berlindung lagi."

Raka hanya bisa mengangguk, meskipun kekhawatiran tetap tergambar jelas di wajahnya.

Saat mereka berjalan lebih dalam ke dalam kota, mereka mulai menemukan tanda-tanda bahwa sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Ada bekas pertempuran di jalanan—senjata yang berserakan, darah yang mengering di dinding, tetapi tidak ada tubuh. Semuanya menghilang, seperti diserap oleh sesuatu.

"Ke mana semua orang pergi?" tanya Nara, suaranya bergetar.

Karla tidak menjawab. Dia tahu bahwa jawaban dari pertanyaan itu mungkin lebih buruk dari yang bisa mereka bayangkan.

Ketika mereka mencapai alun-alun utama, mereka akhirnya melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku. Di tengah alun-alun, berdiri sebuah monumen baru—sebuah pilar besar yang terbuat dari batu hitam, dikelilingi oleh lingkaran simbol bercahaya merah. Di puncak pilar itu, ada sebuah bola energi yang berdenyut seperti jantung, memancarkan cahaya merah yang mereka lihat dari kejauhan.

"Itu sumbernya," kata Karla dengan suara pelan.

Namun sebelum mereka bisa mendekat, suara tawa dingin menggema di udara, membuat mereka semua menghentikan langkah.

"Ah, akhirnya kau datang, Karla."

Karla langsung mengenali suara itu. Dia memutar tubuhnya dengan cepat, dan di sana, berdiri di atas atap salah satu bangunan, adalah sosok gelap yang telah menghantui pikirannya. Pria berjubah hitam itu menatap mereka dengan senyuman licik, matanya bersinar merah di bawah tudungnya.

"Kau benar-benar keras kepala," lanjut pria itu sambil melompat turun dengan anggun, mendarat hanya beberapa meter dari Karla. "Aku sudah memberimu kesempatan untuk mundur, tetapi kau selalu memilih jalan yang sulit."

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Karla dengan nada penuh amarah.

Pria itu tertawa kecil. "Kau masih tidak mengerti, bukan? Ini adalah akhir dari segalanya, Karla. Kota ini adalah simbol terakhir dari perlawanan kalian, dan sekarang, itu adalah milikku. Dari sini, kegelapan akan menyebar, menelan dunia ini sedikit demi sedikit. Dan kau tidak bisa menghentikanku."

"Kita lihat saja," balas Karla, melepaskan semburan cahaya dari tangannya.

Namun sebelum serangan itu bisa mencapai pria itu, dia mengangkat satu tangan, dan semburan cahaya itu langsung terserap oleh simbol-simbol di sekitarnya.

"Cahaya itu tidak akan bekerja di sini," kata pria itu sambil tersenyum dingin. "Ini adalah tempat di mana kegelapan berkuasa. Dan kau... kau hanya akan memperburuk keadaan jika terus melawan."

Karla mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarahnya. "Aku tidak peduli seberapa kuat kegelapanmu. Aku akan menemukan cara untuk menghancurkanmu."

Pria itu menghela napas, seolah-olah merasa bosan. "Kau tidak mengerti, Karla. Kegelapan itu bukan milikku. Itu milikmu."

Sebelum Karla bisa menjawab, pria itu mengangkat kedua tangannya, dan tiba-tiba makhluk-makhluk bayangan mulai bermunculan dari tanah, mengelilingi mereka.

"Kau pikir kau bisa menyelamatkan dunia ini, tetapi kau bahkan tidak bisa menyelamatkan dirimu sendiri. Aku akan memberimu satu kesempatan terakhir, Karla. Terima kegelapan itu. Biarkan dirimu menjadi bagian darinya, dan aku akan membiarkan teman-temanmu hidup."

"Kau tahu aku tidak akan pernah melakukan itu," jawab Karla dengan tegas.

"Sayang sekali," kata pria itu, suaranya penuh dengan kepalsuan. "Kalau begitu, bersiaplah untuk menghadapi takdirmu."

Makhluk-makhluk bayangan itu mulai menyerang, dan pertempuran pun dimulai. Karla dan kelompoknya bertarung mati-matian, tetapi mereka segera menyadari bahwa makhluk-makhluk itu jauh lebih kuat daripada yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

Karla mencoba menggunakan kekuatannya, tetapi setiap kali dia melepaskan cahaya, itu terasa seperti menarik sesuatu dari dalam dirinya. Dia mulai merasa lemah, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa menyerah.

Di tengah pertempuran, pria itu hanya berdiri diam, mengamati dengan senyuman licik di wajahnya.

"Kau tidak akan pernah menang, Karla," katanya pelan, tetapi suaranya terdengar jelas di telinga Karla. "Kegelapan itu sudah ada di dalam dirimu, dan semakin lama kau melawannya, semakin kuat ia akan menjadi."

Karla tidak menjawab. Dia memfokuskan seluruh energinya untuk menciptakan ledakan cahaya yang besar, menghancurkan sebagian besar makhluk bayangan di sekitarnya. Tapi itu tidak cukup. Pria itu masih berdiri di sana, tidak terpengaruh sama sekali.

"Kita tidak bisa menang di sini!" teriak Raka dari kejauhan.

Karla tahu bahwa dia benar, tetapi dia tidak bisa membiarkan pria itu menang. Dia harus menemukan cara untuk mengalahkannya, meskipun itu berarti mengorbankan segalanya.

Dengan napas berat, dia menatap pria itu dan berkata, "Ini belum selesai."

Pria itu hanya tertawa. "Kau benar. Ini baru permulaan."

Karla berdiri tegap di tengah hiruk-pikuk pertempuran. Tangan kanannya masih memancarkan cahaya redup, sementara tubuhnya hampir kehilangan seluruh energinya. Dia merasakan kegelapan itu, bukan hanya di sekitar kota, tetapi juga merayap di dalam dirinya, mencoba merenggut setiap sisa tekad yang dia miliki.

Makhluk-makhluk bayangan itu terus berdatangan, seperti gelombang tak berujung. Meskipun anggota kelompoknya bertarung dengan keberanian luar biasa, Karla tahu mereka sedang kalah. Tubuh-tubuh mereka lelah, kekuatan mereka semakin terkuras, dan musuh terus bertambah.

"Ini gila!" teriak Raka sambil memotong salah satu makhluk bayangan. "Karla, kita harus mundur! Kita tidak akan bertahan jika ini terus seperti ini!"

Karla menggigit bibirnya. Dia tahu Raka benar, tetapi setiap langkah mundur terasa seperti kekalahan yang tidak dapat diterima. Di dalam dirinya, ada suara yang memohon untuk tetap bertahan, untuk melawan apa pun yang terjadi. Namun, dia juga tahu bahwa ini bukan hanya tentang dirinya.

"Semua orang, mundur ke arah gerbang!" perintah Karla dengan suara lantang.

Raka terkejut mendengar perintah itu, tetapi dia tidak membantah. Dia segera mengarahkan anggota kelompok lain untuk bergerak ke arah yang dimaksud.

"Karla, ayo!" panggilnya ketika melihat Karla tetap berdiri di tengah alun-alun.

"Aku akan menyusul! Pastikan semua orang keluar!" balas Karla, matanya terpaku pada pria berjubah hitam yang masih berdiri di dekat pilar hitam itu.

Pria itu tersenyum tipis, seolah-olah menikmati momen itu. "Kau benar-benar keras kepala, Karla. Apa kau benar-benar berpikir bisa mengalahkanku?"

Karla tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia memfokuskan seluruh kekuatannya untuk menciptakan serangan terakhir. Cahaya putih terang mulai berkumpul di tangannya, memancarkan panas yang bahkan dia sendiri hampir tidak bisa tahan.

Pria itu memiringkan kepalanya, terlihat sedikit penasaran. "Oh? Jadi, kau masih punya kekuatan untuk mencoba? Menarik."

"Diam!" teriak Karla, melepaskan ledakan cahaya ke arah pria itu.

Ledakan itu meluncur cepat, menerangi seluruh alun-alun, dan untuk sesaat, Karla merasa bahwa dia mungkin berhasil. Namun, ketika cahaya itu mencapai pria berjubah hitam, simbol-simbol di tanah bersinar terang, menciptakan perisai energi yang menyerap serangan itu sepenuhnya.

Karla tersentak. Serangannya, yang telah menghabiskan hampir seluruh kekuatannya, tidak memiliki dampak sama sekali.

"Kau tidak bisa menang di sini, Karla," kata pria itu dengan nada datar. "Tempat ini adalah milik kegelapan. Setiap seranganmu hanya akan memperkuatku."

Karla terhuyung ke belakang, tubuhnya gemetar karena kelelahan. Pria itu mulai berjalan mendekatinya, dan setiap langkahnya terdengar seperti dentuman yang menghantam kepercayaan diri Karla.

"Sudah kubilang, kau tidak bisa melawan takdirmu," lanjutnya. "Semakin kau melawan, semakin dalam kau akan tenggelam."

Namun, sebelum pria itu bisa mendekati Karla lebih jauh, sebuah ledakan kecil terjadi di sisi kiri alun-alun. Raka muncul dari balik reruntuhan, menembakkan panah bercahaya ke arah pria itu.

"Sentuh dia, dan aku akan memastikan ini menjadi hari terakhirmu!" serunya.

Pria berjubah hitam itu hanya tertawa kecil. "Bagaimana menyentuhnya bisa jadi hari terakhirku? Kau hanyalah gangguan kecil."

Namun, serangan Raka itu berhasil memberi Karla waktu untuk berdiri kembali. Dia mengumpulkan napasnya, menatap Raka dengan rasa terima kasih yang dalam.

"Kita harus pergi sekarang!" kata Raka.

Karla mengangguk meski berat. Mereka tidak bisa memenangkan pertempuran ini—setidaknya, tidak hari ini.

Dengan susah payah, mereka berdua melarikan diri dari alun-alun, bergabung dengan anggota kelompok lainnya yang sudah berada di luar gerbang kota. Makhluk-makhluk bayangan itu tidak mengejar mereka, seolah-olah ada perintah yang menahan mereka di dalam batasan kota.

Ketika mereka akhirnya mencapai tempat yang cukup jauh dari kota, mereka berhenti untuk beristirahat. Karla terjatuh ke tanah, tubuhnya benar-benar kelelahan. Raka segera menghampirinya, membantu agar dia tetap duduk tegak.

"Apa yang kau pikirkan tadi?" tanya Raka dengan nada marah. "Kau hampir mati di sana!"

"Aku tidak bisa membiarkan mereka menang," jawab Karla dengan suara lemah. "Kota itu... kita harus merebutnya kembali. Itu adalah harapan terakhir kita."

"Karla," kata Raka dengan nada lebih lembut, "kita tidak bisa melawan mereka sendirian. Kita butuh rencana. Dan sebelum itu, kita butuh istirahat."

Karla tidak menjawab. Dia tahu Raka benar, tetapi dia juga tahu bahwa waktu mereka semakin sedikit. Cahaya merah yang memancar dari kota itu menjadi simbol dari kegelapan yang semakin kuat.

Saat mereka semua duduk dalam keheningan, Nara mendekati mereka dengan wajah serius. "Karla, aku menemukan sesuatu."

"Apa itu?" tanya Karla.

Nara mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. Itu adalah buku yang dia temukan di salah satu rumah kosong di kota tadi.

"Buku ini... sepertinya berisi catatan tentang kota itu. Tentang apa yang sebenarnya terjadi," jelas Nara.

Karla meraih buku itu dengan tangan gemetar. Ketika dia membukanya, dia menemukan halaman-halaman yang dipenuhi dengan tulisan tangan yang tergesa-gesa. Sebagian besar isinya sulit dimengerti, tetapi satu kalimat mencuri perhatiannya.

"Kegelapan ini tidak datang dari luar. Ia datang dari dalam."

Karla menatap kata-kata itu dengan hati yang berat. Dia tahu bahwa jawaban atas semua ini ada di sana, di dalam kegelapan yang dia coba hindari selama ini.

"Apa pun yang terjadi, kita harus kembali ke kota itu," katanya akhirnya, suaranya penuh tekad.

Raka menatapnya dengan cemas. "Karla, kau tidak bisa—"

"Aku harus," potong Karla. "Kegelapan ini bukan hanya tentang kota itu. Ini tentang aku. Dan jika aku tidak menghadapi ini sekarang, kita semua akan hancur."

Raka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia tahu bahwa Karla telah mengambil keputusan, dan tidak ada yang bisa mengubah pikirannya.