Setelah melarikan diri dari gua yang runtuh, Karla, Raka, dan Nara berdiri di luar, di bawah langit malam yang gelap. Kegelapan itu seakan tak pernah benar-benar hilang, meski bola hitam yang mereka hancurkan sudah tidak ada lagi. Ada sesuatu yang tetap menggantung di udara—sebuah ketegangan yang tak dapat dijelaskan, seperti ancaman yang lebih besar sedang mengintai.
"Kita berhasil, tapi ada sesuatu yang salah," Raka berkata, menghela napas berat. "Kenapa rasanya seperti ini baru permulaan?"
Karla menatap langit yang gelap. Tiga bulan pertempuran ini sudah menuntut banyak dari mereka, dan walaupun mereka berhasil mengalahkan kekuatan kegelapan di gua itu, rasanya kemenangan mereka terasa hampa. Seolah dunia ini, dengan segala kehancuran yang telah terjadi, sedang menunggu sesuatu yang lebih buruk.
"Kita belum mengerti sepenuhnya," kata Karla dengan tenang. "Kegelapan yang kita hadapi itu bukan sekadar kekuatan fisik. Itu adalah manifestasi dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang ada di luar kendali kita."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Nara, suaranya penuh dengan keputusasaan. "Jika kita tidak bisa menghancurkannya dengan cara biasa, bagaimana kita bisa menghentikan semua ini?"
Karla memejamkan matanya, berusaha merasakan aliran energi yang kini mengalir melalui tubuhnya. Cahaya yang sebelumnya pernah terasa begitu murni kini terasa penuh dengan keraguan. Sebuah ketakutan yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Ia merasakan sesuatu yang jauh lebih besar sedang menunggu mereka.
"Aku tidak tahu," kata Karla akhirnya, dengan suara lirih. "Tapi kita harus mencari jawaban itu. Kita tidak bisa mundur sekarang."
Raka menepuk bahunya, mencoba memberi sedikit kenyamanan. "Kami bersamamu, Karla. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama."
Karla mengangguk, mencoba menarik kekuatan dari kata-kata Raka. Mereka melangkah lebih jauh, mengikuti jejak yang tak tampak namun mereka rasakan, menuju tempat yang mereka yakini akan memberi petunjuk lebih banyak tentang apa yang sedang terjadi.
Malam itu semakin larut, dan hutan yang mereka lewati tampak semakin gelap. Tidak ada suara kecuali desiran angin yang berhembus, menggerakkan daun-daun pohon yang tampak seperti bayangan raksasa. Mereka merasa bahwa dunia di sekitar mereka tidak lagi biasa. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti memecahkan keheningan yang hampir mati.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah lembah yang luas. Di tengah lembah itu, sebuah batu besar menjulang tinggi, mirip dengan batu yang mereka temui di gua sebelumnya, tetapi jauh lebih besar dan lebih mengerikan. Batu itu memancarkan cahaya yang sangat samar, sebuah cahaya biru yang tampak seperti kebekuan, sesuatu yang tak bisa diterima oleh dunia yang dikenal.
"Ini... ini tidak bisa terjadi," Karla berbisik, menatap batu itu dengan penuh keheranan. "Ini adalah pusat dari segalanya."
Di bawah batu itu, sebuah pintu besar terbuka. Pintu itu tampak seperti gerbang yang mengarah ke tempat yang sangat dalam, ke ruang yang tersembunyi jauh di bawah bumi.
"Kita harus masuk," kata Karla, meskipun ada rasa ngeri di hatinya. "Ini mungkin satu-satunya cara untuk memahaminya."
Raka dan Nara tidak mengatakan apa-apa, hanya mengikuti Karla yang sudah melangkah maju, memasuki pintu yang terbuka lebar itu. Begitu mereka melangkah ke dalam, mereka disambut oleh kegelapan yang jauh lebih dalam dari yang pernah mereka alami.
Mereka berkeliling, mencoba untuk menemukan sesuatu yang bisa memberi petunjuk lebih lanjut. Namun yang mereka temukan bukanlah jalan keluar, melainkan sebuah ruangan besar dengan dinding yang dipenuhi simbol-simbol kuno. Karla merasa tubuhnya tergetar ketika dia memandang dinding itu. Simbol-simbol itu sangat familiar—seperti yang pernah dia lihat dalam mimpi yang penuh tanda tanya.
"Apa ini?" Nara bertanya, suaranya gemetar.
Karla merasakan kehadiran yang kuat di ruangan itu—sesuatu yang tak terlihat, namun sangat nyata. "Ini adalah tempat yang menghubungkan dunia ini dengan yang lainnya. Ini adalah sumber dari kegelapan yang kita hadapi."
Tiba-tiba, di tengah ruangan itu muncul sosok yang menjulang tinggi. Sosok itu terbungkus dalam bayangan yang tampak hidup, seperti gelombang energi yang terus berubah bentuk. Tidak ada wajah yang terlihat, hanya bayangan yang bergerak.
"Akhirnya kalian sampai juga," suara itu terdengar, seperti bisikan yang datang dari segala arah. "Aku sudah menunggu lama untuk kalian."
Karla tidak bisa bergerak, namun dia tahu bahwa dia harus bertindak. Sesuatu dalam dirinya, yang lebih kuat dari ketakutan, memotivasi langkahnya. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan?"
Sosok itu tertawa, suara yang menggetarkan seluruh ruangan. "Aku adalah kegelapan yang mengalir di setiap pori dunia ini. Aku adalah yang pertama, dan akan menjadi yang terakhir. Kalian hanyalah bagian dari takdir yang lebih besar."
"Apa yang kau inginkan dariku?" Karla menuntut, suaranya bergetar namun tegas.
"Kau adalah kunci," suara itu menjawab dengan penuh rasa percaya diri. "Cahaya yang kau miliki adalah ancaman terbesar bagiku. Aku akan mengambil semuanya darimu, dan dunia ini akan kembali pada asalnya."
Karla merasakan ketegangan dalam dirinya meningkat. Cahaya dalam tubuhnya bergetar hebat, seolah-olah ada perang besar yang sedang berlangsung antara dirinya dan kekuatan yang tak terlihat itu. "Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu."
Sosok itu tertawa lagi, suara yang begitu keras, hingga dinding ruangan itu seakan bergetar. "Kau tidak bisa menghentikanku. Kegelapan ada di dalam dirimu sendiri. Kau hanya mengingkari kenyataan."
Dengan satu gerakan cepat, sosok itu mengulurkan tangannya, mengirimkan gelombang energi yang gelap ke arah Karla. Namun, Karla tidak mundur. Dengan kekuatan yang masih ada di dalam dirinya, dia menangkis serangan itu, memancarkan cahaya yang semakin kuat.
"Cahaya bukan hanya tentang terang," Karla berkata dengan tekad yang baru. "Cahaya adalah harapan. Dan aku tidak akan menyerah."
Dengan perasaan yang lebih kuat daripada sebelumnya, Karla mengarahkan energi cahayanya langsung ke sosok itu. Cahaya itu bertabrakan dengan bayangan, menciptakan ledakan besar yang menggetarkan seluruh ruangan.
Namun, sosok itu hanya tersenyum gelap. "Kalian masih terlalu lemah."
Bahkan dengan segala kekuatan yang mereka miliki, mereka tidak dapat mengalahkan sosok ini begitu saja. Karla merasakan hal itu dengan jelas. Namun satu hal yang pasti, mereka tidak akan berhenti berjuang.
"Ini baru permulaan," Karla berkata dalam hati. "Kita harus menemukan cara untuk menghentikannya—sebelum semuanya terlambat."
Sosok yang mengancam mereka itu masih berdiri di tengah ruangan, meskipun Karla telah melancarkan serangan cahayanya dengan segenap kekuatan yang ia miliki. Ruangan itu bergetar hebat, namun sosok itu tetap kokoh, seperti batu yang tak bisa dihancurkan. Karla merasakan tubuhnya mulai lemah setelah serangan yang dilancarkannya, namun ia berusaha keras untuk tetap berdiri.
"Cahaya... harapanmu tidak akan bertahan lama," suara sosok itu menggema di seluruh ruangan. "Kau hanya memperlambat kehancuran yang sudah pasti."
Raka dan Nara, yang berdiri di belakang Karla, saling berpandangan. Mereka tahu, meskipun mereka sudah berjuang sekuat tenaga, kekuatan yang mereka hadapi kali ini jauh lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Nara, suaranya penuh keputusasaan.
Karla tidak menjawab langsung. Matanya masih terfokus pada sosok itu yang tampaknya tidak tergoyahkan. Tetapi di dalam hatinya, ada perasaan yang semakin kuat—perasaan bahwa mereka harus mencari cara lain. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan fisik semata. Mereka perlu menemukan inti dari kegelapan ini, sumber dari segala kejahatan yang telah menguasai dunia mereka.
"Jangan menyerah," kata Karla dengan suara rendah namun penuh keyakinan. "Kita belum kalah. Ini adalah tentang lebih dari sekadar pertempuran fisik. Ini tentang mengerti apa yang kita lawan."
Sosok itu tertawa lagi, tawa yang begitu dalam dan mengerikan. "Mengerti? Apakah kalian berpikir bisa mengerti kegelapan yang ada di dalam dunia ini? Kegelapan ini adalah bagian dari keberadaan kalian. Kalian lahir untuk menghancurkan diri sendiri."
Raka mendekat, matanya penuh kemarahan. "Kami bukanlah bagian dari kehancuranmu. Kami lebih dari itu. Kami adalah cahaya yang akan mengusirmu!"
Dengan kata-kata itu, Raka melangkah maju dan menambah energi ke dalam serangannya. Meskipun ia tidak memiliki kekuatan sekuat Karla, keberaniannya untuk melawan adalah senjata yang tak ternilai. Namun, ketika ia melancarkan serangan, sosok itu dengan mudah menghindar, dan tiba-tiba muncul sebuah dinding gelap yang menahan serangan mereka.
"Kalian tidak mengerti," suara itu berkata dengan lebih lembut, namun terasa jauh lebih menakutkan. "Aku bukan musuh kalian. Aku adalah bagian dari dunia ini. Aku adalah alam yang lebih tua dari kalian. Setiap seranganmu, setiap usaha kalian untuk melawan, hanya mempercepat kehancuran dunia ini."
Karla menggigit bibirnya, tidak bisa menahan amarah yang mulai tumbuh dalam dirinya. "Jika itu yang kau inginkan, maka kami akan menghentikanmu. Tidak peduli betapa kuatnya kau."
Tiba-tiba, sosok itu bergerak cepat, lebih cepat dari yang bisa mereka bayangkan. Dalam sekejap, ia berada tepat di depan Karla, matanya yang tidak terlihat menatapnya dengan intens.
"Lihatlah dirimu, Karla," katanya dengan suara dalam. "Apa yang kau percayai adalah kunci untuk menghancurkan dirimu sendiri. Kegelapan dalam dirimu, dalam hati setiap manusia, adalah kekuatan terbesar yang ada. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk merasakannya."
Karla merasakan hatinya berdebar kencang. Ada sesuatu yang sangat mengerikan dalam kata-kata itu—sesuatu yang mengancam lebih dari sekadar tubuhnya, tetapi juga keyakinannya.
Namun, ia tahu satu hal: jika dia ragu, maka kegelapan ini akan menang. Dengan tekad yang semakin membara, ia mengumpulkan semua kekuatannya, mengalirkan cahaya yang ada di dalam dirinya.
"Tapi aku tidak akan pernah menyerah," Karla berkata, suaranya semakin lantang. "Cahaya dalam diriku adalah milikku. Dan aku tidak akan membiarkanmu mengambilnya."
Dengan sekali gerakan, Karla melepaskan kekuatan terbesarnya, memancarkan cahaya yang lebih terang dari apapun yang pernah dia keluarkan. Cahaya itu melesat ke arah sosok tersebut, dan untuk pertama kalinya, sosok itu tampak terhuyung mundur. Namun, sosok itu hanya tersenyum, senyum yang penuh kebencian dan keangkuhan.
"Percayalah," kata sosok itu. "Tidak ada cahaya yang bisa melawan kegelapan sejati."
Dengan sekejap, sosok itu mengeluarkan gelombang energi hitam yang begitu kuat, melemparkan Karla dan yang lainnya ke belakang. Karla merasakan tubuhnya tersentak, tetapi dia tidak bisa membiarkan dirinya jatuh. Ia tahu bahwa jika ia berhenti sekarang, maka segala perjuangan mereka akan sia-sia.
Sosok itu melangkah lebih dekat, menghampiri mereka yang terjatuh. "Kalian tidak memahami. Aku tidak perlu berjuang untuk menang. Aku sudah ada di sini sejak awal. Kegelapan bukan musuh. Kegelapan adalah kebenaran yang tak bisa ditolak."
Karla menggigit bibirnya, berusaha untuk bangkit. "Kebenaranmu tidak sama dengan kebenaran kami. Kami akan melawan."
Namun, sosok itu tampak tidak terpengaruh. Karla merasakan energi dalam dirinya mulai habis, tubuhnya terasa sangat lelah. Ia tahu bahwa mereka membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan fisik untuk mengalahkan kegelapan ini.
"Raka, Nara!" Karla berteriak, memanggil teman-temannya yang terjatuh. "Bantu aku! Kita harus menemukan cara untuk mengalahkan kegelapan ini!"
Raka dan Nara, meskipun tubuh mereka lelah, bangkit kembali. Mereka berlari menuju Karla, menyatukan kekuatan mereka untuk melawan sosok itu.
"Jika kita bersatu, kita bisa mengalahkanmu," Nara berkata, menatap sosok itu dengan mata yang penuh tekad.
Sosok itu menatap mereka dengan jijik, tetapi ada sedikit ketakutan yang mulai terlihat di matanya. "Kalian masih tidak paham. Kekuatan kalian tidak akan cukup. Kalian bukanlah ancaman. Kalian hanya bagian dari takdir yang tidak bisa diubah."
Karla tahu bahwa kata-kata itu mengandung kebenaran yang sulit diterima. Namun, satu hal yang pasti: mereka tidak akan berhenti berjuang.
"Apa pun yang kau katakan, kami akan terus melawan," Karla menjawab dengan keras. "Karena ada sesuatu yang lebih besar dari ketakutan dan kegelapan. Itu adalah harapan, dan kami akan melindunginya."
Dengan tekad yang semakin kuat, mereka memfokuskan energi mereka sekali lagi, berusaha melawan sosok itu dengan segala yang mereka miliki.
Namun, Karla merasakan sesuatu yang berbeda. Kali ini, saat mereka bersatu, cahaya yang mereka pancarkan terasa lebih kuat, lebih menyatu daripada sebelumnya. Ini bukan hanya cahaya mereka, ini adalah cahaya dunia, cahaya yang lahir dari keberanian dan tekad untuk melawan kegelapan.
Mereka tidak tahu apakah itu akan cukup untuk menghancurkan kegelapan yang mengancam dunia mereka, tapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan menyerah.