Chereads / Diary Sang Pemangsa / Chapter 17 - Gerbang Kegelapan

Chapter 17 - Gerbang Kegelapan

Karla berdiri di tengah gua yang kini telah sepi, hanya ditemani oleh gemericik air yang mengalir di bawah tanah. Kegelapan yang semula mengancam mereka kini telah menghilang, namun perasaan yang ada di dalam hatinya tetap berat. Seperti ada sesuatu yang belum selesai, seperti ada teka-teki yang belum terpecahkan.

Raka berjalan mendekat, matanya tajam menelusuri gua yang kosong. "Kita berhasil, Karla. Bayangan itu sudah kita hancurkan," katanya, suaranya penuh keyakinan. Namun, ada sedikit keraguan yang tersirat dalam nada itu, seolah dia merasakan apa yang Karla rasakan.

Karla menoleh padanya, wajahnya serius. "Aku tahu kita berhasil mengalahkan penjaga itu, tapi kegelapan ini... ini jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Kita mungkin baru saja menginjak permukaan dari sesuatu yang lebih dalam lagi."

Nara, yang juga berdiri di dekat mereka, mengangguk. "Kita belum tahu siapa yang mengendalikan semua ini. Penjaga itu mungkin hanya bagian dari rencana yang lebih besar."

Karla menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Meskipun mereka telah memenangkan pertempuran ini, perjalanan mereka jauh dari selesai. Mimpi buruk ini mungkin baru saja dimulai.

"Kita perlu kembali ke permukaan," kata Karla, matanya menatap peta yang ada di tangannya. "Ada satu tempat yang harus kita kunjungi. Di sanalah kita mungkin menemukan jawaban dari semua ini."

---

Setelah beberapa hari beristirahat dan mempersiapkan perjalanan, mereka kembali menuju kota besar tempat mereka pertama kali bertemu. Karla merasa bahwa jawaban atas segala yang mereka alami mungkin tersembunyi di sana, di tempat yang penuh dengan sejarah dan rahasia yang belum terungkap.

Sesampainya di kota, suasana terasa berbeda. Ada sesuatu yang janggal, sebuah ketegangan yang tak bisa diabaikan. Orang-orang terlihat lebih gelisah, seolah-olah mereka tahu ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang menakutkan. Karla merasakan hal ini dalam setiap langkahnya.

"Karla," Raka memanggilnya, menarik perhatian Karla dari lamunannya. "Lihat itu."

Di depan mereka, sebuah gedung tua yang dulu tampak tak terjamah, kini terlihat lebih gelap. Itu adalah bangunan yang selama ini mereka hindari, tempat yang penuh dengan misteri. Mungkin di situlah jawaban yang mereka cari. Mungkin, di dalam gedung itu, mereka bisa menemukan sumber dari semua kegelapan ini.

Mereka memasuki gedung itu, dipenuhi oleh rasa takut yang semakin menyesakkan. Setiap langkah mereka menggema di dinding-dinding kosong, menambah kesan bahwa mereka berjalan lebih dalam ke dalam labirin kegelapan yang tak terlihat.

"Jangan lengah," Karla berbisik, matanya tajam memindai setiap sudut. "Kegelapan bisa berada di mana saja."

Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari dalam, seolah mengajak mereka untuk masuk lebih dalam. Karla, Raka, dan Nara melangkah maju, menuju sumber suara itu.

Begitu mereka sampai di dalam ruang utama gedung, suasana di sana terasa semakin asing. Ruangan itu penuh dengan buku-buku kuno dan artefak yang tampaknya berusia ribuan tahun. Namun, di tengah ruangan itu, sebuah patung besar berdiri. Patung itu menggambarkan sosok yang menakutkan, dengan mata yang kosong namun memancarkan aura yang sangat kuat.

"Karla," suara Raka terdengar khawatir. "Ada sesuatu yang salah di sini."

Karla merasa jantungnya berdegup kencang. "Kita harus hati-hati. Ini lebih dari sekadar patung biasa. Ada sesuatu yang mengendalikannya."

Tiba-tiba, patung itu bergerak, mengeluarkan suara berderak yang mengerikan. Mata kosongnya mulai menyala merah. Dari dalam patung itu, muncul bayangan gelap yang mengarah ke mereka, membentuk sosok yang menakutkan—lebih besar, lebih kuat dari apapun yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

"Ini bukan hanya tentang kita," suara yang terdengar begitu dalam dan menggelegar bergema di seluruh ruangan. "Ini adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Kalian tidak bisa menghentikan apa yang sudah dimulai."

Karla merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berputar. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan?"

Bayangan itu tertawa, suara yang mengerikan mengguncang seluruh gedung. "Aku adalah kegelapan yang tersembunyi. Aku yang telah lama menunggu saat ini. Dan sekarang, waktunya telah tiba."

Di tengah ketegangan yang mencekam itu, Karla merasakan sesuatu yang lain—sesuatu yang jauh lebih dalam. Sebuah kekuatan yang lebih kuat dari apapun yang dia hadapi. Kekuatan itu berasal dari dalam dirinya, dari cahaya yang selama ini dia pertahankan.

"Cahaya tidak akan pernah mati," Karla berteriak, matanya bersinar terang, menatap bayangan itu dengan penuh tekad. "Kegelapan ini bisa hancur, karena kita lebih kuat dari itu!"

Cahaya yang datang dari dalam dirinya meledak dengan kekuatan yang luar biasa, memancar ke seluruh ruangan. Bayangan itu berteriak kesakitan, berusaha untuk melawan, namun tak bisa. Karla terus mengendalikan cahaya itu, mengarahkannya langsung ke patung yang menjadi sumber kegelapan.

Dengan satu ledakan terang, patung itu hancur berkeping-keping. Bayangan gelap itu terpecah menjadi serpihan-serpihan kegelapan yang menghilang ke udara.

Namun, Karla merasa bahwa ini bukan akhir. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih mengerikan, yang menunggu di luar sana. Kegelapan itu tidak akan pernah benar-benar hilang—mungkin, itu hanya bersembunyi untuk saat ini.

"Kita harus terus maju," kata Karla, suaranya penuh keteguhan. "Ini belum berakhir. Kita belum menang. Kegelapan itu masih ada, dan kita harus menghentikannya sekali dan untuk selamanya."

Karla berdiri di tengah puing-puing patung yang hancur. Udara masih terasa berat, seolah gua itu sendiri pun masih bergema oleh ledakan cahaya yang baru saja terjadi. Meski bayangan itu telah lenyap, ada sesuatu yang berbeda. Karla bisa merasakannya, ada sesuatu yang tersisa—sesuatu yang lebih dalam dari kegelapan yang baru saja mereka hadapi.

"Ini belum selesai," kata Karla pelan, matanya tajam mengamati ruangan yang semakin sunyi. Cahaya dari tangannya mulai meredup, tetapi sinarnya masih cukup untuk menerangi ruang di sekitarnya.

Raka berdiri di sampingnya, ekspresinya penuh tanda tanya. "Karla, apa yang kamu rasakan?"

Karla menatapnya sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Ada sesuatu yang lebih besar yang mengendalikan semua ini. Itu bukan hanya tentang kita, bukan hanya tentang kekuatan yang kita lihat sekarang. Itu lebih dari itu."

Nara yang sejak tadi diam, tiba-tiba maju, matanya juga menunjukkan ketegangan yang sama. "Jadi, kita tidak bisa hanya mengandalkan cahaya ini untuk mengalahkan mereka?"

Karla menggeleng. "Tidak. Cahaya ini hanya sebagian kecil dari apa yang sebenarnya ada di dalam diriku—di dalam diri kita semua. Tapi ada sesuatu yang lebih kuat yang akan kita hadapi. Sesuatu yang mengalir di bawah permukaan, yang akan selalu mencari celah untuk kembali."

Karla bisa merasakan perasaan itu semakin menguat. Dia tahu bahwa ancaman yang lebih besar dari apa yang mereka pikirkan masih menunggu. Mereka baru saja menghancurkan penjaga-penjaga kecil, tetapi yang lebih besar, lebih berbahaya, mungkin masih tersembunyi di balik tirai kegelapan.

"Jadi, apa langkah kita selanjutnya?" tanya Raka dengan nada serius.

Karla menatap kembali peta yang mereka bawa. Ada satu tempat yang tertulis di sana, tempat yang sempat dia abaikan sebelumnya. Namun, saat ini, tempat itu terasa sangat penting. Semakin dia menelusuri peta itu, semakin ia merasa bahwa itulah tujuan mereka—tempat yang terletak di pedalaman sebuah hutan yang jauh, terlindung dari pandangan orang biasa.

"Kita harus pergi ke sana," ujar Karla dengan pasti. "Di sanalah kunci terakhir mungkin tersembunyi. Hanya dengan sampai ke sana kita bisa mengetahui siapa yang benar-benar mengendalikan semua ini."

---

Mereka segera meninggalkan gedung yang kini hanya menyisakan reruntuhan. Perjalanan menuju hutan itu memakan waktu berhari-hari. Setiap malam mereka merasa semakin dekat, namun bayangan kegelisahan tetap membayangi langkah mereka. Karla merasa seperti ada mata yang terus mengawasi mereka, seolah kegelapan itu tidak pernah benar-benar pergi.

Pagi hari ketika mereka tiba di tepian hutan, suasana terasa sangat berbeda. Pohon-pohon tinggi yang menjulang membuat hutan itu tampak misterius, seakan-akan menyembunyikan rahasia-rahasia kelam di dalamnya.

"Tempat ini terasa seperti… perangkap," kata Nara dengan hati-hati.

"Ya," jawab Karla, "tetapi kita tidak punya pilihan. Kita harus menyeberangi hutan ini untuk mencapai tempat yang ditunjukkan peta."

Hutan ini jauh lebih gelap dari hutan-hutan lainnya yang pernah mereka jelajahi. Di sini, meskipun matahari masih terik di luar, cahaya terasa lebih sedikit menembus antara ranting-ranting pohon yang saling bersilangan. Setiap langkah mereka terdengar menggema, dan udara terasa semakin berat.

Saat mereka melangkah lebih dalam, Karla merasa ketegangan itu semakin mendalam. Ada sesuatu di dalam hutan ini—sesuatu yang bergerak dalam bayang-bayang, menyelinap di antara pepohonan. Karla berhenti sejenak, merasakan angin yang berhembus kencang, membawa suara-suara aneh dari jauh.

"Kita tidak sendirian di sini," bisik Karla, matanya menyipit, mencoba mencari tanda-tanda keberadaan apapun yang mungkin mengancam mereka.

"Tunggu," kata Raka, mendekat dan merapatkan jarak. "Ada sesuatu yang tidak beres. Lihat di sana."

Raka menunjuk ke arah sebuah batang pohon besar yang tampak berbeda dari yang lainnya. Ada sesuatu yang tercetak di atasnya, simbol yang terlihat seperti tanda kuno yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Karla mendekat, memandang simbol itu dengan seksama. Ini bukan sekadar tanda biasa. Ini adalah simbol yang sama dengan yang mereka temui di gua, simbol yang menandakan adanya kekuatan yang sangat tua dan gelap.

"Apa yang ini maksudkan?" tanya Nara, memeriksa simbol yang terukir di pohon.

"Ini adalah petunjuk," kata Karla pelan. "Petunjuk untuk melangkah lebih jauh."

Karla bisa merasakan bahwa petunjuk itu membawa mereka lebih dekat kepada kebenaran, meskipun itu berarti mereka harus berhadapan dengan bahaya yang jauh lebih besar. Mereka mulai mengikuti petunjuk itu, yang membawa mereka semakin dalam ke dalam hutan yang gelap.

Hutan itu berubah semakin aneh seiring perjalanan mereka. Pohon-pohon mulai terlihat berbeda, akar-akarnya melilit dan membentuk labirin. Suara-suara aneh mulai terdengar, seakan-akan suara-suara itu berasal dari dalam tanah, menggema di sekitar mereka. Karla bisa merasakan hal itu—suara yang seperti bisikan, yang berusaha mengacaukan pikirannya.

"Jangan dengarkan," kata Karla dengan tegas, menatap teman-temannya. "Itu hanya pikiran-pikiran yang mencoba mengacaukan kita. Fokus pada jalan yang ada di depan."

Namun, semakin mereka berjalan, semakin Karla merasa ada sesuatu yang mengubah realitas di sekitar mereka. Seperti hal-hal menjadi lebih kabur, tidak nyata, dan hanya ilusi. Semuanya terasa begitu dekat, namun begitu jauh.

Di saat yang hampir tidak bisa mereka pahami, mereka tiba di sebuah tempat terbuka di tengah hutan. Di sana, sebuah batu besar berdiri dengan simbol yang sama seperti yang mereka temui sebelumnya. Batu itu terasa seperti pintu yang membawa mereka ke sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang menghubungkan dunia nyata dengan dunia yang lebih gelap.

"Ini dia," Karla berkata dengan suara berat. "Inilah tempatnya. Di sini, kita akan menemukan jawaban."

Tapi sebelum mereka bisa mendekat, batu besar itu mulai bergetar, dan seketika itu juga, bayangan gelap muncul dari dalam batu itu—sebuah sosok yang lebih besar dan lebih kuat dari apapun yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

Sosok itu tertawa rendah, suaranya bergaung di sekitar mereka, menggetarkan udara. "Kalian pikir kalian bisa mengakhiri ini? Kegelapan ini adalah takdir. Tak ada yang bisa menghentikannya."

Karla merasakan kekuatan dari dalam dirinya berkumpul. Cahaya itu, meskipun sedikit lemah, masih ada, dan dengan itu, dia berjanji untuk menghadapi kegelapan ini. Mereka tidak akan membiarkan dunia terperangkap dalam kegelapan abadi.

Karla melangkah maju, siap menghadapi musuh yang paling menakutkan yang pernah mereka temui.