Chereads / Diary Sang Pemangsa / Chapter 18 - Pertempuran Tanpa Akhir

Chapter 18 - Pertempuran Tanpa Akhir

Suasana di sekitar Karla, Raka, dan Nara semakin mencekam. Bayangan gelap yang muncul dari dalam batu besar itu semakin menebar rasa takut yang sulit untuk dijelaskan. Sosok itu, yang semakin terlihat jelas di bawah cahaya redup, memiliki bentuk yang besar dan menyeramkan, seolah-olah ia terbuat dari bayangan itu sendiri. Setiap langkah yang diambilnya memancarkan gelombang energi gelap yang membuat tanah di bawahnya bergetar.

Karla merasa tubuhnya tegang. Cahaya yang selama ini ia andalkan mulai bergetar, seolah merespon ancaman yang lebih besar di hadapannya. Kekuatan dari dalam dirinya, yang semula penuh harapan, kini terasa lebih seperti beban. Namun, dia tahu satu hal—mereka tidak bisa mundur sekarang.

"Apa yang kau inginkan?" suara Karla keluar dengan penuh keteguhan, meskipun hatinya berdegup keras. "Kami tidak akan membiarkanmu merusak dunia ini."

Sosok bayangan itu tertawa dengan suara yang menakutkan. "Merusak dunia? Aku hanya mengembalikan dunia kepada keadaan semestinya. Kegelapan ini adalah asal dari segala sesuatu. Tidak ada yang bisa melawan takdir."

Raka menyiapkan pedangnya, sementara Nara sudah mengencangkan busurnya. "Kamu salah," kata Raka, "kami akan menghentikanmu, apapun yang terjadi."

Karla menatap kedua temannya dengan penuh tekad, matanya memancarkan cahaya yang mulai menyatu dengan kekuatan dalam dirinya. Dia tahu ini adalah momen penentu, saat dimana tidak ada lagi ruang untuk ragu. Tidak ada lagi pilihan selain melawan.

Bayangan itu melangkah maju, tubuhnya yang seakan terbuat dari kegelapan menyebar ke udara. Sosok itu semakin besar dan lebih mengerikan dengan setiap detik yang berlalu, menelan cahaya yang ada di sekitarnya. "Kalian hanya berjuang sia-sia," kata sosok itu dengan suara yang menggelegar. "Aku sudah ada sejak zaman pertama. Kalian adalah bagian dari sebuah takdir yang tidak bisa kalian ubah."

Karla merasa sakit di dalam dadanya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan—rasa seperti terjepit antara dua dunia. Tapi ia tidak akan mundur. Ia menggenggam cahaya di dalam dirinya dengan lebih kuat. Ia tahu, jika mereka tidak bisa mengalahkan sosok ini, dunia yang mereka kenal akan hancur.

"Jika dunia ini harus memilih antara kegelapan dan cahaya, maka kami akan memilih cahaya!" teriak Karla, melepaskan energi dari dalam dirinya yang berkilau dengan terang. Cahaya itu meluncur seperti panah, menuju bayangan yang mengancam.

Namun, bayangan itu mengangkat tangannya dan menyerap cahaya itu dengan mudah. "Kau pikir dengan cahaya, kamu bisa mengalahkan kegelapan? Semua yang kau lakukan akan sia-sia. Aku lebih kuat dari itu."

Karla merasa jantungnya berdebar keras, tetapi dia tidak menyerah. Jika cahaya saja tidak cukup, maka dia harus mencari cara lain. "Kekuatan dalam dirimu bisa menumbuhkan harapan," katanya pada dirinya sendiri. "Cahaya bukan hanya tentang terang, tapi juga tentang kepercayaan."

Di tengah kebingungannya, Karla tiba-tiba teringat akan sesuatu. Dia ingat kata-kata ibunya yang dulu selalu mengajarkan tentang keberanian sejati—bahwa cahaya dalam diri seseorang lebih dari sekadar kekuatan. Itu adalah hati yang penuh dengan keyakinan dan kepercayaan.

Dengan keteguhan yang baru ditemukan, Karla menutup matanya dan merasakan cahaya itu mengalir dengan cara yang berbeda. Kali ini, ia tidak hanya berfokus pada kekuatan fisik atau energi semata. Ia merasakan setiap detak jantungnya, setiap nafas yang ia ambil, dan bagaimana harapan, bahkan dalam kegelapan, tidak pernah benar-benar padam.

Dengan penuh keberanian, Karla mengangkat tangannya dan melepaskan sebuah gelombang energi yang jauh lebih kuat, bukan hanya dengan cahaya, tetapi dengan kekuatan pikiran dan hati yang terhubung dengan dunia di sekitarnya. Cahaya itu seperti badai yang menggulung, mengelilingi sosok bayangan itu dan membentuk lapisan pelindung yang kuat di sekelilingnya.

"Kekuatanmu mungkin berasal dari kegelapan, tetapi kepercayaanku datang dari dunia yang lebih besar!" teriak Karla, mengirimkan gelombang cahaya yang semakin besar ke arah sosok itu.

Sosok bayangan itu berteriak, geram, seolah-olah gelombang cahaya yang datang menghantamnya dengan kekuatan yang tak terbayangkan. "Tidak… Ini tidak mungkin!" Suaranya melengking, dan tubuhnya mulai bergetar hebat. Kegelapan yang menutupi tubuhnya mulai pecah, terkoyak oleh cahaya yang Karla kirimkan.

Raka dan Nara, melihat kesempatan itu, melangkah maju. Raka dengan pedangnya yang menyala, Nara dengan busurnya yang terarah tepat ke pusat bayangan itu. Mereka menyerang bersamaan, memberi serangan yang mengarah pada titik lemah yang sudah terlihat jelas.

Dengan kekuatan gabungan mereka, bayangan itu terpecah menjadi beberapa bagian, hancur berkeping-keping, membubarkan diri menjadi bayangan yang menghilang ke udara. Meskipun sosok itu berhasil diusir, Karla tahu bahwa ancaman ini tidak akan begitu saja hilang. Mereka hanya berhasil mengalahkan satu bentuk kegelapan.

"Apa yang sekarang?" tanya Raka, terengah-engah.

Karla mengatur napasnya, matanya memandangi puing-puing kegelapan yang masih tersisa. "Kita belum selesai. Itu hanya bagian dari sesuatu yang lebih besar. Kita harus terus maju, sampai kita menemukan sumber kegelapan ini."

Nara menatap hutan yang masih tertutup kabut tebal. "Kita tidak tahu apa yang akan datang berikutnya."

Karla mengangguk, menatap jauh ke depan. "Tapi kita harus siap. Kita harus terus melangkah maju, karena hanya dengan keberanian dan cahaya dalam hati kita, kita bisa menghadapi apa pun yang akan datang."

Dengan keteguhan yang baru ditemukan, mereka melangkah maju. Karla tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Kegelapan yang lebih besar sedang menunggu, tetapi bersama-sama, mereka akan terus berjuang.

Meskipun sosok bayangan itu telah terpecah, suasana di sekitar mereka tetap penuh dengan ketegangan. Karla bisa merasakan bahwa kegelapan yang mereka lawan bukanlah sesuatu yang bisa dihancurkan begitu saja. Seperti racun yang meresap perlahan, kegelapan itu hanya berpindah bentuk, mencari cara lain untuk menguasai dunia.

"Karla..." Raka mulai berbicara, suara nafasnya terengah-engah setelah pertempuran sengit itu. "Kamu merasa itu, kan? Ini belum selesai."

Karla mengangguk pelan. "Aku tahu. Ini bukan hanya tentang mengalahkan satu sosok. Bayangan itu hanyalah manifestasi dari kekuatan yang lebih besar—sesuatu yang lebih sulit dipahami."

Mereka semua terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Karla. Nara, yang selama ini lebih sering diam, kini berbicara dengan suara serius. "Jadi, apa yang kita hadapi sebenarnya? Apa yang sebenarnya mengendalikan kegelapan itu?"

Karla menarik napas panjang, matanya yang lelah menatap hutan yang semakin gelap. Ia merasakan aliran energi yang berbeda. Seolah ada sesuatu yang memanggilnya, menariknya untuk melangkah lebih jauh ke dalam misteri yang lebih dalam.

"Saya rasa kita akan segera menemui jawabannya," kata Karla dengan tekad. "Tempat ini—gua batu ini—mungkin adalah pusat dari semua ini."

Mereka berjalan semakin jauh ke dalam hutan, melewati reruntuhan yang kini terasa semakin menyesakkan. Karla bisa merasakan kegelapan yang kian mendalam, mengubah setiap sudut dunia di sekitar mereka. Udara terasa lebih dingin, seakan menahan nafas, menunggu apa yang akan datang.

Semakin mereka berjalan, semakin mereka merasa bahwa mereka semakin dekat dengan pusat dari kegelapan itu. Karla merasakan ketegangan yang meningkat, bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam dirinya. Cahaya yang pernah menyinari hati dan pikirannya kini terasa terombang-ambing.

"Kenapa rasanya seperti kita sedang menuju kehancuran?" tanya Nara, matanya berkilau dengan rasa takut yang hampir tidak bisa disembunyikan.

Karla menoleh ke arah Nara, memberikan senyuman yang mencoba menenangkan. "Kita hanya menuju tempat yang perlu kita lewati untuk menemukan jawaban. Tapi kita tidak bisa mundur sekarang. Kita sudah terlalu jauh."

Mereka terus melangkah, semakin dalam menuju jantung hutan. Setiap langkah mereka terasa berat, seolah-olah tanah di bawah mereka menahan, menunggu momen untuk menelan mereka seluruhnya. Tiba-tiba, mereka berhenti di hadapan sebuah gua besar, mulut gua itu gelap dan tampak seperti tidak ada ujungnya. Dari dalam gua, sebuah aura dingin dan menakutkan memancar keluar, seolah memanggil mereka untuk masuk.

"Ini dia," Karla berbisik, matanya memandang gua dengan waspada. "Ini adalah tempatnya."

Raka melangkah maju terlebih dahulu, menatap ke dalam gua dengan hati-hati. "Ini terasa seperti perangkap," katanya, tidak bisa menyembunyikan kecurigaannya.

Karla mengangguk. "Aku tahu. Tapi kita tidak punya pilihan."

Mereka semua memasuki gua itu, dan segera mereka diselimuti oleh kegelapan yang pekat. Tidak ada suara, tidak ada cahaya, hanya kegelapan yang menggulung mereka. Karla merasakan ketegangan yang mengikat dadanya, dan tubuhnya seakan-akan mulai kehilangan keseimbangan.

"Fokus," Karla berkata kepada dirinya sendiri, mengingatkan dirinya untuk tetap mengendalikan cahaya di dalam dirinya.

Lalu, mereka melihatnya. Di ujung gua yang dalam, ada sebuah bola besar yang terbuat dari kegelapan murni. Bola itu berpendar dengan cahaya redup, seperti sesuatu yang terbuat dari ribuan potongan bayangan yang berputar tanpa henti.

"Itulah sumbernya," Karla berbisik, suaranya teredam oleh gema yang berasal dari kedalaman gua.

"Dari sini, semuanya dimulai," kata Raka, suara seriusnya menggema dalam ruangan gelap itu.

Karla melangkah maju, matanya terpaku pada bola gelap itu. Di dalam bola tersebut, dia bisa merasakan kekuatan yang lebih besar dari apapun yang pernah mereka hadapi—sebuah kekuatan yang menguasai kegelapan itu, yang memiliki kendali atas takdir dunia.

"Itu… itu yang mengendalikan segalanya," kata Nara, ternganga. "Kita harus menghancurkannya."

Karla menatap bola itu dengan hati-hati. "Tidak semudah itu. Kita harus memikirkan cara yang tepat untuk melawan kekuatan yang ada di dalamnya. Ini bukan hanya tentang menghancurkannya, tapi memahami asal-usulnya."

Bola gelap itu mulai bergetar. Cahaya yang sangat lemah mulai muncul, seolah merespon keberadaan mereka di dalam gua. Suara bisikan perlahan terdengar, menembus udara di sekitar mereka. Bisikan itu bukan hanya suara, melainkan sebuah dorongan untuk menyerah, untuk berbalik dan meninggalkan tempat itu.

"Apa itu?" Raka bertanya, tampak cemas.

Karla merasakan pengaruh bisikan itu. Setiap kata yang terdengar seperti mencoba memasuki pikirannya, menggoyahkan keyakinannya. Tetapi, dia tahu bahwa dia harus tetap teguh. "Ini adalah suara dari kegelapan itu sendiri. Ini mencoba mengendalikan kita, menggoda kita untuk menyerah."

Nara, yang sudah siap dengan busurnya, menggelengkan kepalanya. "Kita tidak akan menyerah. Kita akan melawan."

Karla mengangguk, dan merasakan cahaya dalam dirinya mulai kembali, mengalir lebih kuat dari sebelumnya. Dia merasakan setiap detakan jantungnya, setiap napas yang ia ambil, semakin memperkuat tekadnya untuk mengalahkan kegelapan itu.

Dengan gerakan yang penuh keyakinan, Karla mengangkat tangannya ke udara, memfokuskan energi dari dalam dirinya. Cahaya itu, yang kini semakin terang, mengalir keluar seperti sebuah arus deras yang tak terbendung.

Kegelapan itu berusaha melawan, tapi cahaya yang ada di dalam diri Karla lebih kuat, lebih murni dari apapun yang ada di dunia ini. Cahaya itu seperti memecah semua bayangan yang ada, memecah bola kegelapan itu menjadi serpihan-serpihan kecil yang hilang satu per satu.

Ketika bola kegelapan itu akhirnya hancur, sebuah suara gemuruh terdengar. Gua itu bergetar hebat, seolah-olah dunia di sekitar mereka hendak runtuh. Karla merasakan tubuhnya terlempar ke belakang, tetapi dia tidak kehilangan keseimbangannya. Dia tahu bahwa ini adalah titik balik, bahwa kegelapan ini bisa dilawan, tetapi ancaman lebih besar masih menunggu.

Gua itu mulai runtuh, tetapi mereka tidak punya waktu untuk merenung. Mereka harus segera keluar dari sana, sebelum semuanya menjadi terlalu terlambat.

Dengan cahaya yang semakin redup, mereka berlari keluar dari gua yang mulai hancur. Tidak ada kata-kata lagi, hanya langkah kaki yang terdengar dalam kehampaan yang semakin membesar.

Mereka tahu bahwa kegelapan belum selesai, dan bahwa perjuangan mereka belum berakhir.