Chereads / Diary Sang Pemangsa / Chapter 14 - Pintu Menuju Masa Lalu

Chapter 14 - Pintu Menuju Masa Lalu

Pagi itu tiba dengan cahaya yang suram, seolah-olah matahari enggan memancarkan sinarnya sepenuhnya. Kelompok Karla beristirahat di tepi hutan, jauh dari gerbang kota terkutuk. Semua orang tampak lelah, baik secara fisik maupun mental.

Karla duduk di atas sebongkah batu, memandangi buku lusuh yang ditemukan Nara semalam. Halaman-halamannya yang kusut penuh dengan coretan, simbol-simbol aneh, dan kalimat-kalimat yang terputus, tetapi satu bagian terus menghantui pikirannya.

"Kegelapan ini tidak datang dari luar. Ia datang dari dalam."

Kalimat itu bergema di benaknya, menimbulkan rasa gelisah yang semakin sulit untuk diabaikan.

"Apa yang kau baca?" tanya Raka, duduk di sebelahnya sambil menyeka darah kering di lengannya.

Karla menutup buku itu dan menatapnya. "Ini seperti... jurnal seseorang. Sepertinya dia mencatat apa yang terjadi di kota itu sebelum semuanya berubah."

"Dan?" Raka menaikkan alisnya.

"Dan ini menguatkan apa yang kukhawatirkan selama ini," jawab Karla. "Kegelapan yang menguasai kota itu bukan sesuatu yang datang dari luar. Ini tumbuh dari sesuatu yang sudah ada di sini—sesuatu yang mungkin sudah lama tersembunyi."

Raka menghela napas berat. "Bagaimana itu membantu kita? Kita bahkan tidak bisa mendekati pria berjubah hitam itu tanpa nyaris mati."

"Kita tidak bisa menang dengan kekuatan yang kita miliki sekarang," Karla mengakui. "Tapi jika kita bisa menemukan asal mula kegelapan ini, mungkin kita bisa menghentikannya."

Raka menggelengkan kepala, terlihat skeptis. "Itu terdengar seperti rencana yang bagus di atas kertas. Tapi bagaimana kau tahu di mana harus mulai?"

Karla membuka kembali buku itu dan menunjukkan salah satu halaman kepada Raka. Di sana, terdapat sketsa peta kota, dengan tanda lingkaran di beberapa lokasi.

"Lihat ini," kata Karla. "Ini menunjukkan lokasi-lokasi penting di kota. Salah satunya disebut 'Gerbang Dalam.' Aku ingat pernah mendengar legenda tentang tempat itu saat aku masih kecil. Mereka bilang itu adalah pintu menuju asal usul kekuatan kota ini."

Raka memandang peta itu dengan serius. "Kalau begitu, kita harus mencarinya."

"Tapi kita tidak bisa melakukannya dengan terburu-buru," kata Karla tegas. "Kota itu adalah jebakan, dan kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi di dalam."

Saat mereka berbicara, Nara mendekat bersama anggota lain, wajahnya penuh dengan keraguan. "Apa kalian serius akan kembali ke sana?" tanyanya.

"Kita tidak punya pilihan lain," jawab Karla tanpa ragu. "Jika kita meninggalkan kota itu, kegelapan akan terus menyebar. Dan ketika ia sampai ke sini, tidak akan ada tempat yang aman lagi."

Nara menggigit bibirnya, jelas merasa takut, tetapi dia mengangguk. "Kalau begitu, aku akan ikut. Tapi kita harus mempersiapkan diri."

---

Beberapa jam kemudian, kelompok itu bergerak kembali ke arah kota. Kali ini, mereka tidak langsung menuju gerbang utama, melainkan melalui jalur tersembunyi yang ditemukan Raka saat survei sebelumnya. Jalur itu membawa mereka ke bagian selatan kota, di mana reruntuhan tua menciptakan labirin yang rumit.

"Kita harus tetap bersama," kata Karla. "Kegelapan di sini bisa memisahkan kita."

Mereka berjalan dengan hati-hati, setiap langkah terasa berat. Udara di sekitar mereka semakin pekat, penuh dengan aroma busuk yang menusuk. Kadang-kadang, mereka mendengar bisikan, seperti suara makhluk yang bersembunyi di balik bayangan.

"Rasanya seperti sedang diawasi," bisik Nara.

"Itu karena kita memang sedang diawasi," jawab Karla pelan.

Ketika mereka akhirnya mencapai area yang ditunjukkan di peta, mereka menemukan sebuah pintu besar yang tertutup rapat. Pintu itu terbuat dari logam hitam dengan ukiran simbol-simbol yang sama seperti yang ada di alun-alun utama.

"Gerbang Dalam," gumam Karla, menatapnya dengan tatapan penuh tekad.

"Bagaimana kita membukanya?" tanya Raka.

Karla mengangkat tangannya, mencoba menyentuh permukaan pintu. Begitu jarinya menyentuh logam itu, dia merasakan aliran energi yang kuat, seperti arus listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Simbol-simbol di pintu mulai bersinar merah, dan tiba-tiba, suara bergaung terdengar di udara.

"Hanya mereka yang menerima kegelapan dalam dirinya yang bisa memasuki tempat ini."

Karla terkejut, tetapi dia tidak mundur. Dia tahu bahwa tempat ini memegang jawaban yang dia cari.

"Apa maksudnya itu?" tanya Nara dengan cemas.

"Itu berarti aku harus menghadapi kegelapan di dalam diriku," jawab Karla. "Ini adalah ujian."

"Ujian seperti apa?" Raka terlihat khawatir.

"Sesuatu yang harus aku lalui sendiri." Karla menoleh ke teman-temannya. "Kalian tunggu di sini. Jangan biarkan siapa pun masuk, apa pun yang terjadi."

"Karla, tidak!" Raka mencoba menghentikannya, tetapi Karla sudah memutuskan.

Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu menekan kedua tangannya ke pintu. Simbol-simbol itu bersinar semakin terang, dan dalam sekejap, pintu terbuka, menelan Karla ke dalam kegelapan.

---

Di dalam, Karla menemukan dirinya berdiri di ruang yang kosong, tanpa dinding, tanpa lantai, hanya kegelapan yang membentang sejauh mata memandang. Namun, di tengah kegelapan itu, ada sesuatu—sesosok bayangan yang memiliki bentuk seperti dirinya.

"Kau akhirnya datang," kata bayangan itu dengan suara yang mirip dengan suara Karla sendiri.

"Siapa kau?" tanya Karla, meskipun dia sudah tahu jawabannya.

"Aku adalah kau," jawab bayangan itu. "Bagian dari dirimu yang selalu kau coba abaikan. Aku adalah kegelapan yang kau simpan di dalam hati. Rasa takutmu, amarahmu, dan semua hal yang tidak ingin kau akui."

Karla mengepalkan tangannya. "Aku tidak akan membiarkanmu menguasai diriku."

Bayangan itu tertawa kecil. "Kau tidak mengerti. Aku tidak di sini untuk menguasaimu. Aku di sini untuk mengingatkanmu bahwa tanpa aku, kau tidak akan pernah cukup kuat untuk melawan kegelapan yang sebenarnya."

Karla terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya, karena dia tahu ada kebenaran di dalamnya.

"Jika kau ingin menyelamatkan dunia ini, kau harus menerima aku," lanjut bayangan itu. "Kau harus menerima bahwa kegelapan adalah bagian dari dirimu, sama seperti cahaya."

Karla merasa ragu, tetapi dia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara. Dengan hati yang berat, dia melangkah mendekati bayangan itu.

"Aku tidak takut pada kegelapan," katanya pelan. "Dan aku tidak akan membiarkanmu mengendalikan diriku. Tapi jika menerima keberadaanmu adalah satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini, maka aku akan melakukannya."

Bayangan itu tersenyum, dan saat Karla menyentuhnya, kegelapan mulai menyatu dengan tubuhnya.

---

Ketika Karla membuka matanya lagi, dia sudah berada di depan Gerbang Dalam, dikelilingi oleh teman-temannya yang terlihat cemas.

"Karla, apa kau baik-baik saja?" tanya Raka.

Karla berdiri dengan tenang, matanya bersinar dengan campuran cahaya dan bayangan. "Aku tahu apa yang harus kita lakukan sekarang," katanya dengan suara yang lebih kuat dari sebelumnya.

Karla berdiri diam, tubuhnya masih merasakan sisa energi dari pertemuannya dengan bayangan dirinya sendiri. Cahaya dan kegelapan di dalam dirinya terasa lebih seimbang sekarang, meskipun ia tahu konsekuensi dari keputusan yang baru saja dia buat.

Raka berjalan mendekat, menatapnya dengan sorot mata penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi di sana? Apa kau baik-baik saja?"

Karla mengangguk pelan. "Aku bertemu... bagian dari diriku yang selalu kusembunyikan. Kegelapan yang selama ini aku tolak."

"Dan kau menerimanya?" Nara bertanya, suaranya gemetar.

Karla menatap Nara dengan mata yang sekarang memancarkan sesuatu yang berbeda—bukan hanya tekad, tetapi juga kesadaran yang mendalam. "Aku tidak punya pilihan. Kegelapan itu adalah bagian dari diriku, sama seperti cahaya. Jika aku ingin menghentikan semua ini, aku harus memahaminya, bukan melawannya."

Raka menghela napas, jelas masih merasa ragu. "Apa yang kau dapatkan di dalam sana? Ada sesuatu yang berubah, aku bisa merasakannya."

Karla mengangkat tangannya, dan sebuah simbol bercahaya muncul di telapak tangannya. Itu adalah simbol yang sama seperti yang ada di Gerbang Dalam—sebuah lingkaran dengan garis-garis yang menyilang, seperti matahari yang terhalang awan gelap.

"Simbol ini adalah kunci," jelas Karla. "Dengan ini, aku bisa membuka jalan menuju sumber kekuatan kota ini. Tapi kita harus cepat. Kegelapan semakin kuat setiap detiknya."

---

Kelompok itu melanjutkan perjalanan mereka ke bagian terdalam kota. Simbol di tangan Karla memancarkan cahaya redup yang memandu mereka, seolah-olah memiliki kehendak sendiri.

Namun, semakin jauh mereka masuk, semakin terasa beratnya atmosfer di sekitar mereka. Angin dingin membawa suara bisikan, dan bayangan di sudut-sudut reruntuhan tampak bergerak sendiri.

"Kita tidak sendirian," bisik Nara sambil mencengkeram senjatanya dengan erat.

"Kita tidak pernah sendirian di tempat ini," jawab Raka dengan nada sinis, meskipun matanya terus mengawasi sekeliling.

Tiba-tiba, sebuah suara keras menggema, seperti pintu besar yang terbuka. Dari kegelapan, makhluk-makhluk bayangan mulai bermunculan, lebih besar dan lebih menakutkan daripada yang mereka hadapi sebelumnya.

"Mereka tahu kita di sini," kata Raka sambil bersiap bertarung.

"Tahan mereka!" seru Karla. "Aku akan membuka jalan!"

Sementara kelompoknya berjuang melawan makhluk-makhluk itu, Karla berdiri di depan dinding besar yang dihiasi dengan ukiran simbol-simbol kuno. Simbol di tangannya mulai bersinar lebih terang, seolah-olah beresonansi dengan dinding tersebut.

"Bagaimana cara kerjanya?" gumam Karla sambil mencoba mencari tahu.

Kemudian, seolah-olah tubuhnya bergerak sendiri, dia menekan tangannya ke dinding. Simbol di tangannya menyatu dengan ukiran di dinding, dan cahaya terang tiba-tiba meledak, membuat semua orang terkejut.

Ketika cahaya itu mereda, sebuah pintu besar terbuka di tengah dinding. Dari dalamnya, angin hangat berhembus, membawa aroma yang aneh—seperti campuran bunga yang layu dan darah.

"Karla, kita tidak bisa meninggalkanmu sendiri!" teriak Raka sambil memotong salah satu makhluk bayangan.

"Kalian harus masuk sekarang!" jawab Karla.

Raka dan yang lain segera berlari ke arahnya, masuk ke dalam pintu sebelum makhluk-makhluk bayangan itu bisa mencapai mereka. Begitu semuanya masuk, pintu itu tertutup dengan sendirinya, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang hanya diterangi oleh simbol di tangan Karla.

---

Di dalam, suasananya sangat berbeda. Mereka berdiri di koridor panjang yang dipenuhi dengan lilin-lilin besar yang menyala sendiri. Dinding-dindingnya terbuat dari batu hitam, dengan ukiran simbol-simbol kuno yang sama seperti yang ada di luar.

"Apa tempat ini?" tanya Nara dengan suara berbisik, seolah takut mengganggu kesunyian.

"Ini adalah inti dari kota," jawab Karla. "Tempat di mana semuanya dimulai."

Mereka berjalan perlahan, mengikuti koridor itu hingga tiba di sebuah ruangan besar. Di tengah ruangan, ada sebuah altar yang terbuat dari batu obsidian, dengan bola cahaya hitam melayang di atasnya.

"Itu sumber kekuatan mereka," kata Karla sambil mendekati altar.

Namun, sebelum dia bisa mendekati bola cahaya itu, sosok pria berjubah hitam muncul dari kegelapan, berdiri di depan altar dengan senyuman dingin di wajahnya.

"Kau berhasil sampai di sini," katanya. "Aku harus akui, aku terkesan."

"Kau tidak bisa menghentikan kami!" kata Karla dengan tegas.

Pria itu tertawa pelan. "Hentikan kalian? Tidak, Karla. Aku sudah menunggu saat ini. Karena kau adalah bagian dari rencana ini."

"Apa maksudmu?" Karla merasa darahnya berdesir.

Pria itu mengangkat tangannya, dan simbol di tangan Karla mulai bersinar dengan sendirinya. "Kau adalah kunci terakhir, Karla. Dengan menerima kegelapan dalam dirimu, kau telah membuka jalan bagiku untuk menguasai dunia ini sepenuhnya."

Karla merasa jantungnya hampir berhenti. "Itu tidak mungkin!"

"Tentu saja mungkin," kata pria itu sambil melangkah mendekatinya. "Kegelapan dan cahaya di dalam dirimu adalah dua sisi dari koin yang sama. Kau berpikir menerima kegelapan akan membuatmu lebih kuat, tetapi kau tidak sadar bahwa itu juga membuatku lebih kuat."

"Kau bohong!" teriak Karla, meskipun dalam hatinya dia merasa ada kebenaran dalam kata-kata itu.

"Dan sekarang, waktunya untuk menyelesaikan ini," kata pria itu sambil mengangkat tangannya ke arah bola cahaya hitam.

Bola itu mulai berdenyut, mengeluarkan energi yang membuat seluruh ruangan bergetar.

"Karla, apa yang harus kita lakukan?!" teriak Raka.

Karla menggenggam simbol di tangannya dengan erat, mencoba melawan rasa takut yang semakin besar. "Kita harus menghancurkannya. Sekarang!"

Tapi sebelum mereka bisa bergerak, bola cahaya itu meledak, memancarkan kilatan yang menyilaukan dan mengubah segalanya menjadi kegelapan total.

---

Ketika Karla membuka matanya, dia menemukan dirinya sendirian di tempat yang berbeda—sebuah ruang tanpa akhir, hanya ada dia dan pria berjubah hitam itu.

"Ini adalah akhirmu, Karla," kata pria itu dengan suara yang bergema di seluruh ruang.

Namun, Karla tidak merasa takut lagi. Dia menggenggam simbol di tangannya, merasakan kekuatan yang mengalir di dalam dirinya. "Tidak, ini bukan akhir. Ini adalah awal dari perlawanan."