Chereads / Diary Sang Pemangsa / Chapter 12 - Takdir yang Tertulis

Chapter 12 - Takdir yang Tertulis

Karla duduk di atas bukit kecil yang menghadap ke lembah tempat kelompoknya beristirahat. Angin malam menyapu wajahnya dengan lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan yang turun singkat tadi sore. Bintang-bintang mulai bermunculan, memercikkan cahaya kecil yang seolah-olah memberi harapan di tengah gelapnya malam.

Namun, Karla tidak bisa menemukan kedamaian dalam keindahan itu. Pikirannya terus bergelut dengan bayangan pertempuran yang baru saja terjadi, dengan sosok gelap yang tampaknya tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang ia sendiri pahami.

"Kegelapan itu adalah bagian dari dirimu…" Kata-kata sosok gelap itu masih terngiang jelas di kepalanya.

"Karla," sebuah suara lembut memecah lamunannya.

Dia menoleh dan melihat Raka mendekatinya, membawa dua cangkir kecil berisi minuman hangat. Dia duduk di samping Karla, menyodorkan salah satu cangkir padanya.

"Kau tidak tidur?" tanya Raka, sorot matanya penuh kekhawatiran.

Karla menggeleng pelan, menerima cangkir itu dengan senyuman tipis. "Aku hanya butuh waktu untuk berpikir," jawabnya.

"Kau selalu berpikir terlalu keras," kata Raka sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Terkadang, kau hanya perlu menerima bahwa tidak semua hal harus kau pahami sekaligus."

Karla tersenyum, meskipun rasa cemas masih menggantung di hatinya. "Raka," katanya akhirnya, "apakah menurutmu kita memiliki kendali atas takdir kita? Atau apakah semua ini sudah ditentukan sebelumnya?"

Pertanyaan itu membuat Raka terdiam sejenak. Dia menatap langit, seolah-olah mencari jawabannya di antara bintang-bintang. "Aku tidak tahu," katanya akhirnya. "Tapi aku percaya bahwa kita selalu punya pilihan. Bahkan jika takdir kita sudah tertulis, bagaimana kita menjalani perjalanan itu adalah keputusan kita sendiri."

Karla merenungkan kata-kata itu. Dia ingin percaya bahwa dia masih punya kendali atas hidupnya, tetapi bayangan kegelapan yang terus mengintai membuatnya merasa seolah-olah dia hanya bidak dalam permainan yang jauh lebih besar.

Sebelum dia bisa menjawab, suara keras dari bawah bukit memecah keheningan. Karla dan Raka segera berdiri, menoleh ke arah suara itu. Mereka melihat salah satu anggota kelompok, Nara, berlari ke arah mereka dengan napas tersengal-sengal.

"Karla! Raka!" teriak Nara. "Ada sesuatu di dekat lembah. Kita diserang!"

Tanpa ragu, Karla dan Raka berlari menuruni bukit, meninggalkan minuman mereka. Ketika mereka mencapai perkemahan, suasana sudah kacau. Beberapa anggota kelompok sedang bersiap dengan senjata mereka, sementara yang lain mencoba mengamankan peralatan dan persediaan.

"Apa yang terjadi?" tanya Karla dengan nada tegas.

"Makhluk bayangan," jawab salah satu anggota, matanya penuh ketakutan. "Mereka muncul tiba-tiba, seperti bayangan yang menjalar dari tanah."

Karla memandang ke arah lembah dan melihat apa yang dimaksud. Makhluk-makhluk itu, berbentuk seperti asap hitam dengan mata merah yang bersinar, bergerak dengan cepat menuju perkemahan mereka. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—mereka tampak lebih terorganisir, lebih kuat, seperti ada sesuatu yang memimpin mereka dari balik kegelapan.

"Semua orang, bersiap!" teriak Karla, mengambil posisi di depan kelompoknya. "Kita tidak bisa membiarkan mereka mendekati perkemahan!"

Pertempuran pun dimulai. Cahaya dari kekuatan Karla bersinar terang, melawan gelombang makhluk bayangan yang menyerang tanpa henti. Raka dan anggota lain bertarung di sisinya, menggunakan segala kemampuan mereka untuk menahan serangan itu.

Namun, di tengah kekacauan itu, Karla merasakan sesuatu yang aneh. Ada energi yang sangat kuat dan familiar di antara makhluk-makhluk itu, sesuatu yang membuatnya merinding.

Dan kemudian dia melihatnya. Di tengah-tengah medan pertempuran, sosok gelap itu muncul kembali. Kali ini, wujudnya lebih jelas. Seorang pria dengan jubah hitam panjang, matanya bersinar merah seperti bara api.

"Kamu lagi," gumam Karla dengan nada penuh amarah.

Pria itu tersenyum, sebuah senyuman dingin yang membuat darah Karla mendidih. "Aku bilang, Karla. Aku akan menunggumu."

"Jika kau ingin aku, kenapa tidak langsung saja? Kenapa kau terus mengirim makhluk-makhluk ini?"

Pria itu mengangkat satu tangan, dan tiba-tiba semua makhluk bayangan berhenti. Suasana menjadi sunyi, hanya terdengar suara angin malam yang menderu.

"Aku ingin melihat sejauh mana kekuatanmu berkembang," katanya. "Dan aku harus mengakui, kau jauh lebih kuat dari yang aku kira. Tapi itu tidak cukup."

Karla mengepalkan tangannya, cahaya mulai bersinar dari tubuhnya. "Aku tidak akan membiarkanmu mengendalikan hidupku."

"Bukan aku yang mencoba mengendalikannya, Karla," pria itu menjawab dengan tenang. "Kegelapan itu sudah ada di dalam dirimu. Aku hanya membantumu untuk melihatnya."

Dengan itu, pria itu mengangkat tangannya lagi, dan makhluk-makhluk bayangan mulai bergerak kembali. Pertempuran dilanjutkan, tetapi kali ini Karla merasa lebih berat. Setiap serangan yang dia lakukan, setiap cahaya yang dia lepaskan, terasa seperti menarik sesuatu dari dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya merasa semakin dekat dengan kegelapan yang dia lawan.

"Karla, kita tidak bisa terus seperti ini!" teriak Raka dari sampingnya. "Kita harus mundur!"

Karla tahu bahwa Raka benar, tetapi dia tidak bisa membiarkan musuh ini menang. Dia tidak bisa terus melarikan diri.

Dengan satu tarikan napas dalam, dia mengumpulkan seluruh kekuatannya, menciptakan ledakan cahaya yang begitu terang sehingga bahkan malam pun terasa seperti siang. Makhluk-makhluk bayangan berteriak kesakitan, menghilang satu per satu. Pria itu, meskipun terlindung dari ledakan itu, mundur beberapa langkah dengan ekspresi terkejut.

"Aku tidak akan menyerah," kata Karla dengan suara tegas, meskipun tubuhnya hampir tidak mampu berdiri. "Aku akan menemukan cara untuk menghancurkanmu, bahkan jika itu berarti aku harus melawan diriku sendiri."

Pria itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Kita lihat saja, Karla. Tapi ingat, waktu tidak ada di pihakmu."

Dengan kata-kata itu, dia menghilang bersama sisa-sisa makhluk bayangan, meninggalkan Karla dan kelompoknya di tengah kehancuran.

Karla terjatuh berlutut, terengah-engah. Raka segera mendekatinya, membantu menopangnya. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

Karla mengangguk, meskipun hatinya penuh dengan rasa cemas. Dia tahu bahwa ini bukan akhir. Pria itu akan kembali, dan kali ini, dia mungkin akan membawa sesuatu yang lebih mengerikan.

Tapi Karla juga tahu satu hal—dia tidak akan berhenti. Dia akan terus berjuang, apa pun yang terjadi.

Karla terdiam di tengah kehancuran itu. Suara denting senjata dan teriakan anggota kelompoknya masih terasa menggema di telinganya meski pertempuran sudah usai. Tubuhnya terasa lemah, tetapi pikirannya masih terpusat pada sosok gelap yang baru saja pergi. Kata-katanya berputar di kepala Karla, membuatnya bertanya-tanya apa arti sebenarnya dari semuanya.

Raka menggenggam bahu Karla dengan hati-hati, mencoba membantunya berdiri. "Karla, kau perlu istirahat. Kau tidak bisa terus seperti ini."

"Aku baik-baik saja," jawab Karla, meskipun dia hampir tidak bisa menyembunyikan rasa lelah di suaranya. Dia melihat sekeliling, memastikan bahwa semua anggota kelompoknya masih selamat. Beberapa terlihat terluka, tetapi tidak ada yang fatal. Itu sudah cukup untuk membuatnya sedikit lega.

"Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama," kata Raka sambil menatap lembah yang hancur. "Makhluk-makhluk itu mungkin akan kembali, dan kita belum siap menghadapi serangan berikutnya."

Karla mengangguk. "Kita harus bergerak sekarang. Semua orang, bersiap untuk meninggalkan tempat ini."

Anggota kelompoknya mulai bergerak cepat, mengemasi perlengkapan dan membantu mereka yang terluka. Karla berdiri di pinggir lembah, menatap cakrawala yang perlahan mulai memerah oleh cahaya fajar. Di balik keindahan itu, dia tahu bahwa bahaya masih mengintai.

Ketika semuanya sudah siap, mereka mulai berjalan meninggalkan lembah. Perjalanan itu sunyi, hanya diiringi suara langkah kaki dan hembusan angin yang dingin. Tidak ada yang berani berbicara, seolah-olah semua orang masih terjebak dalam bayang-bayang pertempuran yang baru saja terjadi.

Setelah beberapa jam berjalan, mereka menemukan tempat yang cukup aman untuk beristirahat. Sebuah gua kecil yang tersembunyi di antara tebing-tebing tinggi. Di dalam gua itu, mereka menyalakan api kecil dan mulai merawat luka-luka mereka.

Karla duduk di sudut gua, memandang ke arah api dengan tatapan kosong. Raka mendekatinya lagi, membawa sebotol air. "Karla, kau perlu minum sesuatu. Kau sudah mendorong dirimu terlalu jauh."

Karla mengambil botol itu tanpa berkata apa-apa. Dia tahu Raka hanya ingin membantunya, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa dia ungkapkan kepada siapa pun. Kegelapan yang dia rasakan semakin besar, semakin sulit untuk diabaikan.

"Karla," kata Raka dengan suara pelan, "apa yang sebenarnya terjadi tadi malam? Pria itu... siapa dia?"

Karla terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Aku tidak tahu. Tapi dia tahu sesuatu tentangku, sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak mengerti."

"Apa maksudmu?"

Karla menatap Raka dengan mata yang penuh dengan kebingungan. "Dia bilang bahwa kegelapan itu adalah bagian dari diriku. Bahwa aku tidak bisa melawannya karena aku adalah bagian darinya."

Raka terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Kau tidak percaya apa yang dia katakan, bukan?"

"Aku ingin tidak percaya," jawab Karla, suaranya hampir seperti bisikan. "Tapi... apa jika dia benar? Apa jika aku sebenarnya bukan pahlawan seperti yang kalian pikirkan? Apa jika aku hanyalah alat dari kegelapan itu sendiri?"

"Karla, hentikan," potong Raka dengan tegas. "Kau bukan kegelapan. Kau adalah alasan kami semua masih hidup hingga sekarang. Kau adalah orang yang membawa kami melawan mereka, yang memberi kami harapan. Jangan biarkan kata-kata pria itu merusak keyakinanmu pada dirimu sendiri."

Karla ingin mempercayai kata-kata Raka, tetapi rasa ragu itu terlalu dalam. Dia tahu bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda, sesuatu yang bahkan dia tidak sepenuhnya pahami.

Sebelum mereka bisa melanjutkan pembicaraan, salah satu anggota kelompok, Nara, masuk ke gua dengan wajah cemas. "Karla, Raka, kalian harus melihat ini."

Mereka segera bangkit dan mengikuti Nara keluar dari gua. Di kejauhan, mereka bisa melihat cahaya merah yang memancar dari arah utara, tempat kota besar terakhir yang masih bertahan berada.

"Apa itu?" tanya Raka dengan nada khawatir.

"Itu kota mereka," jawab Nara. "Aku yakin. Tapi cahaya itu... itu bukan cahaya biasa. Rasanya seperti... kegelapan."

Karla menatap cahaya itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa mereka tidak punya banyak waktu. Apa pun yang sedang terjadi di kota itu, mereka harus segera ke sana.

"Kita harus pergi sekarang," kata Karla dengan nada tegas.

"Tapi kau belum sepenuhnya pulih," protes Raka.

"Kita tidak punya pilihan," jawab Karla. "Jika kita menunggu lebih lama, mungkin sudah terlambat."

Raka menghela napas panjang, tetapi akhirnya mengangguk. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan Karla ketika dia sudah mengambil keputusan.

Kelompok itu segera bersiap dan mulai bergerak menuju kota. Di sepanjang perjalanan, Karla tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang berjalan menuju sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan.

Cahaya merah itu semakin besar saat mereka mendekat, dan Karla merasa jantungnya berdebar semakin cepat. Dia tidak tahu apa yang menunggu mereka di sana, tetapi satu hal yang pasti—takdirnya, apa pun itu, sedang menunggu untuk diungkapkan.