Karla terbangun dari mimpinya dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi dahinya, dan tubuhnya terasa berat seperti dihimpit beban yang tak terlihat. Dalam mimpinya, dia kembali berada di medan pertempuran, melawan kegelapan yang tak pernah berhenti mengejarnya. Tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—kegelapan itu bukan hanya musuh yang dia hadapi di luar dirinya, melainkan sosok dirinya sendiri yang menyerangnya tanpa henti.
"Aku..." Karla berbisik lirih sambil meraba dadanya, mencari keyakinan bahwa dia masih hidup. "Aku tidak bisa terus seperti ini."
Dia menoleh ke jendela kecil di sudut ruangan tempatnya berlindung bersama kelompoknya. Cahaya matahari pagi mulai merayap masuk, membawa kehangatan yang sejenak menenangkan pikirannya. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dia tahu bahwa ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang bahkan belum bisa dia bayangkan.
"Karla," sebuah suara lembut memanggil dari belakangnya.
Dia menoleh dan melihat Raka, salah satu anggota kelompoknya yang paling setia, berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak cemas, tapi dia mencoba menyembunyikannya di balik senyuman kecil.
"Kita harus bicara," kata Raka.
Karla mengangguk pelan. Dia tahu bahwa Raka tidak akan mengganggunya kecuali ada sesuatu yang sangat penting. Mereka berdua duduk di meja kecil di tengah ruangan, sementara anggota lain masih beristirahat atau mengurus perlengkapan mereka.
"Apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?" tanya Raka langsung, tanpa basa-basi. "Kami melihat cahayamu, Karla. Tapi ada sesuatu yang lain... sesuatu yang gelap."
Karla terdiam. Dia tahu bahwa Raka berhak mendapatkan jawaban, tetapi sulit baginya untuk menjelaskan apa yang terjadi. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa kekuatan yang selama ini dia gunakan untuk melawan kegelapan adalah bagian dari kegelapan itu sendiri?
"Aku..." Karla berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku merasa ada sesuatu dalam diriku yang semakin sulit kukendalikan. Kegelapan itu... itu bukan hanya musuhku. Itu juga bagian dari diriku."
Raka menatapnya dengan penuh perhatian, tidak menyela.
"Kemarin malam," lanjut Karla, "aku merasa hampir kehilangan kendali. Kegelapan itu mencoba menguasai diriku, mencoba membuatku menyerah. Tapi aku tidak bisa menyerah, Raka. Aku tidak bisa."
Raka menghela napas panjang. Dia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Karla, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam dirimu. Tapi aku tahu satu hal—kamu tidak sendiri. Kami ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi."
Karla tersenyum tipis, meskipun rasa cemas masih menggelayuti hatinya. "Terima kasih, Raka. Tapi ini adalah pertempuran yang harus kuhadapi sendiri. Tidak ada yang bisa melawan ini selain diriku sendiri."
Raka hendak menjawab, tetapi suara ledakan keras tiba-tiba menggema dari luar. Tanah bergetar, dan debu beterbangan ke dalam ruangan. Karla dan Raka segera berdiri, bersiap menghadapi ancaman yang datang.
"Musuh!" salah satu anggota kelompok berteriak dari luar.
Karla berlari keluar, diikuti oleh Raka. Di depan mereka, sekelompok makhluk bayangan muncul, jauh lebih besar dan lebih kuat daripada yang pernah mereka hadapi sebelumnya. Makhluk-makhluk itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, menghancurkan apa pun yang ada di hadapan mereka.
"Kalian semua, siapkan diri!" Karla berteriak, mengambil posisi di depan kelompoknya.
Pertempuran dimulai dengan dahsyat. Cahaya dari kekuatan Karla bersinar terang, menembus kegelapan yang mencoba menguasai medan pertempuran. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Makhluk-makhluk itu tampak lebih terorganisir, seolah-olah mereka memiliki pemimpin yang mengarahkan setiap gerakan mereka.
Di tengah kekacauan, Karla merasakan kehadiran yang familiar. Dia menoleh dan melihat sosok yang berdiri jauh di belakang makhluk-makhluk bayangan itu. Sosok itu tampak seperti manusia, tetapi auranya penuh dengan kegelapan yang menyesakkan.
"Kamu akhirnya keluar dari persembunyianmu," gumam Karla sambil menyipitkan matanya.
Sosok itu melangkah maju, perlahan tapi pasti. Wajahnya masih tertutup bayangan, tetapi suaranya terdengar jelas. "Karla," katanya dengan nada dingin. "Kamu tidak bisa lari dari takdirmu. Kegelapan ini adalah bagian dari dirimu, dan semakin kamu melawannya, semakin kuat dia akan menjadi."
Karla mengepalkan tangannya, merasakan cahaya dalam dirinya semakin berdenyut. "Aku tidak akan membiarkan kegelapan itu menang. Aku bukan milikmu."
"Benarkah?" tanya sosok itu, terdengar seperti mengejek. "Kalau begitu, buktikan. Tunjukkan kekuatanmu, Karla. Tapi ingatlah, setiap kali kamu menggunakan kekuatan itu, kamu semakin mendekat ke kegelapan yang sebenarnya."
Pertempuran itu semakin memanas. Karla dan kelompoknya berjuang mati-matian melawan makhluk-makhluk bayangan, sementara sosok gelap itu terus mengawasi dari kejauhan. Karla tahu bahwa pertempuran ini bukan hanya soal menang atau kalah—ini adalah ujian bagi dirinya.
Dia harus menemukan cara untuk mengalahkan musuh ini tanpa kehilangan dirinya sendiri. Karena jika dia gagal, bukan hanya dirinya yang akan hancur, tetapi juga dunia yang selama ini dia lindungi.
Karla berlari melintasi medan pertempuran dengan napas berat. Serangan demi serangan dari makhluk-makhluk bayangan semakin tak terkendali, memaksa kelompoknya untuk terus bertahan dalam posisi bertahan. Namun, Karla tahu bahwa mereka tidak bisa bertahan lama jika ini terus berlanjut.
Raka dan yang lain bertarung di sisinya, tetapi perhatian Karla tertuju pada sosok gelap di kejauhan. Sosok itu berdiri dengan tenang, seolah-olah mengendalikan setiap gerakan pasukannya dengan satu pandangan. Setiap kali Karla mencoba mendekati, makhluk-makhluk bayangan itu seolah-olah membentuk dinding pelindung, menghalangi jalannya.
"Kita harus memecah formasi mereka!" teriak Karla kepada Raka.
Raka mengangguk dan memberikan perintah kepada anggota lain. Mereka mulai membagi diri menjadi beberapa kelompok kecil untuk mengalihkan perhatian makhluk-makhluk itu. Karla, sementara itu, melihat celah kecil dalam pertahanan mereka dan memutuskan untuk mengambil risiko.
Dia melompat ke udara, melepaskan semburan cahaya dari tangannya. Cahaya itu menembus dinding bayangan, membuka jalan menuju sosok misterius itu. Namun, saat dia mendekat, Karla merasakan sesuatu yang aneh. Energi yang dia gunakan terasa berat, seperti ada kekuatan yang mencoba menariknya kembali ke dalam kegelapan.
"Karla!" suara Raka memanggilnya, memperingatkan bahaya yang datang dari belakang.
Karla berbalik tepat waktu untuk menghindari cakar besar salah satu makhluk bayangan. Dia menyerang balik dengan semburan cahaya, tetapi kekuatan itu tidak cukup untuk menghancurkan makhluk itu sepenuhnya. Makhluk itu hanya terhuyung sebentar sebelum kembali menyerang.
"Aku tidak punya waktu untuk ini," gumam Karla, memfokuskan energinya untuk melompat lebih jauh ke depan.
Saat dia akhirnya mendekati sosok gelap itu, suara tawa dingin menggema di sekelilingnya. "Kamu begitu keras kepala, Karla," kata sosok itu. "Tapi itulah yang membuatmu menarik. Semakin kamu melawan, semakin kuat kegelapan itu tumbuh di dalam dirimu."
Karla menghentikan langkahnya, menatap sosok itu dengan penuh tekad. "Siapa kamu sebenarnya? Apa maumu dariku?"
Sosok itu tertawa lagi, langkahnya maju beberapa inci lebih dekat. "Aku adalah bayangan dari kekuatanmu sendiri. Aku adalah manifestasi dari segala rasa takut, kemarahan, dan kelemahanmu. Dan tujuanku? Aku ingin kamu menerima kegelapan itu, karena hanya dengan begitu kamu bisa benar-benar menjadi kuat."
"Omong kosong," balas Karla dengan suara keras. "Kekuatan sejati tidak berasal dari kegelapan. Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi seperti kamu."
Sosok itu menyeringai. "Kalau begitu, tunjukkan. Tunjukkan kekuatanmu."
Karla mengepalkan tangannya, merasakan energi yang berdenyut dalam tubuhnya. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, dia harus melawan kegelapan ini tanpa kehilangan dirinya sendiri. Dia memanggil semua cahaya yang ada di dalam dirinya, menciptakan ledakan energi yang menerangi seluruh medan pertempuran.
Makhluk-makhluk bayangan berteriak kesakitan saat cahaya itu menyapu mereka, tetapi sosok gelap itu hanya berdiri diam, seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali.
"Kamu masih belum mengerti," katanya dengan suara rendah. "Cahaya itu tidak cukup untuk menghancurkanku, Karla. Kegelapan ini adalah bagian dari dirimu. Semakin keras kamu mencoba melawannya, semakin besar kekuatan itu akan tumbuh."
Karla terengah-engah, tubuhnya mulai kelelahan. Tapi dia tidak menyerah. Dia menatap sosok itu dengan mata penuh tekad. "Aku akan melawanmu. Aku akan menemukan cara untuk menghancurkanmu, bahkan jika itu berarti aku harus mengorbankan segalanya."
Sosok itu tertawa kecil. "Kalau begitu, aku akan menunggu, Karla. Tapi ingat, waktu tidak ada di pihakmu. Semakin lama kamu melawan, semakin lemah kamu akan menjadi."
Dengan kata-kata itu, sosok gelap itu perlahan menghilang, meninggalkan Karla dan kelompoknya di tengah kehancuran medan pertempuran.
Raka berlari ke arah Karla, wajahnya penuh kekhawatiran. "Karla, kamu baik-baik saja?"
Karla mengangguk pelan, meskipun tubuhnya gemetar. "Aku... aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun dia tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.
Saat kelompoknya berkumpul kembali, Karla melihat ke arah langit yang mulai cerah. Dia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan ancaman yang mereka hadapi akan semakin besar. Tapi dia juga tahu satu hal—selama dia tetap berpegang pada cahaya dalam dirinya, dia tidak akan pernah menyerah.