Chereads / Obsidian Shadow Sword / Chapter 3 - Kai Yanvei

Chapter 3 - Kai Yanvei

Malam itu, desa terbenam dalam sunyi setelah penduduknya beristirahat. Di rumah kayu kepala desa Eldric, api perapian kecil berdansa di dinding-dinding tua. Aroma kayu bakar dan tanah basah memenuhi ruangan. Eldric, dengan wajah keriputnya yang menyimpan banyak cerita, duduk di kursi usang kesayangannya. Di tangannya, sebuah kotak kayu kecil berukiran rumit. Ukiran itu menggambarkan burung phoenix, simbol harapan dan kebangkitan. Cahaya api menyorot kotak itu, membuat ukiran tampak hidup. Eldric menghela napas panjang, matanya menatap Blaze, pemuda gagah di hadapannya. Suasana hening, hanya suara gemerisik kayu yang pecah di dalam perapian yang terdengar. Eldric meletakkan kotak itu di atas meja kecil di sampingnya, jari-jarinya yang kasar terulur, membelai ukiran burung phoenix. Ia terdiam sejenak, mengingat kembali kenangan masa lalu yang penuh makna. Kemudian, dengan suara tenang dan lembut, ia berkata:

"Blaze," kata Eldric sambil memandang pemuda di hadapannya, "ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan. Dan kurasa, inilah saatnya."

Blaze duduk di depan Eldric, rasa ingin tahu terpancar dari matanya. Suasana hangat perapian membuat wajah Eldric tampak lebih lembut. "Ada apa, Paman?" tanya Blaze, suaranya pelan, penuh perhatian. Eldric mengangguk pelan, jari-jari keriputnya bergerak hati-hati membuka kotak kayu itu. Bunyi kayu yang bergesekan terdengar nyaring di ruangan sunyi. Di dalamnya, tersimpan sebuah liontin perak kecil, berbentuk lingkaran sempurna. Ukiran halus menghiasi permukaannya; nama 'Kai' terukir jelas di bagian depan. Di sisi sebaliknya, simbol misterius menyerupai matahari yang terhalang bayangan, pola rumitnya menarik perhatian. Blaze memperhatikan detail ukiran itu, mencoba memahami makna tersembunyi di baliknya. Eldric mengangkat liontin itu, menunjukkannya pada Blaze di bawah cahaya redup api perapian. Liontin itu memantulkan cahaya redup dari perapian, memberikan kesan yang tidak biasa.

Dengan gerakan tangan yang lembut, Eldric menyerahkan liontin perak itu kepada Blaze. "Liontin ini milikmu," katanya, suaranya berbisik lembut. "Aku menemukanmu terombang-ambing di sungai bertahun-tahun lalu, masih bayi. Sebuah kertas kecil terikat di kain pembungkusmu, menuliskan nama ini: Kai Yanvei." Blaze menatap liontin itu, jari-jarinya yang masih gemetar menyentuh ukiran nama tersebut. Nama itu asing, namun terasa begitu dekat, seperti sebuah kenangan samar yang terkubur dalam ingatannya. "Kai Yanvei..." gumamnya pelan, suaranya bergema di ruangan sunyi. Eldric mengamati Blaze, matanya berkaca-kaca mengingat kembali masa lalu. "Karena kau masih bayi, aku tak tahu asal-usulmu. Kita selalu memanggilmu Kai Yanvei saat kau masih kecil, itu nama aslimu," jelas Eldric. Blaze mengangguk samar, ingatan akan gurunya yang memanggilnya Kai Yanvei saat kecil muncul kembali. "Master Kael, yang merawatmu setelahnya, memilih memanggilmu Blaze. Nama itu akhirnya melekat padamu," lanjut Eldric, suaranya penuh pengertian. "Tapi, aku percaya liontin ini memiliki arti penting. Mungkin itu akan menjadi petunjuk untuk menemukan asal muasal usulmu."

Blaze memegang liontin itu erat-erat, mengubahnya menjadi serius. Dalam hatinya, ia merasakan sebuah dorongan baru untuk menemukan kebenaran tentang masa lalunya. Namun, dia tidak mengucapkan apa pun kepada Eldric, hanya tersenyum tipis untuk menenangkan pria tua itu.

Mentari pagi menyinari desa, menembus celah-celah daun di jendela kamar Blaze. Seekor merpati putih, bulu-bulunya berkilauan, hinggap di ambang jendela. Di kakinya, terikat gulungan kertas kecil yang diikat rapih dengan benang halus berwarna cokelat tua. Dengan hati-hati, Blaze membuka gulungan itu. Pesan singkat, namun tegas tertera di atasnya: "Kumpul di markas Shadow Blade. Ada pengumuman penting. Jangan terlambat." Blaze merasakan debaran jantungnya. Ini bukan panggilan biasa. Ia menyimpan pesan itu di dalam saku bajunya, hati berdebar-debar. Setelah membereskan beberapa barang bawaannya, Blaze bergegas menuju halaman rumah. Eldric, dengan kapaknya yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi, sedang memotong kayu untuk perapian. Serpihan kayu beterbangan, menari-nari di udara. Blaze mendekat, menatap wajah Eldric yang tampak tenang. "Paman, aku harus pergi," kata Blaze, dengan senyum tipis. "Akademi tempatku belajar sudah hampir memulai aktivitasnya lagi. Tapi sebelum aku pergi, aku ingin memberikan sesuatu."

Dari balik bajunya, Blaze mengeluarkan sebuah kantong kulit kecil yang sudah usang. Kantong itu terasa berat di tangannya. Ia memberikannya kepada Eldric dengan senyum hangat. Eldric menerimanya dengan hati-hati, jari-jarinya yang kasar menyentuh permukaan kulit yang lembut. Dengan hati-hati, Eldric membuka ikatan kantong itu. Cahaya matahari pagi memantul dari tumpukan koin emas di dalamnya, berkilauan mempesona. Dua ratus koin emas, jumlah yang sangat besar bagi penduduk desa kecil itu. Perlu diketahui bahwa satu koin emas saja nilainya sama dengan seribu koin perak, dan satu koin perak setara dengan seribu koin perunggu. Eldric terkesiap, matanya melebar tak percaya. "Blaze, ini terlalu banyak! Aku tidak bisa menerimanya," katanya, suaranya bergetar karena terkejut. Blaze menepuk pundak Eldric dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Paman, ini bukan untukmu saja," jelas Blaze. "Gunakanlah uang ini untuk membantu penduduk desa. Bangun sumur baru yang lebih dalam, perbaiki atap rumah-rumah yang bocor, atau beli peralatan baru untuk sawah mereka. Belikan juga bahan makanan untuk mereka yang kesulitan. Saya tahu Anda akan menggunakannya dengan bijak."

Air mata Eldric mengalir deras, membasahi pipinya yang keriput. Ia memeluk Blaze erat-erat, menahan gejolak emosi yang bercampur aduk di hatinya. "Kau benar-benar anak yang luar biasa, Blaze... atau harusnya aku memanggilmu Kai Yanvei?" bisik Eldric, suaranya terisak. Blaze tersenyum kecil, menepuk punggung Eldric dengan lembut. "Blaze masih terasa lebih cocok untuk saat ini," jawabnya. "Kai Yanvei... biarlah itu menjadi nama masa depan." Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Eldric dan beberapa penduduk desa yang kebetulan bertemu di jalan, Blaze berjalan menuju gerbang desa. Udara pagi terasa dingin di kulitnya. Ia mengenakan kembali jubah hitamnya yang panjang, menutupi identitasnya. Liontin perak pemberian Eldric tergantung tersembunyi di balik bajunya, dekat dengan jantungnya. Langkahnya mantap, mengarah ke jalan setapak yang berkelok menuju ibu kota. Di kejauhan, bayangan kota Aetheria tampak samar-samar. Mata abu-abu kebiruannya memandang ke arah jalan menuju ibu kota Kerajaan Aetheria, kota yang ramai dan penuh intrik.

Gerbang kota Aetheria terbuka lebar, menyambut Blaze dengan hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Suara pedagang yang menawarkan dagangannya, teriakan anak-anak yang bermain, dan derap kaki kuda bercampur menjadi satu, membentuk simfoni kehidupan yang ramai. Bangunan-bangunan megah dari batu putih dan marmer berdiri kokoh di sepanjang jalan berbatu, menunjukkan kekayaan dan kekuatan kerajaan Aetheria. Bau rempah-rempah dari Timur, aroma roti panggang yang baru keluar dari oven, dan wangi bunga-bunga mahal memenuhi udara. Para pengawal kerajaan, dengan baju besi mengkilap dan pedang terhunus di pinggang, berpatroli dengan langkah teratur, menjaga keamanan kota. Di tengah keramaian itu, Blaze berjalan dengan tenang, langkahnya pasti dan terukur. Jubah hitamnya dan topeng yang menutupi sebagian wajahnya membuatnya tampak seperti seorang warga biasa, tidak menarik perhatian yang tidak perlu. Ia melewati pasar yang penuh sesak, menghindari sentuhan dan desakan orang banyak. Matanya mengamati setiap sudut kota, mencari petunjuk menuju distrik rahasia yang hanya dikenal oleh anggota Shadow Blade. Setelah melewati beberapa gang sempit dan jalan berliku, ia menemukan sebuah pintu masuk yang tersembunyi di balik dinding tua yang ditumbuhi tanaman rambat. Blaze memasuki distrik rahasia itu, dia penasaran ada apa yang membuat semua anggota pembunuh Shadow Blade berkumpul ke markas mereka.