Chereads / Obsidian Shadow Sword / Chapter 9 - Time Requiem

Chapter 9 - Time Requiem

Angin malam mendesir membawa aroma besi tua dari darah yang mengering ketika Tiga Belas melangkah maju, kedua pedang kembarnya berkilauan pucat di bawah cahaya bulan. Dua Puluh Lima menggeser berat badan ke kaki belakang, tangan kanannya meraih gagang kapak perang yang terselip di punggung sementara tangan kiri membuka kancing jubah tempurnya. Tiga Puluh Tujuh? Ia hanya menggesekkan ibu jari dan telunjuknya hingga percik api ungu muncul, bahasa diam-diam mereka yang terlatih selama ratusan pertempuran.

"Kami akan mengurus mereka," geram Tiga Belas, suaranya parau seperti gesekan pisau di batu asah. Kedua bilah pedangnya berdesing keluar dari sarungnya, membelah udara dengan dua lengkungan cahaya keperakan. Tak ada tatapan ragu di matanya yang sipit, hanya fokus dingin pemburu yang sudah mengunci mangsa.

Blaze menatap mereka satu per satu, rahangnya mengeras. "Jangan mati," gumamnya pendek, jari-jarinya tanpa sadar mengepal erat sampai kuku menusuk telapak tangan. Ada sepersekian detik di mana Empat Puluh Satu menahan napas, sebuah jeda mikroskopis sebelum badai.

Tiga Belas menyeringai lebar, tawanya yang pendek dan getir mengisi keheningan sebelum kakinya menghujam tanah. Tubuhnya melesat bagai anak panah yang dilepaskan, jejak debu berputar di belakangnya sementara pedang-pedangnya berputar membentuk spiral mematikan menuju Lucian. Di sayap kiri, Dua Puluh Lima menghempaskan jubahnya, kain berat itu melayang seperti bendera kematian, sebelum tubuh kekarnya menerjang Magnus dengan kapak berputar yang menyambar-nyambar. Sementara dari arah berlawanan, Tiga Puluh Tujuh sudah menghilang dalam gumpalan asap hitam, hanya meninggalkan jejak bayangan berbentuk cakar yang menjalar di tanah menuju Selene.

Velgrin menyipitkan mata melihat trio anak buahnya bergerak. Di sekeliling mereka, tanah retak-retak itu mulai bergetar, serpihan batu kecil melayang setinggi mata kaki seperti ditarik oleh magnet tak kasat mata. Blaze menggeser posisi, perisainya yang penyok memantulkan cahaya petir biru dari pedang Lucian di kejauhan. Empat Puluh Satu berdiri membelakangi mereka berdua, mata elangnya terus mengawasi setiap gerakan di perimeter.

Tak jauh dari situ, dentuman pertama terdengar, dua pedang Tiga Belas bertabrakan dengan petir Lucian dalam letusan cahaya biru-putih yang membutakan. Di sisi lain, pekik Dua Puluh Lima menggema saat kapaknya bertemu tinju besi Magnus dalam gelombang kejut yang membuat pepohonan mati di sekitarnya rubuh berderai. Sementara kabut ungu Selene tiba-tiba berpusar liar, tanda bahwa Tiga Puluh Tujuh telah memulai serangan bayangannya.

Velgrin memutar pergelangan tangannya, dan seketika, ruang di sekitarnya mulai bergetar lagi.

"Sudah cukup lama aku menahan diri," Velgrin berbisik dengan suara serak bagai es kering yang digerus di marmer, matanya yang keemasan tiba-tiba memancarkan retakan cahaya ungu di bagian pupil. Udara di sekelilingnya mulai mengkristal membentuk pola geometris aneh, setiap helaan napasnya mengeluarkan kabut beku yang menggerogoti tanah. "Kini..." Tangannya terangkat perlahan seperti konduktor memimpin orkestra kiamat, "...saatnya mengakhiri lelucon ini."

Blaze tetap membisu, namun bola matanya yang ungu menyala terang memancarkan pola fractal berputar cepat, seolah dua galaksi mini sedang bertabrakan di dalam soket matanya. Darah segar menetes dari hidungnya, efek samping dari terus memaksa Violet Flash melampaui batas manusiawi.

"Time Requiem."

Cahaya biru pucat yang lebih dingin dari jantung antartika menyapu medan perang, mengubah setiap partikel udara menjadi kepingan kaca multidimensi yang berputar lambat. Suara bukan sekadar hilang, konsep getaran udara itu sendiri musnah. Burung gagak yang terbang setengah sayap membeku dalam bentuk kabur, percikan darah di udara berubah menjadi patung kristal mikroskopis. Velgrin melangkah di antara pecahan waktu yang beku, sepatu botnya meninggalkan jejak retakan di realitas seperti kaca yang diinjak.

Dengan gerakan keras yang tak bisa terdengar di ruang hampa, kakinya yang tersisa menginjak bumi sampai magma bawah tanah menyembur keluar. Energi ledakan vulkanik itu ia gunakan sebagai pelontar, tubuhnya melesat bagai meteor menyambar arah Velgrin, gerakannya benar-benar sangat cepat.

"Void Slash!"

Pedangnya menyayat tidak hanya udara, tapi lapisan realitas itu sendiri. Garis hitam pekat muncul di jejak tebasan, menyedot segala sesuatu di sekitarnya seperti luka terbuka di kain semesta. Efek Time Requiem berkerut seperti kertas yang dibakar, ditarik masuk ke dalam jurang ketiadaan itu. Suara kembali muncul dalam ledakan memekakkan telinga, deru angin, jeritan logam, dan teriakan bumi yang terluka.

Velgrin tersentak mundur selangkah, retakan kecil di wajahnya mengeluarkan asap hitam. Tapi Empat Puluh Satu sudah ada di sana, tubuhnya berpendar cahaya biru elektrik. Tangan kanannya terangkat tinggi, telapak tangan terbuka menunjuk langit, sebuah lingkaran rune kuno menyala di udara, menarik energi dari bintang-bintang yang terlihat di siang hari bolong ini.

"Celestial Pierce!"

Panah cahaya biru melesat dari tangannya, menembus bahu Velgrin dengan keras.

Velgrin terhuyung mundur beberapa langkah, tubuhnya goyah seperti menara yang mulai retak. Darah segar mengalir deras dari lubang di bahunya, menetes ke tanah membentuk genangan merah yang berkilau di bawah cahaya bulan. Napasnya berat dan tersendat-sendat, seperti hewan terlapor yang mencoba bertahan hidup. Matanya yang biasanya dingin dan penuh percaya diri kini menyala dengan amarah liar, bolak-balik menatap Blaze yang masih berdiri kokoh dan Empat Puluh Satu yang siap menyerang.

"Aku harus mengakui..." Suaranya parau keluar dari tenggorokan yang mulai mengeluarkan darah, tangan gemetarnya menekan luka di bahu. "...kalian lebih merepotkan dari yang kuduga." Kata-kata itu diiringi batuk keras yang membuat tubuhnya membungkuk, tetapi tatapannya tetap tajam bagai pisau yang ingin menusuk musuh.

Blaze mengangkat pedangnya perlahan. Api hitam di bilahnya menderu tiba-tiba, menghanguskan udara di sekitarnya sampai asap tipis mengepul. Bekas luka di wajahnya berdenyut merah, tapi sorot matanya tetap tenang. "Dan kau..." Ia melangkah maju, setiap jejak kakinya meninggalkan jejak api kecil di tanah. "...lebih lemah dari yang kuduga."

Velgrin menyeringai, tetapi kali ini tanpa kesombongan. Untuk pertama kalinya, Sang Penyihir Waktu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.