Tanpa menunggu sedetik pun, Blaze langsung melancarkan serangan balasan, gerakannya begitu cepat dan tepat, seperti kilat yang menyambar. Ia memadukan kekuatan api gelap yang membara dengan pedangnya yang berkilau, menciptakan Dark Flame Strike, sebuah serangan yang bukan hanya sekadar membakar, tapi juga dirancang untuk menghancurkan fondasi sihir lawan dari dalam, melemahkan energi waktu yang menjadi andalan Velgrin. Api hitam pekat itu membalut pedangnya, berdenyut-denyut dengan energi yang sangat kuat, sebelum akhirnya dilepaskan dengan kekuatan penuh; "Dark Flame Strike!" teriakan Blaze menggema di medan pertempuran, menandakan dimulainya serangan yang mematikan ini. Velgrin, yang masih terhuyung dari serangan Void Slash sebelumnya, hanya sempat mundur selangkah, jubahnya berkibar-kibar saat energi waktu yang melindunginya mulai goyah dan kehilangan stabilitas, tidak mampu menahan kekuatan api gelap yang merusak itu. Luka bakar hitam pekat menjalar di lengannya, menciptakan rasa sakit yang luar biasa, sebuah rasa perih yang bahkan kemampuan mengendalikan waktu Velgrin pun tak mampu sembuhkan dengan cepat, membuatnya tersentak dan menyadari kesalahannya telah meremehkan kekuatan lawannya. Matanya, yang sebelumnya memancarkan kepercayaan diri yang berlebihan, kini menatap tajam ke arah Blaze, kemampuan yang ditunjukkan lawannya kini tampak sangat berbahaya dan tak bisa diremehkan lagi. Sementara itu, Blaze tetap berdiri tegak, pedangnya masih berkilauan dengan api hitam yang berdenyut liar, Violet Flash di matanya memang masih bersinar, pengaruhnya sangat terasa, memberikannya keunggulan dalam membaca setiap gerakan Velgrin.
Udara masih bergetar oleh sisa energi serangan Blaze ketika tiba-tiba derap kaki berat bergema dari balik pepohonan, seolah bumi sendiri ikut berdentum mengikuti ritme langkah itu. Blaze terpaksa menahan sikap serangannya, otot-ototnya mengencang seperti tali busur yang dipaksa rileks. Dari belakangnya, suara itu datang – tenang, dalam, tapi memikul berat seperti guntur yang ditahan di balik awan. "Kurasa kau takkan keberatan kami menyaksikan akhir pertunjukan ini, Velgrin," ujar suara itu, sarkasme halus mengendap di setiap suku kata.
Tiga sosok muncul perlahan dari selubung kabut hutan, bayangan mereka terproyeksi panjang di tanah berlumur darah oleh cahaya bulan purnama. Yang pertama melangkah maju adalah pria berambut hitam yang diikat ketat ke belakang, helaian rambutnya berkilauan kebiruan di bawah cahaya remang seperti sayap gagak yang tertiup angin malam. wajah itu seolah diukir dari marmer gunung: alis tebal yang melengkung dingin, hidung bengkok seperti pedang tua, dan tatapan mata hijau pucat yang memantulkan cahaya layarakristal beku. Tak ada kerutan kegelisahan, tak ada kedip mata yang terburu-buru. Dia berjalan santai di antara tubuh-tubuh tak bernyawa, ujung jubah merah delima-nya menyapu tanah basah tanpa ragu, seolah kematian di sekelilingnya hanyalah dekorasi panggung yang tak layak diperhatikan.
Baju zirahnya bukan sekadar pelindung tubuh – itu mahakarya logam yang hidup. Lapisan hitam legam dengan vein-vein keperakan berdenyut lembut di setiap sambungannya, menyesuaikan gerak tubuh pemakainya seperti kulit kedua. Di bahu kirinya, jubah merah itu disematkan oleh bros berbentuk naga yang matanya menyala merah rubi. Tapi semua kemegahan itu memudar dibandingkan pedang di tangan kanannya: bilah sepanjang lengan manusia dewasa itu mengeluarkan desis elektrik konstan, petir biru menyambar-nyambar di permukaannya seperti ular listrik yang terus menerus mencakar udara. Setiap kali pedang itu bergerak, udara di sekitarnya bergetar, bau ozon menusuk hidung bercampur aroma besi panas.
Di sisi kirinya, ada seorang wanita berambut perak pucat bergerak laksana embun yang menari di atas kubangan darah. Setiap langkahnya meninggalkan jejak kabut keperakan, rambutnya yang seputih bulan peringai berkilauan memantulkan cahaya remang-remang bagai ratusan jarum perak. Matanya yang hijau bercahaya menyipit perlahan, pupil vertikalnya menyesuaikan kegelapan seperti ular nokturnal yang sedang mengintai mangsa. Jubah sutranya yang hitam legam berdesir pelan, sulaman emas berbentuk simbol-simbol alkimia berdenyut lemah seiring desahan nafasnya - mungkin semacam mantra perlindungan.
Tangannya yang pucat menggenggam erat tongkat kristal berbentuk ular kobra, dari mulut ular itu mengalir kabut ungu kehitaman yang menjalar di tanah seperti akar-akar beracun. Saat kabut menyentuh genangan darah dekat kakinya, cairan merah itu mendidih dengan suara desis memilukan. "Betapa indahnya simfoni kematian ini," bisiknya dengan suara serak manis, senyum tipisnya mengembang memperlihatkan gigi-gigi runcing yang anehnya bersinar kebiruan. Lidahnya yang bercabang dua sesekali menjilat udara, seolah sedang mencicipi rasa keputusasaan yang tergantung di sekeliling.
Tak kalah mengesankan, sosok di belakang mereka mengguncang bumi dengan setiap langkah. Pria setinggi dua kepala manusia biasa itu menggerakkan tubuh berototnya bak gletser yang bergerak perlahan namun tak terbendung. Kulitnya yang gelap berkilau oleh keringat perang, urat-urat menonjol di lehernya seperti akar pohon tua yang menjalar. Meski tangan kosongnya tergenggam santai, udara di sekitarnya bergetar seperti permukaan danau yang dihujani batu - setiap kepalan otot di lengannya menciptakan distorsi visual yang membuat siluetnya tampak bergoyang tak menentu.
Dari balik kemeja kulit yang nyaris terkoyak oleh otot-ototnya yang membengkak, tato bergambar matahari hitam di dadanya berdenyut ritmis. Saat ia menginjak tengkorak di bawah kakinya, benda itu remuk menjadi debu halus sebelum bahkan sempat mengeluarkan bunyi retak. Bau logam panas menyengat dari tubuhnya, mirip besi yang ditempa dalam suhu tinggi, membuat udara di radius tiga meter sekitar dirinya terasa pengap dan bertekanan tinggi.
Velgrin menoleh ke arah mereka. "Akhirnya kalian datang."
Pria berambut hitam itu menyilangkan tangan di depan dada, alis kirinya terangkat setengah sinis sementara mata berwarna abu-abu baja-nya menyapu medan perang bagai elang yang mengukur mangsa. "Kau bukan orang yang mudah terdesak, Velgrin," gumamnya dengan intonasi datar yang justru membuat kata-kata itu terasa seperti pisau bedah yang membedah situasi. Tangannya mengetuk-ngetuk gagang pedang berpetir itu secara ritmis, setiap sentuhan menciptakan denting kecil yang memantul di antara pepohonan hangus. "Tapi sepertinya musuhmu kali ini..." Ia berhenti sejenak, jari telunjuknya tiba-tiba mengarah ke mayat prajurit bermata melotong di dekat kaki Blaze, "...cukup merepotkan." Kalimat terakhir diucapkan sambil meniup asap tipis yang muncul dari pedangnya, seolah-olah ketegangan maut di udara hanyalah rokok santai yang sedang ia hisap.
Di sebelah kanannya, wanita berambut perak tiba-tiba melangkah ringan di atas genangan darah, riak kecil di permukaan cairan merah itu membeku seketika menjadi kristal hijau beracun. "Mungkin sudah saatnya kita..." Suaranya mendayu seperti dentang lonceng gereja tua, tangan dengan kuku panjang kebiruan memutar tongkat kristalnya hingga kabut ungu membentuk spiral di atas kepala mereka. "...sedikit bersenang-senang?" Akhir kalimatnya disertai ledakan tawa pendek yang membuat tiga burung gagak di dahan pohon terdekat terjatuh mati, paruh mereka mengeluarkan busa kehijauan. Matanya yang bercahaya hijau limau menyipit puas, lidah bercabangnya menjilat udara seperti kucing yang mencium aroma susu.
Blaze secara tak sadar merapatkan jarak dengan Empat Puluh Satu, kulit di lengan mereka merinding bukan karena dingin malam. Setiap hela nafas ketiga pendatang baru ini terasa seperti hembusan bellows raksasa yang menekan udara. Empat Puluh Satu menggenggam erat senjatanya sampai buku-buku jari memucat, merasakan getaran magis yang membuat gigi gerahamnya berdengung. Mereka bukan sekadar prajurit - ini seperti menghadapi tiga fenomena alam yang mengambil bentuk manusia. Bau ozon dari petir Lucian bercampur aroma metalik darah kering dari Magnus dan wangi anyir bunga bangkai dari Selene, menciptakan koktail sensorik yang membuat perut mual.
Velgrin menghela nafas dalam-dalam sampai bahu kurusnya naik turun dramatis, suaranya tiba-tiba menggema dengan otoritas yang tak biasa. "Lucian Drakos, pendekar petir." Saat nama itu diucapkan, pria berambut hitam itu menyentakkan pedangnya ke atas. Dentuman guntur menggelegar saat kilat biru menyambar dari langit mula-mula menghantam ujung bilah, lalu menjalar ke seluruh tubuhnya tanpa meninggalkan bekas. "Jangan terlalu antusias," geramnya pada Velgrin sementara percikan listrik masih menari-nari di ujung bulu matanya.
"Selene Vaelis, penyihir racun." Wanita itu membungkuk dramatis sementara tongkatnya menorehkan garis api hijau di udara, membentuk simbol ouroboros yang langsung mengkristal menjadi ular-ular kecil. "Oh sayangku," bisiknya pada seekor ular yang melingkar di pergelangan tangannya, "kita akan bermain sebentar." Racun dari mulut ular itu menetes ke tanah, langsung menggerogoti batu hingga membentuk lubang menganga.
"Magnus Valther, petarung tanpa senjata." Raksasa itu hanya mendengus keras, kedua tinjunya dihantamkan bersamaan sehingga gelombang kejutnya membuat Empat Puluh Satu terpaksa menahan keseimbangan. Retakan di tanah di bawah kakinya menjalar seperti sarang laba-laba raksasa, sampai-sampai akar pohon mati di dekatnya terangkat ke permukaan. Bau besi panas tiba-tiba menyengat ketika tato matahari di dadanya berpendar merah, kulitnya yang gelap berkilau seperti logam yang baru ditempa.