Chereads / Obsidian Shadow Sword / Chapter 2 - Desa Ruame

Chapter 2 - Desa Ruame

Blaze berjalan di hutan yang rimbun. Burung-burung berkicau merdu menemani langkah Blaze. Aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk memenuhi indranya. Sesekali, ia melewati sungai kecil yang airnya jernih, menawarkan kesegaran di tengah perjalanan panjangnya. Setelah melewati hutan yang terasa tak berujung, ia melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan: desa kecil yang terhampar di lembah, itu adalah desa Ruame, yang dikelilingi hamparan sawah hijau yang luas membentang hingga ke kaki bukit yang tampak hijau subur. Rumah-rumah penduduk terbuat dari kayu, beratapkan jerami, tampak sederhana namun nyaman. Asap tipis mengepul dari cerobong rumah, menandakan kehidupan yang hangat dan damai di dalamnya. Udara terasa lebih segar dan sejuk di sini. Suara gemericik air dari saluran irigasi terdengar lembut di telinganya.

Tempat ini jauh dari keramaian-pikuk dunia luar, tenang dan damai, seperti oase yang memberi kehidupan baru bagi jiwa yang letih.

Blaze berhenti di tepi hutan, hembusan angin sepoi-sepoi membawa aroma padi yang masih muda. Jubah hitam panjangnya, berat dan terasa pengap, dilepasnya dengan gerakan pelan. Kain sutra itu jatuh terkulai di rerumputan hijau. Tangannya yang terlatih dengan cekatan meraih topeng yang selama ini menutupi wajahnya. Logam dingin topeng terasa asing di kulitnya yang hangat. Perlahan, ia melepaskan topeng itu, menyingkap wajah yang selama ini tersembunyi. Debu halus beterbangan saat topeng itu terlepas. Ia mengusap wajahnya, merasakan kesegaran angin pedesaan.

Wajah Blaze terlihat lembut. Kulitnya bersih, sedikit kecokelatan, dengan rahang yang tegas. Sepasang mata tajam berwarna abu-abu kebiruan seperti badai di tengah laut, namun sinarnya menyimpan kelembutan yang membuat siapa pun merasa nyaman. Alisnya tebal dan teratur, membingkai wajahnya dengan sempurna. Hidungnya mancung, memberikan kesan aristokratis, sementara bibirnya penuh dengan lengkungan alami yang menambah daya tariknya. Rambut hitam pekatnya berkerut, tergerai hingga sedikit melewati bahu. Tingginya sekitar 160-170 sentimeter, dia terlihat masih muda, sekitaran 16 tahunan.

Matahari pagi menyinari jalan setapak yang menuju desa. Embun pagi masih membasahi rerumputan hijau di pinggir jalan. Langkah Blaze tenang dan ringan, berbeda dengan langkahnya yang terburu-buru saat berada di medan pertempuran. Ia melewati beberapa rumah penduduk, terlihat asap tipis mengepul dari cerobong, menandakan kehidupan yang sudah dimulai sejak pagi hari. Di tepi desa, dekat sebuah pohon beringin tua yang rindang, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh keriput berdiri di depan rumah kayu sederhana. Rumah itu tampak bersih dan terawat, dengan halaman kecil yang ditanami beberapa tanaman bunga. Pria itu mengenakan pakaian sederhana, tapi terlihat rapi dan bersih. Ketika melihat Blaze mendekat, pria itu mengangkat tangannya, menyapa dengan senyuman yang hangat dan ramah, seolah-olah ia telah menunggu kedatangan Blaze. Senyum itu terlihat tulus, menunjukkan keakraban dan kasih sayang.

Blaze tersenyum, senyuman yang benar-benar berbeda dari ekspresi dingin yang biasa ia tunjukkan saat bertarung. Senyumnya kali ini lebar dan tulus, menunjukkan kelegaan dan kebahagiaan. Wajah yang biasanya tersembunyi di balik bayang-bayang kini terlihat begitu menawan, seolah-olah ia adalah orang yang sama sekali berbeda. "Paman, aku pulang," katanya, suaranya ringan dan penuh kehangatan.

Kepala desa, seorang pria tua dengan rambut memutih dan kulit yang keriput akibat terik matahari, memeluk Blaze erat. Pelukan itu hangat dan penuh kasih sayang, seperti pelukan seorang ayah kepada anaknya. Kepala desa itu adalah pria yang menyelamatkannya dari aliran sungai saat ia masih bayi dan orang merawatnya dengan baik hingga remaja. Bau harum kayu dan tanah basah memenuhi indra Blaze. Ia bisa merasakan getaran kasih sayang yang tulus dari pelukan kepala desa. "Ah, Blaze! Sudah lama sekali. Kami semua merindukanmu di sini," kata kepala desa, suaranya bergetar karena haru. Air mata haru terlihat di sudut mata kepala desa. Ia mengusap punggung Blaze, menunjukkan rasa sayang dan kebahagiaan yang tak terkira. Setelah beberapa saat, pelukan itu terlepas, tetapi kehangatannya masih terasa.

Di desa itu, Blaze dikenal sebagai pria muda yang ceria dan penuh semangat. Ia sering terlihat membantu warga menanam padi, memperbaiki saluran irigasi, atau membantu membangun rumah. Anak-anak sering berkumpul di sekitarnya, tertawa riang karena lelucon-lelucon sederhana yang diceritakan Blaze. Para wanita desa seringkali memperhatikannya dari kejauhan, terpikat oleh ketampanan dan kebaikan hatinya. Para pria desa menghormatinya, melihatnya sebagai salah satu dari mereka yang bekerja keras dan tidak pernah sombong. Blaze selalu ramah dan murah senyum kepada semua orang, tanpa membedakan kaya atau miskin, tua atau muda. Ia selalu siap membantu siapa pun yang membutuhkan bantuannya.

Blaze tidak pernah mengeluh, bahkan ketika tugas yang diberikan kepadanya menghabiskan waktu.

Suasana pasar desa ramai dengan aktivitas jual beli. Bau harum rempah-rempah dan sayuran segar memenuhi udara. Blaze, dengan tubuh tegap namun langkahnya ringan, bergerak di antara kerumunan. Ia terlihat membawa keranjang anyaman yang penuh dengan sayuran hijau segar, tujuannya adalah seorang nenek tua yang kesulitan berjalan. Ia membantu nenek itu membawa barang belanjaannya hingga ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, ia berbincang ramah dengan nenek itu, menanyakan kabar dan kesehatannya. Di sepanjang perjalanan menuju rumah nenek, Blaze juga berbincang dengan para pedagang lain, menanyakan kabar dan menanyakan hasil panen mereka. Ia menyisipkan humor ringan yang membuat mereka tertawa lepas. Senyumnya tulus dan ramah, menunjukkan keramahan dan kebaikan hati. Tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa pria sederhana dan ramah ini adalah seorang pembunuh bayaran. Bahkan, anak-anak kecil pun berlarian di dekatnya tanpa rasa takut.

Malam berikutnya, di depan perapian kecil yang api unggunnya berkobar, menghangatkan ruangan kayu sederhana itu, kepala desa menatap Blaze dengan penuh perhatian. Cahaya api yang berdansa di dinding kayu menciptakan suasana hangat dan nyaman. Aroma kayu bakar yang membakar memberikan kehangatan tersendiri.

"Kau tampak lebih dewasa, Blaze. Apa yang membawamu kembali ke desa ini?" tanya pria tua itu sambil menyerahkan secangkir teh hangat.

Uap teh hangat mengepul di udara dingin malam. Blaze menyesap teh itu perlahan, merasakan hangatnya cairan itu menenangkan tenggorokannya yang sedikit kering. Ia menatap api unggun yang berkobar di perapian, bayangannya berdansa di dinding kayu. "Aku hanya ingin pulang," katanya, suaranya lembut. "Rasanya seperti terlalu lama aku berada jauh dari tempat ini," lanjutnya, menatap wajah kepala desa yang penuh perhatian. Matanya yang teduh menyembunyikan beban berat yang selama ini ia pikul. Ia tidak ingin pria tua yang telah merawatnya sejak kecil itu tahu tentang masa lalunya yang kelam, tentang jejak pembunuhan yang telah ia tinggalkan di berbagai tempat. Ia ingin menikmati kedamaian desa ini, setidaknya untuk sementara waktu.

Hidup di desa ini memberikan ketenangan sementara bagi Blaze. Setiap pagi, sebelum matahari terbit sepenuhnya, ia sudah bangun dan membantu penduduk desa dengan berbagai tugas sehari-hari. Ia membantu memotong kayu bakar untuk kebutuhan memasak, memperbaiki pagar yang rusak di kebun warga, atau mengangkut air dari sumur menggunakan katrol sederhana menuju rumah-rumah warga yang membutuhkan. Tangannya yang terampil dan kuat membuat pekerjaannya selalu cepat selesai. Ia juga sering terlihat bermain dengan anak-anak di lapangan terbuka, mengajari mereka berbagai permainan tradisional.

Senyumnya yang tidak pernah pudar, membuat semua orang merasa bahwa Blaze adalah bagian yang tak terpisahkan dari desa tersebut.

Tetapi, di balik senyuman dan tawa yang ia tunjukkan, Blaze terus membawa kenangan akan Ordo Carmesim. Dalam keheningan malam, saat semua orang tertidur, ia memandang langit berbintang dari jendela kamarnya. Ia memikirkan gurunya, Master Kael.

Esok harinya, Blaze berjalan menuju sungai yang melintasi desa. Tempat itu adalah Saksi bisu bagaimana ia ditemukan dan diberi kesempatan untuk hidup. Ia meraih udara jernih dengan tangannya, membasuh wajahnya yang bentuknya rumit.