Chereads / Hacker's Heart / Chapter 7 - Kegelapan

Chapter 7 - Kegelapan

Hutan di tepi sungai terasa gelap dan dingin, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang temaram. Felza dan Rendra bergerak dengan hati-hati, menyusuri jalur di antara pepohonan yang lebat.

Deru helikopter masih terdengar samar, tetapi sorot lampunya semakin menjauh. Setidaknya, untuk sementara waktu, mereka berhasil lolos dari pengejaran.

Felza memeriksa peta digitalnya, memastikan mereka tetap berada di jalur menuju markas Zayn.

Perangkat itu menampilkan rute yang rumit, tetapi Felza tahu mereka tidak punya banyak pilihan. Jalan menuju markas melibatkan perjalanan melewati area yang sulit dijangkau, termasuk hutan ini.

"Kita harus cepat," katanya dengan nada rendah. "Kalau mereka memanggil bala bantuan, kita tidak akan punya waktu untuk istirahat."

Rendra, yang masih mencoba menyesuaikan napasnya, mengangguk. "Aku percaya padamu. Tapi… berapa jauh lagi?"

Felza memindai peta lagi. "Sekitar dua kilometer. Tapi jalurnya sulit, dan kita harus tetap waspada."

======

Mereka berjalan dalam diam untuk beberapa waktu, suara langkah kaki mereka hampir tenggelam dalam suara alam di sekitar. Namun, Felza tidak bisa menghilangkan rasa was-wasnya.

Pikirannya terus memutar ulang momen-momen terakhir di gedung tadi. Ledakan, pengejaran, dan keputusan nekatnya untuk melompat dari truk.

"Apa menurutmu mereka tahu ke mana kita pergi?" tanya Rendra akhirnya, memecah keheningan.

Felza berhenti sejenak, memandang ke arah langit yang tertutup pepohonan. "Kemungkinan besar. Tapi mereka tidak akan tahu rute pastinya. Zayn sengaja memilih lokasi markas yang sulit dilacak. Kita punya keuntungan di sini."

"Tapi Zayn… kau yakin dia tidak terlibat?" Rendra mengingatkan. "Dia bekerja di dunia yang sama dengan mereka."

Felza menatap Rendra tajam. "Zayn mungkin berbahaya, tapi dia bukan pengkhianat. Setidaknya, aku yakin dia tidak akan menyerahkan kita. Lagipula, dia yang memberiku peta ini. Tanpa dia, kita sudah mati sejak awal."

Rendra menghela napas. "Baiklah. Tapi tetap saja, kita harus hati-hati."

Felza tidak menjawab, hanya melanjutkan langkahnya. Dalam hati, ia tahu Rendra punya alasan untuk meragukan siapa pun.

Dunia yang mereka masuki penuh dengan tipu daya dan pengkhianatan. Namun, untuk saat ini, ia memilih percaya pada Zayn.

Saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam hutan, Felza merasakan sesuatu yang tidak beres. Suasana terlalu sepi, bahkan untuk hutan di tengah malam. Ia menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuat Rendra menabrak punggungnya.

"Ada apa?" bisik Rendra.

Felza mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam. Ia memejamkan mata, mencoba mendengar suara selain derak daun kering di bawah kaki mereka.

Dalam beberapa detik, ia mendengar sesuatu, suara langkah yang pelan, nyaris tidak terdengar, di sekitar mereka.

"Kita tidak sendiri," katanya pelan.

Rendra menegang. "Mereka?"

Felza mengangguk. "Mungkin. Atau pemburu bayaran. Aku tidak yakin."

Mereka berdua berdiri diam selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya.

Lalu, tanpa peringatan, suara tembakan terdengar, memecah keheningan. Peluru mengenai pohon di dekat mereka, membuat serpihan kayu beterbangan.

"Lari!" Felza berteriak.

Mereka melesat di antara pepohonan, menghindari tembakan yang terus memburu. Felza memimpin, mencari jalur yang lebih rapat dengan semak-semak untuk menghalangi pandangan pengejar mereka.

Rendra, yang mengikuti di belakang, melirik ke belakang dan melihat bayangan orang-orang bersenjata yang mendekat. "Mereka terlalu dekat, Felza!"

Felza merogoh tasnya lagi, kali ini mengeluarkan perangkat kecil berbentuk silinder. Tanpa ragu, ia melemparkannya ke tanah di belakang mereka.

Perangkat itu meledak dengan suara keras, mengeluarkan kilatan cahaya yang menyilaukan.

Mereka terus berlari, memanfaatkan kekacauan untuk menciptakan jarak. Namun, Felza tahu itu hanya solusi sementara. Orang-orang ini tidak akan menyerah dengan mudah.

Setelah beberapa menit berlari tanpa henti, mereka menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik bebatuan besar. Felza segera menarik Rendra masuk, dan mereka berdua bersembunyi di dalam.

"Napas dulu," kata Felza, mencoba mengatur pernapasannya sendiri.

Rendra duduk di lantai gua, bersandar pada dinding batu yang dingin. "Felza, kita tidak bisa terus seperti ini. Mereka pasti akan menemukannya."

"Aku tahu," jawab Felza. "Tapi kita butuh waktu untuk berpikir."

Ia membuka perangkat digitalnya lagi, mencoba memindai lokasi musuh. Perangkat itu menunjukkan beberapa titik panas yang bergerak mendekati area mereka. Felza menggigit bibirnya, merasa tertekan oleh waktu yang terus berdetak.

"Aku punya ide," katanya akhirnya.

Rendra menatapnya dengan cemas. "Apa lagi rencanamu kali ini?"

Felza tersenyum samar. "Kita akan membuat mereka berpikir kita sudah mati."

Felza memeriksa isi tasnya, mencari bahan-bahan yang bisa ia gunakan. Ia menemukan beberapa alat peledak kecil yang tersisa, cukup untuk menciptakan ledakan yang terlihat meyakinkan.

"Kita akan memasang ini di pintu masuk gua," jelasnya. "Saat mereka mendekat, kita ledakkan, dan itu akan membuat mereka berpikir kita terkubur di dalamnya."

Rendra mengernyit. "Itu ide yang gila. Bagaimana kalau kita benar-benar terkubur?"

"Kita tidak akan ada di sini saat itu terjadi," kata Felza dengan tenang. "Ada celah di bagian belakang gua ini. Aku sudah memeriksanya. Kita bisa keluar dari sana sebelum ledakan terjadi."

Rendra menghela napas, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah. Aku ikut."

Mereka segera bekerja, memasang alat peledak di pintu masuk gua. Setelah semuanya siap, mereka bergerak menuju celah di bagian belakang gua.

Felza memastikan perangkat peledak diaktifkan sebelum mereka merangkak keluar melalui celah yang sempit.

Saat mereka berada di luar, Felza menekan tombol pada perangkatnya. Ledakan besar mengguncang tanah, dan pintu masuk gua runtuh, menimbulkan debu dan batuan yang beterbangan.

Dari kejauhan, Felza dan Rendra bisa mendengar suara musuh yang terkejut dan kebingungan.

"Mereka pasti mengira kita sudah mati," kata Felza, menepuk bahu Rendra.

Rendra mengangguk, tetapi ia tetap tampak cemas. "Ini hanya memberi kita waktu, Felza. Mereka akan menyadari kebenarannya cepat atau lambat."

"Itu cukup," jawab Felza dengan tegas. "Sekarang, kita harus bergerak sebelum mereka kembali ke jalur kita."

Dengan sisa tenaga mereka, Felza dan Rendra melanjutkan perjalanan menuju markas Zayn. Meski tubuh mereka lelah dan terluka, semangat mereka tetap menyala.

Saat fajar mulai menyingsing, mereka akhirnya melihat tanda-tanda keberadaan markas.

Sebuah bangunan kecil yang tampak seperti rumah biasa berdiri di tengah-tengah hutan, dengan pagar kawat yang mengelilinginya.

"Ini dia," kata Felza dengan napas lega.

Rendra menatap bangunan itu dengan ragu. "Kau yakin ini aman?"

Felza mengangguk. "Zayn mungkin punya banyak rahasia, tapi dia selalu menepati janjinya."

Mereka mendekati pintu depan, dan Felza mengetuk dengan pola tertentu, kode yang sudah disepakati sebelumnya. Setelah beberapa detik, pintu terbuka, dan Zayn muncul dengan senyum lebar di wajahnya.

"Kalian berdua terlihat seperti habis perang," kata Zayn, mempersilakan mereka masuk.

"Karena kami memang habis perang," jawab Felza, melewati Zayn.

Zayn menutup pintu dan menguncinya rapat. "Kalau begitu, ayo kita bahas rencana berikutnya."

Felza dan Rendra saling berpandangan. Mereka tahu ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang penuh bahaya.

=========