Felza melangkah turun dari kereta di Stasiun Tugu, Yogyakarta, dengan sebuah tas selempang sederhana di pundaknya.
Hawa sejuk khas kota itu menyapanya, membawa aroma nostalgia yang memeluk hati. Setelah semua yang ia lalui, Yogyakarta adalah tempat di mana semua cerita hidupnya dimulai, tempat ia selalu kembali.
Namun, kali ini berbeda. Ia tidak sekadar mencari ketenangan, tapi ia juga mencari penguatan. Rumah adalah tempat ia bisa menepi, meski hanya sementara, dari arus dunia yang deras dan melelahkan.
Langit sudah mulai merona keemasan ketika Felza tiba di depan rumah keluarganya. Rumah joglo itu masih sama seperti dulu, berdiri kokoh dengan halaman yang penuh bunga mawar dan melati.
Pohon mangga tua di sudut halaman masih setia menaungi, seperti menyambutnya dengan cabang-cabang yang melambai pelan.
Felza berdiri di depan pagar sejenak, menatap rumah itu dengan senyum penuh arti. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu pagar.
Suara pintu berdecit memecah kesunyian sore. Dari dalam rumah, suara langkah kaki kecil terdengar mendekat.
"Kak Felza!" seru Alisha begitu ia melihat kakaknya di ambang pintu.
Adik perempuannya yang berusia 17 tahun itu berlari keluar, rambut panjangnya yang hitam tergerai indah. Ia melompat ke pelukan Felza dengan penuh semangat.
"Kamu pulang! Akhirnya! Aku kangen banget!"
Felza tertawa kecil sambil memeluk Alisha erat. "Aku juga kangen kamu, Al. Kamu makin cantik sekarang."
"Dan Kakak makin kurus," balas Alisha sambil tersenyum lebar.
Sebelum Felza sempat menjawab, suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari dalam rumah. "Felza? Kamu sudah sampai?"
Ayahnya, Hairi Wellian, muncul di beranda. Di belakangnya, ibunya, Sarah Amber, terlihat menahan air mata bahagia.
"Ayah... Ibu..." ucap Felza pelan.
Sarah segera mendekat, memeluk putranya dengan penuh kehangatan. "Kenapa nggak bilang mau pulang? Kami kangen sekali!"
Hairi tersenyum kecil di belakang istrinya, menatap Felza dengan bangga. "Selamat datang di rumah, Nak. Akhirnya kamu kembali."
Felza hanya bisa tersenyum, menahan haru. "Aku selalu ingat rumah ini, Yah. Aku hanya butuh waktu untuk kembali."
Malam itu, meja makan keluarga Wellian penuh dengan hidangan sederhana tapi istimewa. Sayur lodeh, tempe goreng, sambal terasi, dan ayam bakar tersaji hangat, menebarkan aroma lezat ke seluruh ruangan.
Felza duduk di antara ayah dan adiknya, menikmati makanan yang sudah lama tidak ia cicipi. Setiap gigitan membawa kenangan masa kecilnya, ketika makan malam seperti ini adalah momen yang ia nantikan setiap hari.
"Jadi, gimana pekerjaanmu di luar sana, Nak?" tanya Hairi sambil menuangkan teh ke cangkir Felza.
Felza berpikir sejenak sebelum menjawab. "Sibuk, Yah. Banyak hal yang harus diselesaikan. Tapi aku baik-baik saja."
Hairi mengangguk, meskipun ia tahu anak sulungnya itu tidak akan bercerita banyak. "Aku dengar berita akhir-akhir ini soal pembongkaran kasus besar. Banyak orang membicarakannya. Kamu tahu soal itu?"
Felza tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. "Aku dengar sedikit, Yah. Semoga itu bisa membawa perubahan yang baik."
Ibunya memandangnya dengan cermat. "Kamu kelihatan lelah, Nak. Apa kamu baik-baik saja?"
Felza mengangguk. "Aku baik-baik saja, Bu. Di sini, aku merasa lebih tenang."
Alisha yang duduk di seberang Felza ikut menimpali. "Kak, kamu nggak boleh pergi lama-lama lagi. Aku kangen ngobrol sama kamu."
Felza tersenyum lembut, menatap adiknya. "Aku janji, Al. Kali ini aku akan tinggal lebih lama."
Setelah makan malam, Felza duduk di teras bersama ayahnya. Langit malam Yogyakarta dipenuhi bintang-bintang, dan angin sepoi-sepoi membawa keharuman bunga melati dari taman kecil di depan rumah.
"Kamu sudah banyak berubah, Felza," kata Hairi, memecah keheningan.
Felza menoleh ke arah ayahnya. "Berubah bagaimana, Yah?"
"Kamu terlihat lebih dewasa, tapi aku juga bisa melihat beban yang kamu bawa. Ada sesuatu yang mengganggumu, bukan?"
Felza terdiam sejenak sebelum menjawab. "Hidup di luar sana tidak mudah, Yah. Tapi aku selalu ingat apa yang Ayah ajarkan. Jangan pernah menyerah."
Hairi tersenyum tipis, menepuk bahu Felza. "Kamu selalu membuat Ayah bangga, Nak. Tapi ingat, kamu selalu punya rumah di sini. Apa pun yang terjadi."
Felza mengangguk, merasa lebih ringan. Kata-kata ayahnya selalu menjadi penguat dalam setiap langkahnya.
Malam semakin larut, tapi Alisha belum juga tidur. Ia duduk di kamar Felza, bersandar di sisi tempat tidur sambil memandang kakaknya.
"Kak, aku selalu cerita ke teman-temanku kalau kakakku ini jago banget di komputer. Mereka semua kagum," kata Alisha sambil tersenyum bangga.
Felza tertawa kecil. "Jago itu biasa aja, Al. Yang penting, kamu juga belajar rajin."
"Aku mau jadi seperti Kakak. Kuat, pintar, dan berani."
Felza menatap adiknya dengan lembut. "Kamu nggak perlu jadi seperti aku, Al. Kamu cukup jadi dirimu sendiri. Itu yang paling penting."
Selama beberapa hari berikutnya, Felza menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ia membantu ibunya memasak, menemani ayahnya ke pasar, dan bercanda dengan Alisha di halaman.
Setiap malam, ia duduk di teras, menikmati ketenangan yang hanya bisa ia temukan di rumah.
Meski ia tahu perjuangannya di luar sana belum selesai, momen-momen sederhana ini memberinya kekuatan baru untuk melangkah maju.
Rumah adalah tempat ia menemukan dirinya kembali. Dan kali ini, ia tidak akan pergi terlalu lama.
=========