Hari itu berjalan seperti biasa di desa tempat Felza tinggal bersama keluarganya di pinggiran Yogyakarta.
Hawa pagi terasa sejuk, dan suara kicau burung menjadi musik pengiring kehidupan desa yang tenang.
Felza duduk di teras rumah, menikmati secangkir kopi hitam buatan ibunya sambil membaca buku yang sudah lama ia tinggalkan.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Tepat menjelang siang, listrik tiba-tiba padam. Tidak hanya di rumah Felza, tetapi di seluruh desa.
"Listrik mati?" gumam Alisha yang baru saja keluar dari kamar.
Felza mengangkat wajah dari bukunya dan melihat ke luar jendela. Ia mendengar beberapa tetangga berdiskusi di depan rumah masing-masing. Beberapa anak kecil berlarian sambil berteriak, "Mati lampu! Mati lampu!"
"Ayah, listrik sering mati seperti ini?" tanya Felza saat ayahnya duduk di sebelahnya di teras.
Hairi menggeleng. "Jarang sekali. Biasanya PLN cepat mengatasi masalah kalau ada gangguan."
Sarah keluar dari dapur, membawa beberapa kipas tangan. "Cuaca panas begini, kalau listrik mati lama, bisa bikin orang susah."
Felza hanya mengangguk kecil, tapi naluri analitisnya langsung bekerja. Ia tahu bahwa mati listrik massal seperti ini, apalagi di desa kecil, jarang terjadi tanpa alasan yang jelas.
===
Waktu berlalu, tetapi listrik tetap tidak menyala. Menjelang sore, para tetangga mulai menunjukkan tanda-tanda frustrasi. Banyak yang keluar rumah, berdiskusi di depan warung kecil milik Pak Warto, kepala dusun.
"Kata orang PLN, ini cuma gangguan biasa," ujar Pak Warto, berusaha menenangkan warganya. "Tapi kok lama banget ya?"
"Biasa apanya, Pak?" seorang ibu rumah tangga menyela. "Belum pernah listrik mati seharian penuh begini!"
Felza mendengarkan dari kejauhan, berdiri di pinggir halaman. Ia mengamati gerak-gerik orang-orang dengan saksama. Ada sesuatu yang terasa janggal baginya, meskipun ia belum bisa memastikan apa.
Malam tiba, tetapi listrik belum juga menyala. Desa itu kini diselimuti kegelapan total. Beberapa rumah menggunakan lilin dan lampu minyak, sementara suara generator kecil terdengar samar dari beberapa sudut.
"Kak Felza, ini aneh banget," kata Alisha, duduk di sebelah kakaknya di teras. "Kenapa nggak ada kabar pasti soal ini?"
Felza hanya diam, tapi pikirannya terus bekerja. Ia memutuskan untuk memeriksa perangkat laptopnya yang sudah ia isi daya sebelumnya. Ia menyalakan hotspot dari ponselnya dan mulai mencari informasi.
Satu hal yang langsung menarik perhatiannya, ada laporan kecil di salah satu forum bawah tanah yang menyebutkan aktivitas aneh di daerah Yogyakarta.
Beberapa pengguna menyebutkan adanya keterlibatan pihak tertentu yang mencoba memanipulasi jaringan listrik di desa-desa kecil.
"Ini bukan kebetulan," gumam Felza pelan, memastikan bahwa informasi itu tidak terlihat oleh keluarganya.
===
Keesokan harinya, desa masih tanpa listrik. Felza memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa, mencari tahu lebih banyak.
Di tengah perjalanan, ia melihat beberapa pria tak dikenal berdiri di sudut jalan, berbicara pelan dengan bahasa tubuh yang mencurigakan.
Felza memperhatikan mereka dari jauh, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Ia mencatat wajah-wajah mereka dalam ingatannya sebelum melanjutkan perjalanan.
Ketika ia kembali ke rumah, ia langsung membuka laptopnya lagi. Dengan keahliannya dalam meretas, Felza mulai melacak aktivitas jaringan di daerah sekitar.
Ia memeriksa log aktivitas dari server PLN lokal dan menemukan sesuatu yang mencurigakan—ada jejak manipulasi data.
"Ini bukan masalah teknis biasa," gumam Felza sambil mengetik cepat. "Seseorang sengaja memutus aliran listrik ke desa ini."
Ia menggali lebih dalam, dan setelah beberapa jam bekerja, ia menemukan nama yang berulang kali muncul dalam log aktivitas itu, Sudirman Prasetya, seorang pebisnis yang sudah sering terdengar namanya dalam lingkaran korupsi. Sudirman dikenal sebagai pengusaha yang memiliki hubungan erat dengan beberapa politisi.
Namun, yang lebih mengejutkan, Felza menemukan bukti bahwa Sudirman juga terhubung dengan kelompok kriminal tertentu, sebuah sindikat mafia yang sering terlibat dalam kegiatan ilegal seperti pencucian uang dan sabotase infrastruktur.
===
Felza memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang Sudirman dan jaringan kriminalnya.
Dengan akses ke beberapa data rahasia, ia menemukan bahwa Sudirman bekerja sama dengan pemerintah untuk menjalankan misi tertentu, salah satunya adalah memadamkan listrik di desa ini untuk mengalihkan perhatian dari operasi besar yang sedang berlangsung di kota lain.
"Sial," gumam Felza. "Mereka menggunakan desa ini sebagai umpan."
Ia tidak bisa tinggal diam. Sebagai seseorang yang percaya pada keadilan, Felza tahu ia harus melakukan sesuatu.
Malam itu, setelah keluarganya tidur, Felza keluar dari rumah dengan laptopnya. Ia duduk di bawah pohon mangga di halaman belakang, memastikan bahwa ia tidak terpantau.
Dengan koneksi internet yang terbatas, ia mulai meretas sistem yang lebih dalam untuk mengungkap rencana penuh dari sindikat ini.
Namun, di tengah pekerjaannya, ia merasakan kehadiran seseorang. Ia berhenti sejenak dan berpura-pura mematikan laptopnya.
"Felza," sebuah suara memanggil.
Ia menoleh, dan melihat ayahnya berdiri di ambang pintu. "Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?"
Felza tersenyum kecil. "Cuma kerja, Yah. Aku nggak bisa tidur."
Hairi mendekat, menatap laptop di pangkuan Felza. "Kamu tahu sesuatu tentang mati listrik ini, ya?"
Felza terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Ada sesuatu yang nggak beres, Yah. Tapi aku belum bisa cerita banyak."
Hairi menghela napas panjang. "Kamu selalu punya cara sendiri untuk menghadapi masalah. Tapi hati-hati, Nak. Dunia ini penuh dengan orang-orang yang tidak segan-segan menyakiti demi kepentingan mereka."
Felza menatap ayahnya dengan rasa hormat. "Aku tahu, Yah. Tapi aku nggak bisa diam."
Hairi tersenyum kecil, menepuk bahu anaknya. "Kalau itu keputusanmu, Ayah percaya padamu."
Malam itu, Felza terus bekerja hingga dini hari. Ia akhirnya berhasil menemukan lokasi markas mafia yang bertanggung jawab atas pemadaman ini.
Markas itu ternyata tidak jauh dari desa, di sebuah gudang tua yang terletak di pinggir jalan utama.
Felza memutuskan untuk menyusun rencana. Ia tahu bahwa menghadapi sindikat ini tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan mereka terus merugikan masyarakat.
Dengan langkah hati-hati, ia mulai menyiapkan data untuk dikirimkan ke beberapa pihak berwenang.
Felza sadar bahwa langkah ini berisiko, tetapi ia tidak peduli. Baginya, kebenaran harus ditegakkan, meskipun itu berarti menghadapi bahaya.
Di hari ketiga, listrik di desa akhirnya kembali menyala. Para warga merasa lega, tetapi Felza tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menyimpan data yang telah ia kumpulkan, bersiap untuk melanjutkan perjuangannya.
Bagi Felza, desa ini bukan hanya tempat tinggal. Ini adalah rumah yang harus ia lindungi, apa pun yang terjadi. Dan kali ini, ia siap menghadapi siapa pun yang mencoba mengancamnya.
=========