Keheningan malam itu terasa lebih berat dari biasanya. Felza melangkah cepat di trotoar yang gelap, hanya diiringi oleh suara sepatu mereka yang terinjak di atas aspal basah.
Rendra berjalan di sampingnya, matanya tetap waspada. Mereka baru saja melewati konfrontasi dengan beberapa orang yang tampaknya mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya.
Itu adalah pertemuan yang penuh ketegangan, dan meski mereka berhasil lolos, Felza tahu itu belum berakhir. Mereka hanya semakin dekat dengan bahaya yang jauh lebih besar.
Rendra mendekat dan berbicara dengan nada serius. "Felza, kita nggak bisa terus bersembunyi seperti ini. Mereka sudah tahu kita ada di sini. Kalau kita nggak bergerak cepat, mereka akan menemukan kita lebih dulu."
Felza mengangguk pelan, meskipun hatinya penuh dengan kecemasan. Dia tahu benar apa yang Rendra maksud.
Mereka sedang menghadapi sistem yang jauh lebih kuat dan lebih canggih dari yang mereka duga. Dan di balik semua itu, masih ada pertanyaan besar yang belum terjawab, siapa yang sebenarnya mengendalikan segalanya?
Namun, ada satu hal yang Felza yakini, mereka tidak akan mundur. Tak peduli betapa gelap dan berbahayanya jalan yang mereka tempuh, ia tahu mereka tidak bisa menyerah.
Setiap langkah yang mereka ambil adalah langkah menuju kebenaran. Tetapi semakin mereka menggali, semakin dalam pula mereka terperangkap dalam sebuah jaringan yang sulit untuk keluar darinya.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam melaju pelan di belakang mereka. Felza dan Rendra menoleh, waspada.
Mobil itu berhenti tepat di depan mereka, dan pintu belakang terbuka. Seorang pria muda dengan penampilan rapi dan wajah serius terlihat duduk di dalam.
"Masuk," perintah pria itu dengan suara yang tenang namun penuh otoritas.
Felza dan Rendra saling berpandangan, ragu-ragu. Tapi tak ada waktu untuk berpikir panjang.
Mereka tahu bahwa berada di luar di tengah malam seperti ini adalah risiko besar, dan mungkin pria ini tahu lebih banyak dari mereka. Dalam keheningan yang tegang, mereka akhirnya memutuskan untuk masuk.
Begitu pintu mobil tertutup, pria itu menghidupkan mesin dan mulai melaju. Mobil itu bergerak cepat, menyusuri jalan-jalan kota yang sepi.
Felza merasakan ketegangan semakin meningkat. Ia mencoba untuk tetap tenang, namun tetap waspada terhadap segala kemungkinan.
"Apa yang kalian cari?" pria itu akhirnya berbicara, suaranya datar namun penuh tekanan.
Felza menatap pria itu dengan penuh perhatian. "Siapa kamu?" tanyanya, lebih banyak untuk menjaga jarak dan memverifikasi siapa yang sebenarnya mereka hadapi.
Pria itu menatap mereka sejenak, lalu menjawab. "Nama saya Zayn. Saya bekerja dengan kelompok yang... berusaha mengungkap apa yang kalian coba ungkapkan. Kalian sedang di jalur yang berbahaya, dan kalian akan membutuhkan lebih dari sekedar keberanian untuk melawan Sixeta."
Felza tersentak mendengar nama itu. "Sixeta?" gumamnya, hampir tak percaya. "Kalian bekerja dengan mereka?"
Zayn menatap Felza dengan tatapan tajam. "Bukan. Kami melawan mereka. Dan kalian juga harus melakukannya, jika kalian ingin hidup."
Felza merasa darahnya berdesir mendengar pernyataan itu. Zayn berbicara dengan keyakinan yang tidak bisa dia abaikan. Segala sesuatu yang mereka hadapi saat ini ternyata jauh lebih besar daripada yang dia bayangkan.
Setelah beberapa saat, mobil itu berhenti di sebuah gedung besar yang terletak jauh dari keramaian.
Begitu turun, Zayn memimpin mereka masuk ke dalam, melewati pintu belakang yang tertutup rapat, menyusuri lorong-lorong gelap hingga sampai ke sebuah ruang kontrol besar yang dipenuhi layar-layar komputer yang menyala.
Zayn mengarahkannya ke layar yang menunjukkan peta dan berbagai data. "Ini adalah tempat kami memantau Sixeta," katanya sambil menunjuk layar-layar itu. "Sixeta adalah kelompok yang mengendalikan hampir segala aspek di negara ini, dari politik hingga ekonomi, dan mereka akan melakukan apa saja untuk menjaga kontrol mereka. Kami tahu kalian telah mulai menggali kebenaran itu, dan kami juga tahu apa yang terjadi pada Cecilia."
Felza menghela napas. "Mereka yang membunuhnya," bisiknya, matanya penuh amarah dan kesedihan. "Kenapa kalian tidak memberitahu kami lebih awal?"
Zayn menatapnya dengan tajam, sedikit ragu. "Kami tidak bisa mempercayakan informasi ini begitu saja. Sixeta memiliki mata di mana-mana. Kami bekerja dengan sangat hati-hati. Tapi sekarang, kita tidak punya banyak waktu. Sixeta mulai bergerak, dan jika kalian ingin melanjutkan, kalian harus siap menghadapi mereka."
Felza merasa seperti sedang berada di ujung jurang. Sixeta, kelompok yang selama ini ia kira hanya sebuah legenda atau cerita yang beredar di kalangan para aktivis, ternyata nyata dan lebih besar dari yang dia bayangkan.
Semua yang ia temukan, semua yang ia coba ungkap, mengarah pada kelompok ini. Mereka adalah pihak yang mengendalikan segalanya, dan mereka tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi mereka.
"Tapi apa yang harus kita lakukan?" tanya Felza, suaranya tegang. "Bagaimana kita bisa melawan mereka?"
Zayn menjawab dengan tegas, "Kalian tidak akan bisa menghadapinya dengan kekuatan fisik atau teknologi yang kalian miliki saat ini. Tetapi kita punya informasi, dan itu lebih berharga dari apapun."
Sebelum Felza bisa merespon, alarm yang keras tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan di ruangan itu. Felza dan Rendra menoleh cepat.
Layar-layar di ruangan itu berubah dengan cepat, menampilkan banyak informasi yang berpindah-pindah dengan kecepatan luar biasa.
"Mereka datang," kata Zayn, nada suaranya mendesak. "Sixeta tahu kita ada di sini. Kita harus segera keluar."
Namun, tak lama setelah itu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu ruangan terbuka, dan sekelompok pria bersenjata masuk dengan sigap.
Mereka mengenakan pelindung tubuh dan membawa senjata otomatis yang mengarah langsung ke mereka.
"Jangan coba-coba melawan," salah satu pria bersenjata berteriak. "Serahkan diri kalian sekarang juga."
Zayn melangkah maju, tangannya meraih pistol yang tersembunyi di balik jasnya. "Kalian tidak akan menghentikan kami," katanya dengan tenang, meskipun jantungnya berdebar cepat.
Felza tidak menunggu lebih lama. Instingnya bekerja cepat. Ia menoleh ke Rendra, memberi isyarat agar mereka segera bergerak.
Dengan gerakan gesit, Felza dan Rendra berlari ke arah pintu belakang ruangan yang lain, menyelamatkan diri dari kejaran para penyerang.
Namun, sebelum mereka sempat keluar, sebuah ledakan hebat mengguncang seluruh gedung.
Pintu dan dinding di sekitar mereka hancur, melemparkan mereka ke lantai dengan kekuatan yang luar biasa. Felza merasakan kepalanya terhantam keras, pandangannya kabur sejenak.
Saat ia membuka mata, asap tebal mengelilingi mereka, dan suara tembakan masih terdengar di kejauhan.
Felza segera bangkit, menarik Rendra yang masih terduduk di lantai, dan berlari melalui lorong-lorong yang gelap.
Mereka harus bertahan hidup. Ini adalah perjuangan yang baru dimulai.
=========