"Itu.. Om Steven," ucap Trisya setelah lama terdiam.
"Steven?"
"Tua bangka yang menjadikan aku wanita simpanannya tapi memperlakukan aku bagai hewan peliharaan.. Dia memberi aku kemewahan, apartemen mahal, uang yang sangat banyak dalam rekeningku. perhiasan mahal yang sangat banyak. Tapi aku diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi.." Airmata jatuh ke pipinya. "Dia kerap memaksaku melakukan hal di luar nalar hanya untuk membuatnya puas."
Ardi menarik tubuh Trisya ke pelukannya. Dibiarkannya wanita itu melepaskan tangisan di pelukannya.
"Sudah, tidak usah diingat. Kamu istirahat ya?"
"Aku takut, bang.."
"Tidak apa-apa. Abang akan melindungimu."
***
Pagi itu, Ardi baru masuk ke kamar ketika melihat Trisya yang sedang mengenakan pakaian.
"Kamu ke kampus?" tanya Ardi.
"Iya, hanya sebentar."
"Tidak apa-apa?"
"Ya.. Tidak enak kalau libur. Sudah beberapa kali tidak datang ke kampus," Trisya memberikan kemeja pada Ardi.
"Jangan pulang kalau belum abang jemput ya?"
"Siap, boss.. Aku siapkan sarapan untuk abang dulu ya?"
Trisya berjalan keluar.
Ardi memandang handphone Trisya yang terletak di atas tempat tidur. Sebuah panggilan masuk.
Ardi meraih handphone itu.
"Hallo.."
"Ah, kau lagi.. Sepertinya kau sangat khawatir jika istrimu akan kembali ke pelukanku."
"Steven?"
"Haha.. Akhirnya kau tahu siapa aku."
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku sudah katakan.. Aku merindukan perempuan itu. Sungguh berani ia melarikan diri dariku yang sudah memberi dia banyak kemewahan."
"Dimana kita bertemu?"
"Aku tak ingin bertemu denganmu, Nak.. Aku merindukan wanita itu. Ingin memberinya makanan yang paling ia sukai. Sudah rindu melihatnya
makan.. Makanan anjing! Dulu ia sangat menyukainya?" Steven tertawa.
"Apa katamu??"
"Sampai jumpa," Steven menutup telponnya.
"Bajingan ini.. Aku akan mengejarmu kemanapun kau bersembunyi."
Ardi meletakkan handphone itu dan segera keluar.
Trisya baru saja selesai menghidangkan makanan dan secangkir kopi untuk Ardi. Ingatannya melayang pada kejadian 4 tahun lalu.
"Aku tidak melakukan kesalahan, Aku pulang dari mengerjakan tugas, Dion mengantarku pulang karena sudah sangat malam," ucap Trisya.
"Kau sudah makan?"
Trisya tak menjawab.
Steven tersenyum licik.
"Pegang dia, Amar!" ia memandang bodyguardnya.
"Baik, boss.." Amar segera menelikung tangan Trisya.
"lepaskan aku!" jerit Trisya.
"Aku membawakan makanan kesukaanmu," Steven mengeluarkan sebuah mangkok dari sebuah bungkusan.
"Kau lihat ini apa? Makanan anjing! Kau sangat menyukainya kan?" Steven tertawa.
"Tua bangka setan!"
"Diam kau!" Steven menampar Trisya.
"Suatu hari aku akan memotong semua badanmu dan menggiling di penggilingan daging!"
"Menakutkan sekali... Amar, tundukkan kepalanya ke mangkok itu, biar dia makan semuanya!"
"Siap, boss!"
"Makanlah, anjing kecilku!" Steven mendorong kepala Trisya. "Habiskan!! Ini hukumanmu karena sudah berani melawan aturanku! Sudah kukatakan, jangan bermain-main denganku, Nona!!"
Steven tertawa melihat Trisya terbatuk dan tersedak.
"Hari ini akan kuberi shock therapy yang lain untukmu!" ucap Steven.
"Kau mau apa?"
Steven menarik rambut Trisya hingga wanita menengadahkan kepalanya menatap nya.
"Kau memang sangat cantik, Trisya. Kau punya tubuh yang juga sangat menggoyahkan iman lelaki. Sungguh, aku tak rela jika kau dimiliki oleh siapapun.Terlalu sayang untuk membiarkan tubuhmu dimiliki orang lain!"
Steven tertawa terbahak-bahak sambil terus menarik rambut Trisya dengan kasar. Menikmati Gadis yang berlutut di hadapannya itu meronta kesakitan.
Steven menyeringai,
"Suaramu yang keluar dari mulutmu saja sudah membuat gairahku naik.."
"Lepaskan! Kau menyakitiku, Om!" jerit Trisya.
"Kau puaskan dulu aku dengan mulutmu yang sungguh menggiurkan itu! Berikan aku kenikmatan dunia yang luar biasa, baru aku akan melepaskan cengkraman di rambutmu!"
"Yang.." panggilan Ardi membuyarkan lamunan Trisya.
Wanita itu cepat menghapus airmatanya.
"Ada apa?" tanya Ardi.
"Tidak apa-apa."
Ardi menarik lengan Trisya.
"Kamu menangis?"
Trisya tak menjawab.
"Yang?"
Trisya akhirnya tak bisa menahan lagi. Tangisnya pecah seketika.
"Aku takut, bang.." tangis Trisya.
"Takut ia tiba-tiba datang di hadapanmu?"
Trisya mengangguk.
Ardi menarik Trisya ke pelukannya.
"Dia tak akan bisa mendekatimu."
"Bagaimana kalau tiba-tiba dia datang?"
Ardi mencium Trisya.
"Abang akan cari tahu keberadaannya. Dan memastikan menangkapnya karena sudah mengusikmu."
Trisya menatap wajah Ardi. Lelaki itu menghapus airmatanya.
"Terimakasih bang.."
"Ayo.. Kita sarapan."
"Ya.. O iya, bang. Kapan kita ke dokter memeriksa kehamilanku?"
"Nanti malam bagaimana?"
"Ok.. "
"Ayo, makan.."
***
Siang itu di sebuah tempat makan..
"Rob.." panggil Ardi.
Robby yang sedang duduk menoleh.
"Datang juga.."
Ardi duduk di hadapan Robby.
"Maaf, tadi sedang banyak laporan yang harus diselsaikan."
"Tidak apa-apa, aku paham. Ada apa? kau ingin bicara apa denganku?"
"Bisakah tidak mengganggu Trisya?"
"Maksudmu?"
"Trisya tak bercerita. Tapi aku tahu ia resah terus kau telpon."
Robby diam.
"Rob.."
"Apa kabar istrimu?"
"Baìk"
"Rob.." Ardìl menyalakan rokok.
"Kita berteman sudah lama. Satu kantor meski berbeda divisi. Aku tidak mau sampai ribut hanya karena urusan perempuan," ucap Ardi. "Sengaja aku cari tempat di luar untuk bicara. Karena kalau sampai kita ribut di kantor akan lain urusannya."
"Ada apa?"
"Sebelum aku menikahi Trisya, kan sudah aku ingatkan.. Trisya itu urusanku. Kau harusnya lebih fokus pada rumah tanggamu. Saat ini dia istriku, apapun yang pernah terjadi di masa lalu kalian, aku tidak peduli. Tapi mengganggu dia sekarang, artinya kau berurusan denganku".
"Kau harusnya mencari yang lebih baik," kata Robby.
"Yang sudah kita halalkan itu berarti sudah pilihan terbaik dari Tuhan. Bukan kita yang memilih, tapi Tuhan yang menentukan".
"Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya hingga mendekatimu. Tapi yang aku tahu dia tak akan pernah lepas dari bang Richard".
"Itu bukan urusanmu," Ardi mengingatkan.
"Kau membuat perjanjian apa dengan bang Richard?"
"Tidak ada".
"Aku tahu kau sangat melindungi bang Richard. Tapi ini sudah salah. Kau nikahi perempuan yang ia hamili untuk menutup skandal dia kan?"
"Tidak. Sudah kukatakan. Trisya hamil olehku."
Ardi melihat Arlojinya.
"Sampai disini selesai ya, tidak usah mengusik Trisya. Fokus saja pada rumah tanggamu dengan Lizzie," ucap Ardi sambil mengangkat telpon.
"Ya, Sayang."
"Abang jam berapa pulang?"
"Bentar lagi abang pulang. Masih ada urusan,"
"Aku lapar, bang.."
"Kamu mau makan apa?"
"Terserah saja abang mau belikan apa".
"Ok, nanti abang belikan".
"Cepat pulang".
"Ok.."
"Love you, suami.."
"Ya.."
"Kok tidak dijawab?"
Nanti saja di rumah.." Ardi menutup telpon.
Ardi memandang Robby.
"Aku pulang dulu.." pamit Ardi.
"Buru-buru sekali. Kau takut dia mengadu pada bg Richard?"
"Tidak.. Tapi di jam istirahat aku usahakan pulang untuk menemani dia makan siang". Yuk," pamit Ardi saat melihat Lizzie datang.
"Hai.." sapa Ardi.
"Lho, kemana Di?" tanya Lizzie.
"Pulang.."
"Aku belum sempat melihat Trisya. Kak Dewi istri bang Leon juga katanya mau melihat Trisya dengan ibu-ibu yamg lain. karena katanya Trisya sakit".
"Alhamdulillah sudah bisa mengajar lagi.. Yuk.Aku sudah ditunggu.. Kasihan Trisya," pamit Ardi.
Lizzie duduk di hadapan Robby.
"Keren Ardi. Suami siaga," puji Lizzie.
"Ya memang harus seperti itu jika jadi suami yang istrinya hamil."
"Kau begitu juga nanti?"
"Hamil dulu.."
"Sudah 2 bulan kita menikah.."
"Ya.."
"Aku berpikir, kapan Trisya dan Ardi punya hubungan? Tidak ada yang tahu. Tiba-tiba Ardi sudah kena masalah etika, menghamili perempuan.. Berarti saat Trisya berkali-kali menolakmu, dia sedang menjalin hubungan dengan Ardi?"
"Tidak usah kau pikirkan".
"Kita bicara jangan sebagai suami istri. Tapi sebagai teman.. Kau pasti sakit hati waktu Trisya menikah dengan Ardi? Kesal pasti karena berkali- kali mengajak dia menikah tapi ditolak. Artinya dia memang tak pernah mencintaimu".
"Tiba-tiba aku ingin memberi dia pelajaran".
"Pelajaran?"
"Karena sudah mempermainkan aku!"
Lizzie tertawa.
"Pelajaran apa yang mau kau berikan?" tanya Lizzie. "Kau tak ingin melihatnya? Siapa tahu nanti saat lahir anaknya mirip denganmu".
"Kau ini.."
***