Chereads / Cinta di tengah badai / Chapter 24 - Ardi Vs Steven

Chapter 24 - Ardi Vs Steven

"Jika kau laki-laki. Bersikap jantanlah! Jangan berani memukul wanita."

Ardi berdiri di depan Trisya menghadang Steven.

Lelaki itu tertawa.

"Kau hanya anak kemarin sore, Rifki Ardiansyah. Bukan lawan yang tangguh untukku," ejek Steven.

"Jangan menantangku. Aku juga bisa menjadi lebih buas dari pada seekor singa jika kau berani mengusik istriku, dan aku bisa kehilangan akal sehat untuk membuatmu menghilang selamanya," ucap Ardi datar.

steven tersenyum.

"Nak.. Kau punya prestasi yang bagus. Kau punya wajah yang dirindukan banyak wanita. Kau punya tubuh yang membuat wanita manapun tak bisa tidur setelah melihatmu. Kenapa harus kau pertahankan sampah itu disisimu?"

Ardi meninju wajah Steven.

"Dia bukan sampah!"

Amar langsung maju menghadang Ardi. Ia berdiri di depan Steven sambil mengacungkan senjata api ke arah dahi Ardi.

"Abang.." Trisya memegang lengan Ardi.

"Turunkan senjatamu atau kau benar-benar akan berhadapan dengan hukum dan akan aku pastikan kalian berdua berada di dalam sel yang sama!"

Steven tertawa.

"Ini cukup seru. Aku suka tantangan darimu, Nak."

"Aku tidak main-main, Steven. Hari ini aku beri kau satu peringatan. lain waktu jika kau masih terus mengusik istriku.. Jika aku tak bisa membuatmu di penjara. Kau dan bodyguardmu itu.. Aku pastikan tak akan lagi melihat matahari terbit."

"Kau sangat berani untuk mengancamku nak. Kau tidak tahu siapa aku? Sekali aku bergerak, kau bisa hancur!"

"Kau tak tahu bagaimana aku sanggup melakukan hal gila untuk manusia tak bermoral sepertimu, Steven! Aku diberi gelar si Pemburu hantu oleh Team. Tidak ada satupun penjahat yang bisa lolos dari kejaranku. Apa lagi jika yang kau ancam keselamatannya adalah istriku sendiri."

"Kau pun harus siap meregang nyawa jika berani mengancam boss ku, pak polisi."

Amar berdiri menatap mata Ardi.

Ardi tersenyum.

"Kau bukan lawan yang tangguh untukku!"

Ardi menggandeng lengan Trisya.

"Ayo, sayang.." ia menarik Trisya keluar dari kamar itu.

Steven memukul meja.

"Cari tahu semua tentang lelaki itu. Ingin kulihat bagaimana ia jika orangtuanya berada di tanganku."

"Baik, boss.."

***

Pagi itu, Trisya sedang memasak ketika handphone Ardi yang terletak di atas meja makan berdering.

"Ayang," panggil Trisya. "Ayang..!"

Tidak ada jawaban dari Ardi.

"Bapak Rifki Ardiansyah.!"

Masih tidak terdengar jawaban.

"Astaga.. Kemana dia ini?" Trisya keluar dari dapur.

Melihat ke dalam kamar. Namun ia tak menemukan lelaki itu.

"Abang!" panggil Trisya lebih keras.

Handphone Ardi masih berdering. Trisya membaca nama si pemanggil. Tertera nama Airin.

"Si mantan ini kenapa menelpon pagi-pagi?" gumam Trisya.

Trisya mengangkat telpon itu.

"Hallo.."

"Ardi? Eh.. Trisya?"

"Ya. Kenapa, kak?"

"Ardi ada?"

"Tidak tahu juga kak. Habis mandi tiba-tiba menghilang."

"Dia ke kantor?"

"Minggu kak hari ini. Jika tidak sedang ada pekerjaan pastinya istirahat saja di rumah."

"O iya.."

"Kenapa, kak?"

"Tidak apa-apa, nanti saja kak Airin telpon lagi. Terimakasih."

"Ya.."

Trisya merengut sambil meletakkan handphone di meja.

"Yang.." Ardi masuk.

Trisya menoleh kaget.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa. Abang dari mana? Dari tadi kupanggil-panggil tidak menjawab."

"Di luar. Bang Tirta tadi kesini."

"Oh.."

Ardi duduk di kursi.

"Sudah selesai?"

"Sudah."

"Wajahnya kenapa?" tanya Ardi.

"Tidak apa-apa. Abang mau aku buatkan minumannya apa? Kopi atau teh?"

"Terserah kamu saja. Yang jelas bukan susu. Karena susunya cukup buat malam saja."

"Astaga. Kau ini mesum sekali, bang."

Trisya mendorong bahu Ardi. Lelaki itu hanya tertawa.

Trisya menghidangkan masakan di atas meja. Di ambilnya kopi dan segera mengaduknya di cangkir.

Setelah selesai, ia langsung menghidangkan kopi itu di depan Ardi.

"Ini bonusnya.." Trisya mencium Ardi.

Lelaki itu tersenyum.

"Terimakasih, istri tercinta."

Trisya duduk di samping Ardi.

"Tadi mantanmu telpon," ucap Trisya usai mereka menyelesaikan sarapan.

"Airin?"

"Kau ini!" Trisya memukul lengan Ardi. "Sudah pernah kutanyakan, memangnya mantanmu ada berapa?"

"Ya kan mantannya cuma Airin? makanya abang menebak nama dokter itu."

Trisya tak menjawab.

Handphone Ardi berdering. Panggilan masuk dari Airin.

"Lihat, dia menelpon lagi!" gerutu Trisya, sambil merengut ia meninggalkan ruangan itu.

"Yang.." panggil Ardi.

Ardi segera berdiri, berjalan menyusul Trisya.

"Yang.." panggil Ardi. "Masih pagi loh sayang."

"Angkat saja telponnya mantan itu, coba tanyakan apa maunya. siapa tahu dia ingin bertemu melepas rindu!"

"Kok begitu ngomongnya?"

"Biarin!"

"Yang.."

Trisya tak menjawab. Ia menyalakan televisi, bukan menonton. Hanya mengalihkan channel TV bolak balik sesuka hatinya.

"Yang.. Nanti TVnya rusak."

"Biarin."

"Nanti kamu tidak bisa nonton drama."

"Bisa lewat handphone."

Ardi duduk memeluk Trisya.

"Panas, bang!" Trisya melepaskan pelukan Ardi.

Lelaki itu kembali memeluknya. Di tariknya pipi Trisya agar melihatnya sambil kemudian mencium bibir Trisya.

"Apaan sih.."

"Ayolah sayang.. Abang salah apa? Kan bukan abang yang menelpon?" bujuk Ardi.

"Ah, kau tebar pesona pasti, bang!"

"Astaga.. Tidak mungkin lah sayang."

Trisya merengut.

"Itu handphonenya masih bunyi. Angkatlah!"

"Iyaa.."

Ardi segera mengangkat telpon dari Airin.

"speaker," bisik Trisya.

"Iyaa.."

"Ardi?" panggil Airin

"Hallo, Airin."

"Sibuk?"

"Tidak. Kenapa?"

"Bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku diskusikan."

"Wah, Tidak bisa Rin. Istri sedang butuh perhatian. Maklum, seminggu ini banyak sekali pekerjaan. Dia ditinggal terus."

"Oh, baiklah..Kalau begitu lain waktu ya?"

"Insha Allah."

Mata Trisya mendelik, bibirnya kembali merengut. Tak didengarnya lagi percakapan Ardi dan Airin. Dengan kesal ia berjalan meninggalkan ruangan itu.

Trisya masuk ke kamar. Duduk di lantai sambil merapikan barang barang untuk bayinya nanti yang ia beli saat bersama Ariana kemarin.

Diraihnya kaos kaki berbentuk kepala kucing di ujungnya.

Trisya tersenyum sambil meraba perutnya.

"4 bulan lagi ya nak?"

"Yang.." panggil Ardi.

"Pergi saja kalau mau pergi!"

"Eh, kok begitu?"

Ardi berjalan menghampiri Trisya. Ia duduk di belakang Trisya sambil memeluk pinggangnya.

"Marahnya jangan lama-lama dong sayang."

Trisya tak menjawab.

Ardi mengusap perut Trisya.

"Kamu jangan nakal ya, Nak.. Jangan membuat mama sakit atau lelah."

"Mama?"

"Kan katanya mau dipanggil mama?"

Trisya tersenyum.

"Papa Ardi?"

"Tidak.. Ayah saja."

"Kok ayah? Aku tidak suka dipanggil ibu. Apalagi bunda..lebay sekali di telingaku panggilan itu."

"Ya.. Biar saja, mama."

"Kan tidak matching, ayah?"

"Bukannya berbeda itu unik?"

Trisya tertawa.

Ia memeluk Ardi.

"Kita kemana hari ini, ayah?"

"Terserah maunya mama saja."

"Ke mall, beli baju, perlengkapan bayi. Makan di cafe yang lagi viral. Pulang. Malamnya kita nonton di bioskop?"

"Tidak capek?"

"Tidak jika denganmu, komandan."

Ardi tersenyum.

"Ok.. Hari ini khusus untuk memanjakan nyonya."

"Benar?"

"Iyaa."

"Ah, cinta sekali aku padamu, bang.." Trisya memeluk Ardi sambil menciumnya.

"Apa yang tidak untuk wanita cantiknya abang ini?"