Trisya merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
"Ah, capek sekali.."
Ia meraih bantal untuk menyanggah kepalanya.
Ardi masuk ke kamar.
"Mama telpon. Katanya handphone kamu tidak aktif sejak habis maghrib."
"Ah iya. Tadi habis baterai. Belum aku cas karena mau pergi denganmu. Tolong cas ya bang. Handphonenya dalam tasku.."
"Ngomong dulu dengan mama," Ardi memberikan handphonenya.
Trisya meraih handphone Ardi.
"Hallo.. Ada apa, Ma?"
"Besok acara giat, kamu ikut?"
"Insha allah, Ma."
"Besok mama jemput saja."
"Tidak usah, Ma. Aku besok diantar abang saja."
"Ardi kan harus ke kantor. Sudah. Tunggu saja di rumah. Besok mama jemput."
"Ok."
"Ya sudah. Istirahatlah."
"Ya.."Trisya menutup telpon.
Ia menyerahkan handphone pada Ardi yang langsung meletakkan di meja.
"Kakiku pegal bang.." rengek Trisya.
Ardi duduk di tempat tidur, ditariknya kaki Trisya berpangku dipangkuannya , dipijatnya perlahan.
"Sakit gak?"
"Nggak.. Enak banget."
Trisya memandang Ardi.
"Terimakasih ya bang. Hari ini sudah menemani dan menuruti semua yang aku mau."
"Kan sudah kewajiban suami untuk menyenangkan istri."
Trisya menurunkan kakinya dari pangkuan Ardi.
"Sudah enakan. Terima kasih suami."
"Istirahat ya?"
"Iyaa.."
***
Richard Adrian duduk memandangi kamar itu. 4 bulan yang lalu untuk pertama kalinya Trisya masuk ke rumah yang dibelikan Richard untuknya.
Wajah gadis begitu sumringah ketika dihadiahi sebuah rumah lengkap dengan sebuah mobil keluaran terbaru.
Di pandanginya photo dirinya dan Trisya yang terpasang di dinding kamar. Photo yang mereka buat ketika merayakan ulang tahun. Lahir di tanggal dan bulan yang sama namun berbeda 20 tahun.
Richard tersenyum tipis. Kenangan 3 bulan yang lalu melintas dalam pikirannya.
"Ada yang menunggumu di seberang jalan," ucap Richard datar.
Trisya diam.
"Bagaimana caramu keluar menemuinya jika aku masih berdiri disini?" tanya Richard.
"Aku tidak akan pergi," jawab Trisya.
"Tidak apa.. Pergilah yang jauh. Cari kebahagiaanmu diluar sana. Jauh dari orang-orang yang menyakitimu dan membuatmu sakit.."
"Papa mengusirku?" tanya Trisya.
"Tidak."
"Kenapa bicara tanpa melihatku?" tanya Trisya.
Richard tak menjawab, tak lama ia memandang Trisya, berjalan menghampirinya.
"Kalau sudah pergi jauh, buatlah hidupmu bahagia. Jangan membiarkan siapapun lagi menyakitimu. Jangan diam saat disakiti agar tidak meledak dan membalas dengan brutal," pesan Richard.
Trisya menatap Richard.
"Papa.."
Richard tersenyum sambil mengusap kepala Trisya.
"Maafkan siapapun orang yang sudah menyakitimu, orang yang sudah merendahkanmu dan orang yang sudah membuatmu menderita.."
"Kenapa tiba-tiba ingin aku pergi?"
"Kamu berhak bahagia, Trisya.." jawab Richard.
"Kenapa yakin aku akan bahagia jika pergi darimu?"
"Pergilah.. Robby menunggu terlalu lama".
Trisya tersenyum.
"Papa ingin aku pergi karena takut kalau hubungan kita akan terbongkar publik??"
"Aku tidak peduli hal itu. Aku hanya tak ingin kamu tersakiti!"
"Ok.. Aku takkan pernah muncul di depanmu lagi!" Trisya keluar.
Richard berdiri di tepi jendela. Dari sana ia bisa melihat Trisya yang sedang bicara dengan Robby. Pacar Trisya yang sangat antusias ingin Trisya menjadi istrinya.
Richard tersenyum. Ia meninggalkan jendela. Berdiri memandangi photo dirinya dan Trisya yang baru 2 hari lalu terpasang.
Pintu kamar itu dibuka.
"Papa.." Trisya langsung memeluk Richard yang sedang berdiri membelakanginya.
Richard memandang Trisya yang memeluknya.
"Ada apa?"
"Jangan menyuruhku pergi lagi. Aku tidak akan pergi".
"Ada apa denganmu?"
"Selamanya... tak akan pernah kutinggalkan papa.." janji Trisya.
Richard berbalik agar bisa memandang Trisya.
"Papa pernah berkata akan selalu menjagaku hingga aku bisa bersanding dengan pria yang aku cintai. Tapi pria itu tidak akan pernah ada. Jadi papa harus menjagaku selamanya".
"Robby lelaki baik, dia mencintaimu.." Richard mengingatkan. "Jangan terus membuat hal salah dan bodoh".
"Tanpa aku Robby masih bisa bersinar tapi aku tak bisa, tanpa papa cahayaku redup.."
"Trisya dengar.." ucapan Richard terhenti karena Trisya menciumnya.
"Papa yang harus mendengarkan! Aku mencintai papa.. Tidak apa tidak dinikahi. Aku tetap akan menemani papa sampai akhir."
Richard terpaku mendengar ucapan Trisya.
"Bagaimana caranya agar kau pergi dariku?" tanya Richard akhirnya.
"Kau harus membunuhku jika ingin aku pergi, Richard.." bisik Trisya di telinga Richard.
"Mana mungkin aku bisa membunuhmu?"
"Kenapa? Bukankah aku ini biang masalah untukmu..?"
"Kau membuatku frustasi, Trisya.."
"Janji jangan menyuruhku pergi lagi ya?" pinta Trisya.
Richard tersenyum, menundukkan wajahnya agar bisa mencium bibir Trisya
"Aku mencintaimu, Richard.. Tetaplah menjadi orang yang menjagaku sampai aku mati," bisik Trisya.
Richard tertawa ketika tersadar dari lamunan.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin kalau kau tak akan pernah meninggalkan aku, Trisya? Bagaimana aku bisa percaya kalau suatu hari cintamu tak akan pernah berpaling sementara aku sudah meletakkanmu di tempat tertinggi melebihi tempat istriku sendiri?"