"Kandungannya sehat. Ibunya juga sehat," ucap Dokter Teguh. "Jika tidak ada masalah.. 4 bulan lagi anak laki-laki ini akan menyapa dunia."
Dokter Teguh memberikan photo USG pada Trisya.
"Disimpan ya? Photo pertama anaknya."
Trisya masih memandangi photo itu hingga berada di depan pintu rumah Ariana.
"Yang.." panggil Ardi. "Ayo.."
Pintu rumah itu sudah dibuka oleh Nita, Ardi menggandeng Trisya masuk.
Ariana duduk di sofa sambil menonton TV.
"Sudah datang?"
Ariana menggeser duduknya agar Trisya bisa duduk di sampingnya.
"Tadi agak lama nunggu antrian, Ma.."
"Dokter bilang apa?"
"Ibu dan bayi sehat."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki, Ma.. Manq photonya tadi, Yang?"
Trisya membuka tasnya. Mengeluarkan hasil photo USG dan memberikan pada Ariana.
Wanita itu terlihat haru saat memandangi photo itu.
"Cucu pertama Mama.." ia mengusapnya, tak sadar Airmatanya mengalir jatuh ke pipi.
Ariana menghapus Airmatanya, dipandanginya wajah Trisya sebelum akhirnya memeluk anak perempuannya itu.
"Selamat ya Nak.. Tidak pernah ada dalam pikiran mama kalau akan melihatmu seperti ini. Tuhan sangat baik masih memberi mama kesempatan untuk melihatmu menikah dan hamil."
Trisya tak menjawab. Ada keraguan di hatinya untuk bicara, namun perlahan tangannya bergerak mengelus-elus punggung Ariana.
Ariana melepaskan pelukannya.
"Mama sudah siapkan makan malam. Kalian belum makan?"
"Belum, tadi Trisya katanya sudah lapar. Tapi dia bilang nanti saja makan sepulang dari rumah mama."
"Kalian pergilah ke ruang makan lebih dulu. Mama panggilkan papa dan Aldo."
"Ya.."
Ariana tersenyum memandang kedua pasangan yang berjalan bergandengan tangan.
"Terimakasih Tuhan.. Memberikan lelaki yang baik untuk menemani hidup putriku."
Beberapa saat kemudian setelah makan malam..
"Kalian tidur disini saja," tawar Ariana.
Trisya memandang Richard yang duduk di samping Ariana.
"Tidak usah, kami pulang saja."
Richard membalas tatapan Trisya.
"Tidak apa-apa. Mungkin banyak yang ingin dibahas mama denganmu," ucap Richard. "Nita, siapkan kamar tamu untuk Trisya dan Ardi."
"Baik, Pak.."
"Ardi, ikut saya ke ruang kerja. Ada yang mau dibicarakan."
"Siap."
Ardi dan Richard meninggalkan ruangan itu.
"Kau memang ibu sakit jiwa!" desis Trisya.
"Apa maksudmu?"
"Kau sengaja menyuruh kami tidur disini untuk apa?"
"Apa salah jika seorang ibu meminta anaknya yang sedang hamil tidur di rumah?"
"Tidak salah jika anaknya tak pernah punya hubungan intim dengan suaminya. Aku adalah anak perempuan yang dengan suka rela menjadi simpanan ayah tirinya demi membuat ibunya sakit hati."
Ariana diam.
Lama ia menatap wajah Trisya.
"Aku sudah melupakannya, Nak.."
Trisya tertawa.
"Sudah percayakah mama kalau janin ini adalah anaknya bang Ardi? Bukan anaknya papa?"
"Papa tidak pernah tidur denganmu di masa-masa itu. Dia banyak menghabiskan waktu di manado karena mami sakit. Hampir saja kamu membuat mama membunuh ayah adikmu.."
Trisya diam.
"Nak.." Ariana tak melanjutkan ucapannya ketika Nita datang menghampiri.
"Kamar sudah siap, bu.."
Ariana memandang Trisya yang duduk memegang pinggangnya.
"Kenapa?" tanya Ariana.
"Pegal sekali.. Kakiku juga keram rasanya."
"Sini, mama pijat."
"Tidak usah, biar tunggu abang saja."
"Entah apa yang mereka rundingkan di dalam. Tidak usah menunggu," ucap Ariana. "Letakkan kaki kamu di pangkuan mama."
Trisya memandang Ariana.
"Ayo.."
Trisya meletakkan kakinya di pangkuan Ariana yang langsung memijatnya.
"Bagaimana? Sudah enakan?"
"Ya.."
"Kamu kecapean mungkin karena masih harus ke kampus untuk mengajar. Nanti pindah ke kamar. Biar mama pijat bahu dan lenganmu."
"Pinggangku yang sakit."
"pinggangmu tidak boleh dipijat.. Di kompres saja nanti."
"Aduh, mama.. pelan-pelan."
"Suamimu masih dilayani?" tanya Ariana.
"Maksud mama?"
"Hubungan suami istri."
"Oh.. Jika dia sedang ingin. Memangnya tidak boleh?"
"Kalau kamu sanggup dan tidak punya masalah pada janin ya tidak apa-apa."
"Kadang aku suka menggodanya."
Ariana tersenyum.
Pintu ruang kerja dibuka, Ardi dan Richard keluar.
Richard memandang Ariana.
"Kenapa?"
"Pegal."
"Kalau dirasa capek saat hamil untuk bekerja, kenapa tidak resign saja?" tanya Richard.
"Tidak mau.. Nanti aku bosan di rumah. Lagi pula mengajarkan tidak tiap hari. Tadi saja aku tidak pergi," Trisya menurunkan kakinya.
"Ayo ke kamar, mama pijat bahu dan lenganmu."
"Biar abang saja nanti, Ma.."
"Ya sudah, istirahatlah."
Trisya memandang Ardi.
"Yuk, bang.."
"Kamu duluan."
"Abang ini," Trisya merengut.
"Pergilah, Di.." kata Richard.
"Ya.. Kami ke kamar."
Ardi memegang tangan Trisya meninggalkan ruangan itu.
Ariana tersenyum.
"Apa kau baik baik saja, Richard?"
Richard memandang Ariana.
"Kenapa?"
"Perempuan yang kau cintai ternyata bisa mencintai laki-laki lain.. Tak seperti yang ia katakan padamu."
Richard terdiam. Teringat ucapan Trisya saat masih bersamanya.
"Papa lihat apa? Menunggu Tiara pulang? Tadi dia izin, katanya tidur di rumah temannya".
"Ada yang menunggumu di seberang jalan," ucap Richard datar.
Trisya terdiam.
"Bagaimana caramu keluar menemuinya jika aku masih berdiri disini?" tanya Richard.
"Aku tidak akan pergi," jawab Trisya.
"Tidak apa.. Pergilah yang jauh. Cari kebahagiaanmu diluar sana. Jauh dari orang-orang yang menyakitimu dan membuatmu sakit.."
"Papa mengusirku?" tanya Trisya.
"Tidak".
"Kenapa bicara tanpa melihatku?" tanya Trisya.
"Papa.." panggil Trisya.
Richard memandang Trisya, berjalan menghampirinya.
"Kalau sudah pergi jauh, buatlah hidupmu bahagia. Jangan membiarkan siapapun lagi menyakitimu. Jangan diam saat disakiti agar tidak meledak dan membalas dengan brutal," pesan Richard.
Trisya menatap lelaki itu.
"Papa.."
Richard tersenyum sambil mengusap kepala Trisya.
"Maafkan siapapun orang yang sudah menyakitimu, orang yang sudah merendahkanmu dan orang yang sudah membuatmu menderita.."
"Kenapa tiba-tiba ingin aku pergi?"
"Kamu berhak bahagia, Trisya.." jawab Richard.
"Kenapa yakin aku akan bahagia jika pergi darimu?"
"Pergilah.. Robby menunggu terlalu lama".
Trisya tersenyum.
"Ok.. Aku takkan pernah muncul di depanmu lagi!" Trisya keluar.
Lebih 1/2 jam berlalu ketika pintu kamar itu kembali dibuka dan Trisya melangkah masuk.
"Papa.." Trisya langsung memeluk Richard yang sedang berdiri membelakanginya, memandangi photo mereka di dinding kamar itu.
Richard memandang Trisya yang memeluknya.
"Ada apa?"
"Jangan menyuruhku pergi lagi. Aku tidak akan pergi".
"Ada apa denganmu?"
"Selamanya... tak akan pernah kutinggalkan papa.." janji Trisya.
Richard berbalik agar bisa memandang Trisya.
"Papa pernah berkata akan selalu menjagaku hingga aku bisa bersanding dengan pria yang aku cintai. Tapi pria itu tidak akan pernah ada. Jadi papa harus menjagaku selamanya".
"Robby lelaki baik, dia mencintaimu.." Richard mengingatkan. "Jangan terus membuat hal salah dan bodoh".
"Tanpa aku Robby masih bisa bersinar tapi aku tak bisa, tanpa papa cahayaku redup.."
"Trisya dengar.." ucapan Richard terhenti karena Trisya menciumnya.
"Papa yang harus mendengarkan! Aku mencintai papa.. Tidak apa tidak memiliki. Aku akan menemani papa sampai akhir".
Richard terpaku mendengar ucapan Trisya.
"Bagaimana caranya agar kau pergi dariku?" tanya Richard akhirnya.
"Kau harus membunuhku jika ingin aku pergi, Richard.." bisik Trisya di telinga Richard.
"Mana mungkin aku bisa membunuhmu?"
"Kenapa? Bukankah aku ini biang masalah untukmu..?"
"Kau membuatku frustasi, Trisya.."
"Janji jangan menyuruhku pergi lagi ya?" pinta Trisya.
Richard tersenyum, menundukkan wajahnya agar bisa mencium bibir Trisya
"Aku mencintaimu, Richard.. Tetaplah menjadi orang yang menjagaku sampai aku mati," bisik Trisya.
"Richard.." panggil Ariana membuyarkan lamunan lelaki itu.
"Aku mau istirahat."
Richard berlalu.
Ariana tersenyum tipis.
"Kau masih sangat mencintai anakku, Richard."