Chereads / Cinta di tengah badai / Chapter 27 - Hari bersamamu

Chapter 27 - Hari bersamamu

Richard memandang Ariana. Perempuan itu terlihat masih menangis.

"Bagaimana aku bisa sekejam itu pada putri kandung ku sendiri. Aku ditinggalkan ayah kandungnya. Aku justru mengutuk kelahirannya. Bahkan di usia 3 bulan dia sudah kuabaikan. Ku tinggalkan pada tetanggaku dengan alasan bekerja hingga malam. Setelah dia sekolah, aku masih sering meninggalkannya. Mulai dari pulang sekolah ia hanya duduk sendiri menunggu aku pulang hingga larut malam. Entah dia makan atau tidak tak pernah aku tanyakan. Aku malah memakinya ketika ia bilang ia lapar dan meninggalkannya begitu saja untuk tidur. Beranjak dewasa, ketika ia beberapa kali mengadu kalau ia sering diperlakukan tidak baik dan berkali-kali dilecehkan Lucas. Aku justru memilih untuk mempercayai ucapan Lucas. Aku takut ditinggalkan dan tak lagi memiliki uang hingga aku biarkan putriku menjadi korban perbuatan bejad suamiku. Dia kabur dari rumah, aku bukannya kehilangan tapi justru bahagia. Aku tak pernah tahu sesulit itu hidupnya di negeri orang. Saat ia kembali, harusnya aku sadar kalau ia sudah sangat marah dan dendam padaku ..." isak Ariana. "Ia membalasku dengan merebutmu yang ia anggap sangat perhatian padanya. Aku bukannya sadar malah semakin meradang dan memakinya. Aku bahkan pernah memukulinya dan menyundutkan rokok ke punggungnya dengan tak punya perasaan ketika ia kuanggap sudah menghancurkan rumah tanggaku. Aku hanya memikirkan diri sendiri.."

Richard duduk di samping Ariana. Ia mengulurkan tangannya meraih Ariana ke pelukannya.

"Tidak usah diingat lagi. Yang penting mama bisa perbaiki semua kesalahan di masa lalu. Papa juga sudah menjadi pemicu masalah antara mama dan Trisya. Papa minta maaf atas semua yang sudah papa lakukan pada Trisya."

"Apa mama bisa menjadi ibu yang baik?"

"Insha allah. Sekarang istirahat yuk."

"Semoga ke depan hidup Trisya bisa lebih baik."

***

Pukul 05.00 wib ketika Ardi duduk di sisi tempat tidur. Dielusnya kepala Trisya dengan lembut.

"Yang.." panggil Ardi. "Bangun, subuh dulu ya?"

Trisya tak bergeming.

"Yang .."

"Aku ngantuk bang .."

"Sholat dulu, nanti kalau mau tidur.. dilanjutkan," ucap Ardi.

"Aku ngantuk, bang.. Nanti saja ya."

"Ayo sayang, bangun.." Ardi menarik Trisya agar duduk.

"Kau ini.." gerutu Trisya. "Bisa tidak tunggu 10 menit saja?"

"Tidak."

"5 menit? Kau ini parah sekali, bang. Bahkan untuk kasih waktu saja kau bisa-bisanya pelit, bang."

"Tidak ada kata tunggu untuk ibadah."

"Kau tidak lihat mataku sulit untuk dibuka, bang?" tanya Trisya.

"Kamu bisa ngomong selancar itu, masa tidak bisa membuka mata?"

"Ah, kau ini..!" Trisya menyandarkan kepalanya.

Ardi menuangkan air ke dalam gelas, ia mengusapkan air itu ke kelopak mata Trisya yang terpejam.

"Astaga, kau ini bang..! Seumur-umur tidak pernah ada yang memaksaku bangun seperti ini," gerutu Trisya sambil berdiri dan berjalan keluar kamar.

"Wudhu yang benar!"

"Iyaaaa.. Cerewet sekali kau ini!"

Beberapa saat kemudian, Ardi menoleh pada Trisya yang berada di belakangnya. Wanita itu terlihat tertidur usai melaksanakan sholat.

Ardi tersenyum dan segera pindah duduk disebelah Trisya agar kepala wanita itu bersandar di bahunya.

Ia membelai kepala Trisya.

"Kau tahu tidak kalau bahumu nyaman sekali, bang?" ucap Trisya saat membuka matanya.

Ia melihat jam dinding.

"Abang.. Sudah jam 6.30. Abang kenapa tidak membangunkanku?" Trisya membuka mukena.

"Tidak apa-apa".

"Nanti abang terlambat.. Mandilah, aku siapkan sarapan," Trisya bergegas keluar dari kamar.

"Hati-hati, nanti.."

"Aduh..!" teriak Trisya bersamaan dengan bunyi pecahan kaca.

Ardi menghela nafas.

"Ya Tuhan, kenapa dia ini?" Ardi segera keluar menyusul Trisya. "Ada apa?"

"Kepalaku terbentur pintu lemari ketika mengambil cangkir.. Cangkirnya jatuh, bang.. Pecah."

"Biar abang saja.." kata Ardi sambil memungut pecahan kaca. "Kepalamu tidak apa-apa?"

"Bengkak.. sedikit. Tidak apa-apa. Abang mandi saja, aku siapkan sarapan. Nanti terlambat."

"Dikompres dulu."

"Kata orang ditiup, bang.."

"Ajaran dari siapa?"

"Neneknya Renata.. Sesat kan?"

Ardi tertawa.

"Abang mandi.." Ardi berdiri.

"Abang... Aku tidak siapkan pakaian abang ya? Ambil sendiri."

"Iya..."

Trisya tersenyum.

"Terimakasih Tuhan. Menjadikan lelaki sebaik itu sebagai suamiku."