Chereads / Cinta di tengah badai / Chapter 18 - Sang Mantan

Chapter 18 - Sang Mantan

Malam itu..

Trisya baru saja selesai menyiapkan menu makan ketika handphonenya berdering.

"Hallo.."

"Hai sayang.. Aku menunggu jawabanmu."

"Jawaban apa? Kau bukannya yang menelpon semalam?"

"Sudah kukatakan..Aku merindukanmu. Mari kita bertemu. Aku sudah memesan sebuah kabar termewah untuk merayakan malam ini denganmu."

"Apa maksudmu?"

"Kau tak membaca chat yang aku kirimkan? Oh, aku tahu.. pasti suamimu yang membaca. Dia pasti menghapusnya karena kukatakan aku lebih kuat dibanding dia."

"Kau siapa? Tidak usah mengusikku!"

"Aku sudah mencari tahu siapa suamimu."

"Kau mau apa?"

"Mari kita bertemu dulu malam ini."

"Tidak!"

"Nama.. Ipd Rifki Ardiansyah. Sebelumnya berada di satuan..."

"Yang.." terdengar panggilan Ardi dari luar.

Trisya segera menutup telpon. Ia memblokir nomor tersebut dan segera berjalan membuka pintu.

"Abang kenapa baru pulang?" Trisya mencium tangan Ardi.

"Banyak sekali berkas yang harus diselesaikan," Ardi melangkah masuk.

"Aku baru selesai masak. Abang mau makan?"

"Mandi dan sholat Maghrib dulu. Nanti waktunya habis."

"Ya.. Aku siapkan makan malamnya."Trisya mengikuti Ardi ke kamar.

Handphone Ardi berdering. Ia segera berjalan keluar kamar.

"Hallo.."

"Di.. Ngopi yuk."

"Aku baru pulang, Ted. Kasihan istri, seharian di rumah, lagi hamil."

"Ajak saja istrimu.."

"Kasihan, biar istirahat saja.."

"Oh, ok.."

"Salam dengan yang lain ya?"

"Ya.."

Ardi menyimpan handphonenya.

Trisya tiba-tiba datang memeluknya dari belakang.

"Baik sekali sayangku ini, mau menolak ajakan temannya untuk meluangkan waktu untukku," Trisya mencium punggung Ardi.

Ardi tersenyum mengelus lengan Trisya.

"Abang mau makan?"

"Ya.. lapar sekali," Ardi merangkul bahu Trisya. "Ayo.."

Ardi menarik Trisya menuju meja makan.

"Bang.."

"Ya.." Ardi menarik kursi untuk Trisya duduk.

"Kau menghapus pesan yang dikirim orang itu padaku?" tanya Trisya.

"Ya.." Ardi duduk.

"Kau marah?"

"Tidak."

"Benar?" Trisya memandang wajah Ardi.

"Tidak padamu, tapi iya.. Marah padanya."

"Kenapa?"

"Karena mengusikmu."

"Kau akan mencarinya?"

"Pasti."

"Aku mencintaimu.. Dunia dan Akhirat," ucap Trisya.

Ardi menarik Trisya duduk di pangkuannya.

"Janji ya? Harus menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu. Kita bersama sampai jannah."

Trisya mencium Ardi.

"Iyaa.. Abang juga harus selalu disampingku."

"Iya sayaang.."

"Makannya mau sekarang atau diganti makanan yang lain?" Bisik Trisya di telinga Ardi.

"Sepertinya..." Ardi menggendong Trisya. "kamu lebih membuatku kenyang.."

Trisya tertawa.

"Sudah lapar sekali kau ternyata ya, bang.."

***

Pukul 11 malam ketika handphone Ardi berdering.

"Hallo.."

"Ardi.. Bisa bantu aku?" tanya Airin.

"Ada apa?"

"Aku tadi pulang dari visit pasien. Jalan ke rumahnya sangat sepi. Di tengah jalan mobilku mogok. Sumpah, disini sepi sekali. Aku tidak berani pulang bahkan untuk memesan taxi."

"Kenapa tidak telpon orang untuk membantu mengurus mobilmu? Kan ada layanan 24 jam?"

"Please.."

Ardi menghela nafas.

"Share lok.."

"Terimakasih ya?"

Ardi memandang Trisya yang sedang tidur. Di tariknya selimut utk menutupi tubuh Trisya. Di raihnya kaos yang terletak di sandaran tempat tidur dan mengenakannya.

Perlahan ia berjalan keluar dari kamar.

Ardi masuk ke dalam mobil dan melihat lokasi yang di share oleh Airin. Ia menyalakan mesin mobil dan segera meninggalkan pekarangan rumah.

Tidak lama ia sampai di tempat dimana Airin menunggu. Ardi berjalan menghampiri mobil Airin.

Ia mengetuk kaca mobil itu. Airin membuka pintunya dan segera keluar.

"Terimakasih sudah mau datang.. Aku sudah menelpon servis mobil 24 jam. Mereka katanya sedang menuju kesini. Bisakalh kita menunggu mereka datang?" Airin mengikuti Ardi masuk ke dalam mobilnya.

"Aku tidak bisa lama. Istriku tidak tahu aku pergi. Dan aku tidak mau berbohong jika ia terbangun dan tak melihatku."

"Istrimu apa tidak marah jika kamu jujur mengakui kesini tengah malam untuk menolongku?"

"Mungkin akan marah.. Tapi lebih baik jujur dari pada berbohong. Aku kan tidak pernah melakukan hal salah selama ini.. Dalam arti kata, aku tak pernah terlibat dengan wanita lain."

Airin tersenyum. Ia memandang photo Trisya di dasboard.

"Istrimu cantik sekali. Eh, kenapa hanya photo istrimu?"

Ardi memandang photo Trisya.

"Biar kemanapun aku pergi menggunakan mobil ini.. Aku selalu ingat, ada harta paling berhargaku yang menungguku pulang ke rumah."

"Pasti bahagia memiliki suami setia sepertimu.."

"Aamiin."

Airin memandang Ardi.

"Aku tidak mengira kamu sudah menikah. Jujur, saat aku pindah kesini, aku mendengar kalau kamu belum menikah.." ungkap Airin. "Aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan nekat pindah kesini mengikutimu."

Ardi tak bicara, hanya mendengarkan.

"Aku tadinya berharap kamu mendengar kabar kalau aku berada disini. Lalu mencariku.. Mungkin kisah kita bisa berulang. "

Ardi masih tak menjawab.

"Kau benar tak pernah mendengar kabarku sudah disini?"

"Ya.. aku sudah mendengarnya.."

Airin tertawa.

"Ah, aku terlalu berharap."

Ardi memandang Airin.

"Saat aku mendengar bahwa kamu sudah berada disini.. Aku sedang membangun niatku untuk bertanggungjawab atas perbuatanku pada Trisya."

"Tanggungjawab?"

"Dia hamil.. Dia dalam kebingungan sampai berniat untuk pergi ke inggris. Melanjutkan study dan melahirkan disana."

Airin memandang Ardi.

"Kamu tak ingin bertanggungjawab?"

"Awalnya.. Aku tak mau terkena sangsi, apalagi yang kuhamili adalah anak perempuan komandanku. Berpikir untuk diam saja, tapi melihat dia menangis dan bertingkah tak wajar.. Aku tahu dia berada di titik frustasi dan nyaris Depresi.." ingatan Ardi kembali pada malam itu.

Ardi menghentikan mobil di depan halaman rumah Trisya.

"Pulanglah! Aku tak mau melihatmu lagi!"

"Sya.."

Gadis itu keluar dari mobil itu dan berlari masuk ke dalam rumahnya.

Ardi memandang rumah itu. Ada penyesalan mwngungkap rahasia yang selama ini terpendam, namun di lubuk hati ada perasaan lega karena tak lagi perlu membohongi gadis itu.

Pintu rumah itu di buka. Bu Rahmi sang ART berlari menghampiri mobil Ardi.

"Mas.." jeritnya.

Ardi segera keluar dari mobil.

"Ada apa?"

"Mbak Trisya.. mbak Trisya.. di dapur.. " ia tak bisa melanjutkan kata-katanya di antara kepanikannya.

Ardi berlari masuk ke dalam rumah itu. Langsung menuju dapur untuk melihat apa yang terjadi.

"Trisya.." Ardi bergegas menghampiri gadis itu.

Lengan kiri Trisya berlumuran darah. Gadis itu terlihat menangis histeris.

"Ambil kotak obat.." teriak Ardi.

"Ya Mas.."

Ardi menarik Trisya mendekati wastafel, mencuci ĺuka itu di air mengalir. Di robeknya ujung dress Trisya untuk membalut luka di lengan itu. 

"Trisya.." panggil Ardi.

Gadis itu tak menjawab, ia masih menangis.

Ardi menggendong tubuh Trisya, membawanya ke kamar.

"Tidak usah menolongku!" ucap Trisya.

"Aku minta maaf sudah membuatmu seperti ini.."

"Ini obatnya, Mas.." ucap bu Rahmi.

"Terimakasih bu.. Biar saya menjaga Trisya disini."

"Bapak perlu di telpon?"

"Biar nanti saya yang bicara dengan bapak."

"Baik.." Bu Rahmi keluar dari kamar itu, tak lupa ia menutup pintu.

Ardi segera meraih obat, membalut luka di lengan gadis itu dengan perban.

Ia menatap wajah Trisya, gadis itu sudah tak menangis lagi, meski airmatanya masih mengalir di pipi.

Ardi mengusap air mata Trisya.

"Istirahatlah.. aku akan menjagamu disini."

"Keluarlah.. aku tak ingin melihatmu," ucap Trisya datar.

"Sya.."

"Keluar!"

"Ok.. Kalau ada apa-apa, panggil aku ya?"

Trisya tak menjawab.

Ardi segera berdiri. Namun tiba-tiba Trisya memegang tangannya sebelum Ardi melangkah.

"Bang.. Bisa tidak kalau malam ini tidur disini saja?"

Ardi menoleh.

Trisya menarik Ardi agar duduk di sisinya.

"Aku capek.." ucap Trisya lirih, nyaris tak terdengar.

Ardi mengulurkan tangannya, menarik Trisya ke dalam pelukannya. Dan tangisan gadis itu kembali pecah di dadanya.

"Kalau kita menikah, yakin kau tidak akan menyesal? Yakin kau bisa menerimaku apa adanya? Atau kau hanya ingin memberikan kenyamanan untuk masa depan anak ini kelak?"

Ardi mengelus kepala Trisya dengan lembut.

"Kamunya sendiri bagaimana? Yakin ingin berhenti dari semua masalah yang sudah diciptakan?"

"Aku sebenarnya capek.. Ingin punya tempat berteduh yang bisa memberi aku perlindungan yang sebenarnya.."

"Janji ya? Berhenti membuat masalah setelah ini?"

"Kau tidak apa-apa jika menghadapi masalah karena menikahiku?"

"Bertanggungjawab untuk sebuah perbuatan salah adalah tindakan benar yang tak boleh disesali sampai kapanpun.."

Trisya memeluk Ardi erat.

"Semoga besok menjadi langkah awalku menuju hidup yang benar ya.. Kau janji ya, bang.. harus terus bersamaku agar tidak salah langkah?"

"Insha Allah.. kita bersama sampai Jannah."

Pukul 3 dini hari ketika Ardi memandangi wajah Trisya yang sudah tidur dalam pelukannya. Masih ada Air mata disudut mata gadis itu. Ardi mengusap airnata itu.

Ia mencium kening Trisya.

"Aku akan menjagamu dengan baik sebagai harta paling berharga yang aku miliki.." janji Ardi.

Ardi memandang Airin yang masih menunggu kelanjutan ceritanya.

"Dan malam itu aku menyadari.. Aku sesungguhnya mencintai perempuan pembuat masalah itu. Aku tak pernah mencintai wanita lain seperti aku mencintai dia.."

Mobil Ardi berhenti di halaman tempat dimana Airin kost sejak pertama kali ia tinggal di kota itu.

"Mampir?" tanya Airin.

"Tidak. Sudah larut malam."

"Terima kasih sudah membantu."

"Aku pulang," pamit Ardi.

"Hati-hati," Airin segera turun.

"Yuk.." Ardi segera meninggalkan tempat itu.

Airin melangkah masuk.

Ia duduk di tempat tidur. Di keluarkannya sebuah buku notes, membuka lembaran dimana terselip sebuah photo dirinya bersama Ardi.

Airin mengusap photo itu. Mereka membuat photo itu di studio sehari setelah Ardi lulus dari akademi.

"Hei.. Baru pulang?" tanya Luna.

Airin menoleh.

"Ya.."

"Bagaimana caramu pulang? Aku tadi menawarkan menjemput tapi kamu bilang sudah ada yang datang."

"Ardi.."

"Apa? Bagaimana bisa? Sebentar.. Apa ini artinya pikiranku benar? Dia hanya salah langkah sehinfga terpaksa menikahi putri komandannya yang tak sengaja ia hamili, tapi sesungguhnya itu terjadi hanya karena nafsu belaka. Ia sesungguhnya masih mencintaimu hingga bersedia datang tengah malam untuk menjemputmu? Ya Tuhan ini benar benar luar biasa. Secinta itu dia padamu?"

"Tidak.. Tidak seperti itu."

"Lalu.."

"Dia ternyata sangat mencintai istrinya dengan seluruh masa lalunya."

"Masa lalu?"

"Kenapa aku begitu ingin merebut Ardi ke dalam pelukanku? Karena aku mendengar cerita yang sangat tidak enak tentang masa lalu istrinya."

"Kamu belum cerita padaku.."

"Hari itu aku bertemu Robby yang mengantarkan undangan pernikahannya.. Aku baru tahu kalau Trisya sebelum menikah dengan Ardi sempat pacaran dengan Robby."

"Hah?? Maksudmu.. Saat pacaran dengan Robby dia juga melihat Ardi? Mereka bermain mata di belakang Robby, begitu.?"

"Bukan seperti itu.."

"Lalu apa?"

"Robby putus dengan Trisya karena ayah tiri Trisya."

"Ayahnya tidak suka pada Robby? Kenapa? Robby kan baik? Yaa.. Mungkin banyak wanita yang suka padanya, harus diakui dia sangat tampan dan humble."

"Bukan itu masalahnya.."

"Lalu?"

"Trisya bermain mata dengan ayah tirinya. Menggodanya hingga berujung menjadi wanita simpanan ayah tirinya. Diberi fasilitas mewah, rumah mewah dan mobil serta terakhir biaya study ke inggris."

"Sebentar.. Sepertinya saat Ardi menikah dengan Trisya, sudah hamilkan? Apa mungkin kalau bayi yang ada dalam perut Trisya adalah anak dari ayah tirinya? Dan Ardi diminta menjadi tameng menutupi skandal ini? Bukankah Ardi bilang ayah istrinya adalah komandannya?"