"Mama dengar 2 hari ini kamu sakit," ucap Ariana.
"Kecapean.. Lupa kalau saat ini kondisi sedang hamil. Aku menyamakan kondisiku dengan saat belum menikah dan hamil seperti ini."
Ariana tersenyum.
"Kamu cantik sekali nak. Sudah 3 bulan ya?"
"Ya.." jawab Trisya sambil menyantap chicken cordon bleu di hadapannya.
"Selera makan kamu bagus?"
"Kurasa begitu. Tidak ada yang tidak aku makan sekalipun masih sering mual."
"Kalau dirasa berat, mungkin sebaiknya resign saja."
"Tidak mau. Aku suka dengan pekerjaanku. Mama tidak makan?"
"Habiskan saja semuanya jika kamu suka," Ariana meraih kentang goreng dan memakannya.
"Ok."
Handphone Trisya berdering.
"Abang telpon.."
"Biar mama bantu mengangkatnya.." Ariana meraih handphone Trisya di meja.
"Hallo.."
"Mama?"
"Ya, Trisya sedang makan. Ada apa, Di?"
"Oh, sudah makan?"
"Aku mau bicara.." ucap Trisya.
Ariana memberikan handphone pada Ardi
"Abang.."
"Ya."
"Abang dimana?"
"Masih di kantor. Tidak bisa menemani makan siang. Tapi kamu dengan mama kan?"
"Ya sudah.. Abang sudah makan?"
"Sebentar lagi. Kamu lanjut makan ya? Nanti abang telpon."
"Ya.. Bye, sayang."
Trisya meletakkan handphonenya.
Ariana tersenyum.
"Sudah 6 atau 7 minggu pernikahanmu? Kamu bahagia?"
"Abang orang baik. Masa aku tidak bahagia hidup dengannya. Aku dimanjakan, dipuja, dicintai dengan sangat. Bohong jika aku tidak bersyukur pada Tuhan."
"Pertahankan pernikahanmu ya nak.."
"Kenapa? kau takut jika pernikahanku bubar aku akan kembali mengusik rumah tanggamu?"
"Mama sudah tidak peduli jikapun papa masih menyimpan cinta dan keinginan padamu. Namun yang terpenting itu, kamu bahagia. Jangan pernah melepaskan Ardi nak."
Trisya tak menjawab.
"Trisya.." sapa Airin.
Trisya menoleh.
"Kak Airin."
"Apa kabar?"
"Baik, kak.."
"Dengan siapa?"
"Mama.."
"Oh.. Ibu, apa kabar? Saya Airin."
"Teman Trisya?"
"Bukan, temannya Ardi bu.."
"Cantik sekali," puji Ariana.
"Terimakasih. Ibu juga cantik sekali. Trisya ternyata mirip ibu ya?"
"Duduk.. Tidak buru-buru kan? Kita ngobrol."
Trisya memandang Ariana.
Airin duduk di samping Trisya.
"Mau pesan apa?" tanya Ariana.
"Tidak usah, bu.. Saya baru selesai makan tadi dengan teman."
"Minum?"
"Teh leci saja."
"Sebentar.. Dian."
Sang Waiter yang dipanggil Dian itu menghampiri.
"Iya, bu.."
"Pesan teh leci ya."
"Baik, bu.."
Ariana memandang Airin.
"Kerja dimana? Pastinya bukan teman Ardi di kantor kan? Soalnya saya pasti sedikitnya kenal anggota suami saya."
"Saya di klinik bersalin Ruby, bu.."
"Oh, dokter kandungan? Sya, kamu bisa dengan Airin saja kalau begitu."
Trisya memandang Ariana.
"Saya masih dokter umum, bu.. Belum spesialis. Masih 2 tahun lagi mungkin."
"Oh.."
"Trisya di dokter mana?"
"Tidak tahu.. Belum ada cek ke dokter."
"Loh, Kenapa?"
"Abang masih sibuk."
"Kalau Ardi belum sempat, biar mama yang temani kamu."
"Tidak usah. Biar abang saja."
Airin memandang Trisya dan Ariana bergantian.
"Makanannya tidak dihabiskan?" tanya Ariana.
"Tidak mau lagi."
"Sayang terbuang, Nak.."
"Perutku seperti mau pecah."
"Ya sudah.. Biar mama yang habiskan.."
Beberapa saat kemudian..
"Saya pamit dulu, waktunya dinas malam. Jadi mau istirahat dulu," pamit Airin.
"O ya.. Kapan kapan boleh ngobrol lagi ya?"
"Baik, ibu.. Permisi. Yuk Trisya."
"Ya," jawab Trisya singkat.
"Kamu kenapa?" tanya Ariana. "Seperti tak menyukai Airin?"
"Bukan tidak suka."
"Lalu?"
"Malas saja. Dia mantan bang Ardi. Mereka pernah pacaran 1 tahun sebelum dia meninggalkan abang. Setelah putus abang tidak pernah punya pacar lagi."
"Kamu cemburu?"
"Tidak."
"Setelah putus tidak punya pacar lagi kan bukan berarti Ardi berhenti di nama Airin. Bisa jadi ia hanya fokus pada pekerjaan. Bisa jadi ia tidak ingin proses pacaran. Ingin langsung menikah."
"Jangan-jangan waktu meniduriku dia membayangkan Kak Airin."
"Jangan begitu."
"Mama tidak usah sok bijak. Percaya karma kan? Mungkin saja nantinsuamiku dirmapas orang."
"Ardi lelaki yang baik."
"Papa juga.. Tapi aku bisa menggodanya."
"Sudah. Jangan dipikirkan. Tidak baik untuk bayimu. Ayo, Mama antar pulang."
***
Malam itu..
"Aku pikir kau tidak ingat pulang, bang.." ucap Trisya.
Ardi menutup pintu dan menguncinya. Ia mengikuti Trisya masuk ke kamar.
"Iya.. Tadi sudah mau pulang."
"Tidak usah dijelaskan. Aku sudah belajar paham setelah hampir 8 minggu jadi istrimu," Trisya duduk di tempat tidur. "Untung tadi aku sudah ditemani mama membeli baju. jika tidak, pasti menunggumu dan batal lagi."
Ardi menghampiri Trisya.
"Insha Allah besok ya?"
"Mandi sana!" Trisya mendorong Ardi.
"Tidak bolehkah memelukmu sebentar saja?"
"Tidak mau!"
"Iyaa.. Abang mandi."
Ardi segera keluar dari kamar.
Sebuah pesan chat masuk. Dari Robby.
"Hai.. Apa kabar? Ternyata menikah itu menyenangkan ya? Harusnya dari dulu aku menikah."
Trisya tak membalas, ia hanya membaca pesan itu.
"Aku melihat Ardi tadi jam 7 malam keluar dari sebuah tempat makan bersama Airin. Mereka tampak bercerita dengan bahagia. Kasihan kamu. Ternyata hanya dijadikan tempat pelampiasan nafsu yang halal. Namun hatinya masih di mantan pacar. Asal kamu sadari. 6 tahun lebih setelah putus dengan Airin, suamimu itu tak mampu memilih nama yang lain. Jangan-jangan saat bersamamu yang ia bayangkan adalah Dokter cantik itu."
Trisya melempar handphonenya dengan kesal. Ardi yang baru masuk ke kamar terkejut.
"Ada apa?"
Trisya tak menjawab, ia membalik tubuhnya membelakangi Ardi.Lelaki itu memungut handphoneTrisya. Dibacanya WA dari Robby. Ardi meletakkan handphone di atas meja. Di hampirinya tempat tidur, duduk di samping Trisya.
"Yang.." ia menyentuh bahu Trisya.
Perempuan itu menepis tangan Ardi.
"Tidak ada apa-apa loh.. Tadi itu pulang penangkapan mampir untuk makan dengan team sebelum ke kantor. Abang keluar untuk menelpon kamu. Disitu ketemu Airin yang juga mau keluar untuk pulang."
Trisya merengut.
"Yang.." panggil Ardi.
"Handphoneku mana?"
Ardi meraih handphone Trisya dan menyerahkannya.
Trisya membaca sebuah chat yang masuk di handphonenya.
"Hallo sayang, apa kabarmu? Lama tak bertemu denganmu. Aku merindukanmu.."
Sebuah chat yang disertai photo benda pribadi seorang lelaki.
"Ada apa?" tanya Ardi.
"Tidak apa-apa."
Ardi meraih handphone Trisya.
"Abang, jangan dibaca."
Ardi membuka chat tersebut.
"Siapa ini?"
"Aku tidak tahu.."
Ardi mencoba menghubungi nomor tersebut.
"Hallo, sayang.. Ternyata kau merindukanku. Mari kita bertemu jika saling merindukan satu sama lain."
"Siapa ini? Kenapa mengirimkan chat tak senonoh pada istriku?"
"Oh.. sudah menikah dia? HEBAT. Dulu kuajak menikah dia tidak mau, hanya mau jadi peliharaanku. Dengan bermodalkan mulutnya yang pintar memuaskan aku. Kau pasti tahu rasanya kan? Kecuali.. kalau milikmu tak pernah diservis oleh mulutnya."
Ardi menutup telpon.
"Ada apa, bang?" Tanya Trisya.
Ardi meletakkan handphone di meja.
"Bang.." panggil Trisya.
"Katanya kamu pernah menjadi simpanannya.. Coba kamu ingat."
"Siapa?"
"Memangnya ada berapa banyak lelaki yang memeliharamu dan mengakui kalau kamu dibayar mahal untuk memuaskan birahi mereka? Sehingga kamu tidak bisa menduga siapa orangnya?"
"Apa?"
Ardi buang muka, raut wajahnya terlihat merah antara amarah dan kecemburuan.
"Kenapa kau tega mengatakan hal menyakitkan ini padaku? Aku tahu masa laluku buruk! Untuk bisa bertahan hidup dan biaya kuliahku, aku rela menjadi peliharaan banyak lelaki yang pantas kupanggil ayah termasuk suaminya mama! Kau hanya mendengar cerita dari mereka tentang betapa murahannya aku demi uang tapi kau kan tidak pernah tahu bagaimana aku diperlakukan bagai binatang oleh mereka?"
Usai bicara Trisya keluar dari kamar.
Ardi termenung. Teringat percakapan malam usai pesta pernikahan mereka.
Ardi menghentikan ciumannya ketika melihat bekas luka bakar berbentuk Love bertuliskan Huruf S di dalamnya tepat di atas dada kanan Trisya.
"Ini apa?"
Ardi mengusap bekas luka yang lebih mirip tatto itu.
"Om Steven yang membuatnya. Ia meletakkan besi panas berlogo love dengan inisial namanya.. Pertanda kalau aku selamanya adalah milik dia.." ucap Trisya lagi. "Dia bilang, anjing kecilku selamanya milikku.."
Ardi menatap wajah Trisya.
"Pasti sakit saat ia menorehkannya".
"Tidak sesakit luka bakar dari rokok yang disundutkan mama ke punggungku.."
Ardi melihat punggung Trisya.
Trisya terlihat seperti menahan airmata. Ardi mencium punggung Trisya.
"Tidak apa-apa..Setelah ini tidak akan ada lagi yang menyakitimu.." janji Ardi.
"Kau tak perlu menjadi suami yang sebenarnya hanya karena menikahiku.. Cukup bertanggungjawab menjadi ayah anakku saja. Aku bisa paham jika kau dalam kesadaran tak lagi menginginkan perempuan yang sudah banyak disentuh laki-laki," Trisya menarik selimut menutupi tubuhnya yang terbuka.
Ardi menarik bahu Trisya agar menatapnya. Di kecupnya lembut bibir wanita itu sebelum akhirnya melumatnya. Disingkirkannya selimut yang menutupi tubuh Trisya.
"Ah.." Trisya mencengkram ujung sprei ketika tiba-tiba merasakan tubuhnya dimasuki lelaki itu.
"Aku akan mencintaimu tanpa melihat masa lalumu," bisik Ardi di telinga Trisya.
"Kau yakin, bang?"
"Ya.. aku pastikan mulai malam ini, hanya aku yang akan menjadi tempatmu tinggal dan berlindung."
Trisya tak mampu bicara. Ia hanya menjawab dengan memeluk erat punggung lelaki itu. Membiarkan lelaki itu menuntaskan kewajibannya sebagai suami yang memberikan nafkah batin pada istrinya.
Ardi tersadar dari lamunannya.
"Yang.." panggil Ardi.
"Sayang.." Ardi menyusul Trisya keluar dari kamar.
"Yang.." panggil Ardi.
Terdengar suara tangis di kamar tamu. Ardi membuka pintu kamar itu. Melihat Trisya yang duduk disudut lantai kamar itu sambil menangis.
Ardi melangkah masuk, berjalan menghampiri Trisya dan duduk di hadapannya . Diraihnya tubuh itu ke pelukannya.
"Abang minta maaf.." ucap Ardi sambil mengelus kepala Trisya.
Trisya menumpahkan tangisannya di dada Ardi.
"Katamu tidak akan melihat masa laluku.."
"Iya.."
"Tapi kau mengingkarinya."
"Abang minta maaf.."
"Janji tidak menyakitiku lagi dengan pertanyaan seperti itu?" tanya Trisya.
"Ya.. abang janji.."
Dan malam itu Ardi membiarkan Trisya tidur dalam pelukannya.
Sebuah chat masuk di handphone Trisya.
Ardi membaca pesan itu.
"Apa suamimu marah padamu? Laki laki mana yang mau menerima bekas banyak lelaki di tubuh istrinya. Pastinya ia adalah lelaki bodoh. Ayo kita bertemu di hotel yang aku pesan khusus hanya untukmu dan aku. Kita rayakan pertemuan kita kembali dengan bermalam satu malam saja di kamar hotel terbaik di kota ini. Tidakkah kau merindukan milikku yang mungkin jauh lebih kuat di banding milik suamimu?"
Ardi menghapus chat itu. Ia memandang wajah Trisya.
Di elusnya wajah Trisya.
"Tidak apa-apa sayang.. Aku pastikan aku akan menangkap pria yang sudah menghancurkan harga dirimu dan menghinamu begitu rendah ini. Aku pastikan dia akan menyesal telah mengusik ketenanganmu. Dan aku pastikan dia harus berlutut di kakimu untuk permintaan maaf atas kata-kata kotornya padamu."