Bab 1: Rahasia Desa
Desa Waringin terletak jauh dari hiruk-pikuk kota. Hutan lebat mengelilinginya, membuat tempat itu terasa terisolasi dari dunia luar. Jalan-jalan berbatu berkelok-kelok di antara pepohonan tua, dan di ujung jalan utama desa, berdiri sebuah rumah tua yang hampir terlupakan. Rumah itu adalah sumber dari segala bisik-bisik dan ketakutan yang hidup di hati penduduk desa.
Rumah itu berwarna abu-abu kusam, dengan jendela-jendela besar yang menganga seperti mata kosong. Atapnya sudah rusak, dindingnya penuh dengan lumut, dan pintu depannya sering terlihat sedikit terbuka meskipun tidak ada yang pernah terlihat masuk atau keluar. Bagi penduduk desa, rumah itu adalah tempat terlarang.
Tia mendengar kisah tentang rumah itu sejak kecil. Kini, di usia 22 tahun, rasa ingin tahunya tak kunjung pudar. Bersama sahabat-sahabatnya, Reza dan Farah, ia sering membicarakan rumah itu sambil duduk di kafe kecil dekat pasar.
"Serius, nggak ada yang tahu apa yang terjadi di sana?" tanya Tia sambil menyeruput kopinya.
"Cuma cerita-cerita aja, sih," jawab Reza, pemuda tinggi dengan rambut acak-acakan. "Katanya, siapa pun yang masuk ke rumah itu, nggak pernah keluar lagi. Orang-orang desa cuma bilang mereka 'menghilang.'"
"Kayaknya mereka cuma takut sama bayangan mereka sendiri," Farah menyahut, mencoba terdengar santai meskipun matanya sedikit khawatir. "Lagipula, rumah itu kan udah tua. Kalau pun ada suara-suara aneh, pasti karena kayunya lapuk atau ada binatang."
Tia tersenyum tipis. "Kalau kamu begitu yakin, ayo kita buktikan. Malam ini."
Farah terbatuk, hampir tersedak kopinya. "Tunggu. Maksudmu, masuk ke rumah itu? Tia, itu cuma buat orang-orang bodoh di film horor!"
"Justru itu," kata Tia dengan nada penuh tantangan. "Selama ini kita cuma denger cerita dari orang-orang tua di desa. Nggak ada bukti nyata. Lagipula, nggak mungkin apa-apa kan?"
Reza tertawa kecil. "Kamu ini selalu cari masalah. Tapi aku setuju. Kalau cuma masuk dan lihat-lihat, kenapa nggak?"
Farah menggeleng, jelas tidak setuju. Namun, pada akhirnya ia menyerah. Tia dan Reza terlalu keras kepala, dan ia tidak mau ditinggal sendirian di desa saat kedua temannya melakukan sesuatu yang bisa membahayakan mereka.
---
Malam itu, udara dingin menyelimuti desa. Langit gelap tanpa bintang, hanya diterangi remang bulan sabit. Tiga sahabat itu berdiri di depan pagar rumah tua tersebut.
"Aku masih nggak yakin ini ide bagus," bisik Farah, memegang lengan Tia erat-erat.
"Kalau takut, kamu bisa tunggu di luar," jawab Tia dengan senyum mengejek.
Farah mendengus, tapi tetap mengikuti langkah Tia dan Reza melewati pagar kayu yang hampir runtuh. Jalan setapak menuju pintu depan dipenuhi rumput liar yang basah oleh embun malam.
Ketika mereka sampai di depan pintu, Reza mencoba mendorongnya. Anehnya, pintu itu terbuka dengan mudah, mengeluarkan suara berderit yang panjang.
"Lihat? Nggak ada apa-apa," kata Reza dengan nada percaya diri, meskipun matanya terus melirik ke sekeliling.
Di dalam rumah, suasana lebih mencekam daripada yang mereka bayangkan. Ruang tamu dipenuhi furnitur tua yang tertutup kain putih. Debu melayang di udara setiap kali mereka melangkah. Bau lembap menusuk hidung mereka, membuat Farah meringis.
"Tempat ini… kayak nggak pernah disentuh manusia selama puluhan tahun," gumam Tia.
"Ayo kita cek lantai atas," usul Reza, menunjuk tangga kayu di sudut ruangan.
Farah memeluk dirinya sendiri, merasa udara semakin dingin. "Kenapa kita harus ke atas? Kalau cuma lihat-lihat, bukannya di sini aja cukup?"
Tia menyalakan senter kecil yang ia bawa. "Farah, kita udah sejauh ini. Apa salahnya eksplorasi sedikit?"
Farah tidak menjawab, tapi ia tetap mengikuti mereka menaiki tangga. Tangga itu berderit di bawah berat langkah mereka, seolah-olah akan runtuh kapan saja.
Di lantai atas, ada koridor panjang dengan beberapa pintu di kedua sisinya. Salah satu pintu, yang berada di ujung, tampak sedikit terbuka. Tia mendekatinya dengan hati-hati, sementara Reza dan Farah mengikuti di belakangnya.
"Ini kayak di film horor," bisik Reza.
Tia menoleh dan melotot padanya. "Diam, Reza."
Ia mendorong pintu itu perlahan, dan senter kecilnya mengungkap ruangan di baliknya. Sebuah kamar tidur dengan ranjang tua yang hampir hancur, dinding penuh coretan aneh, dan di sudut ruangan, sebuah cermin besar berdiri.
Farah menggenggam lengan Reza. "Aku nggak suka ini. Kita harus pergi."
Tia mengabaikan komentar itu dan melangkah masuk. Ia mengarahkan senternya ke cermin, memperhatikan permukaan kaca yang berdebu. Tapi sesuatu di cermin itu membuatnya merinding.
Bayangannya sendiri tampak… salah. Wajahnya sedikit terlalu panjang, senyumnya terlalu lebar.
Tia menahan napas. Ia berbalik ke arah Reza dan Farah, berharap mereka juga melihat hal yang sama. Tapi saat ia kembali melihat ke cermin, bayangan itu sudah normal.
"Ada apa, Tia?" tanya Reza.
"Nggak, nggak ada," jawab Tia cepat. "Ayo kita lihat ruangan lain."
Namun, sebelum mereka sempat keluar dari kamar itu, pintu di belakang mereka menutup sendiri dengan keras.
Farah berteriak, dan Reza mencoba membuka pintu itu, tapi tidak berhasil. "Pintunya terkunci!" serunya panik.
Tia mencoba tetap tenang, meskipun jantungnya berdetak kencang. "Mungkin pintunya macet. Ayo kita coba jendela."
Namun, ketika mereka mendekati jendela, bayangan gelap melintas di luar, membuat Farah mundur ketakutan.
"Apa itu?" bisiknya.
Tia menatap ke arah jendela, tapi tidak melihat apa-apa lagi. Suara langkah kaki di lorong luar tiba-tiba terdengar, perlahan mendekat.
"Siapa di sana?" seru Reza, mencoba terdengar berani meskipun suaranya bergetar.
Tidak ada jawaban. Langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu kamar.
Mereka semua membeku, memandangi pintu dengan napas tertahan.
Dan kemudian, gagang pintu mulai berputar.